Ketika seorang perempuan tidak ingin mempermainkan sebuah pernikahan yang baru seumur jagung, Humairah rela berbagi suami demi mempertahankan seorang pria yang ia cintai agar tetap berada dalam mahligai yang sama.
Aisyah Humairah menerima perjodohan demi balas budi pada orangtua angkatnya, namun siapa sangka pria yang mampu membuatnya jatuh cinta dalam waktu singkat itu ternyata tidaklah seperti dalam bayangannya.
Alif Zayyan Pratama, menerima Humairah sebagai istri pertamanya demi orangtua meski tidak cinta, obsesi terhadap kekasihnya tidak bisa dihilangkan begitu saja hingga ia memberanikan diri mengambil keputusan untuk menikahi Siti Aisyah sebagai istri keduanya.
Akankah Alif adil pada dua
Aisyahnya? atau mungkin diantara dua Aisyah, siapa yang tidak bisa bertahan dalam hubungan segitiga itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wheena the pooh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Alif tidak bisa berbuat apa-apa ketika mengaktifkan ponselnya, ada telepon dari sekretarisnya bahwa ia kedatangan rekannya yang ingin bertemu hari ini juga di kantor.
Mendengar itu Humairah menjadi lega, ia bisa tetap ke kampus dan bertemu pembimbing sesuai rencana.
"Sayang kenapa kau tertawa?" tanya Alif heran.
"Lihat bibirmu?" kekeh Humairah lagi.
"Kenapa?" Alif langsung mencerminkan wajahnya di spion, lalu ia melirik istrinya yang tidak bisa menyembunyikan tawanya.
Bekas pewarna bibir merah muda milik Humairah ikut mewarnai bibir suaminya saat Alif mencium bibir perempuan itu sebelum menurunkannya di halaman kampus.
"Sayang bagaimana ini?" tanya Alif kebingungan.
"Biar saja, itu tandanya kau baru saja berciuman," jawab Humairah terkekeh lagi.
Alif melirik wajah merona bahagia istrinya, cantik dan menggemaskan. Lama ia terpana, sesal kembali menghampiri kemana saja ia selama ini yang tidak pernah mengantarkan Humairah ke kampus, dengan penampilan seperti itu tentu Humairah banyak yang menyukai. Istrinya tampak sempurna untuk dikatakan sebagai seorang mahasiswa.
"Aku akan mengantarmu setiap kau akan ke kampus setelah ini, hubungi aku jika kau sudah pulang? Aku bisa menjemputmu kemari kapanpun itu, jangan pulang dengan lelaki lain lagi!" seru Alif sambil meraih tangan istrinya, ia kecup berulang kali panggung tangan Humairah dengan perasaan menyesal telah melewati banyak hal sederhana seperti mengantar Humairah ke kampus hari ini.
"Terimakasih mas Alif, aku bahagia mendengarnya."
Mereka saling menatap untuk beberapa saat, lalu lelaki itu kembali mencium bibir Humairah cukup lama sebelum melepaskan Humairah ia berkata dengan suara lirih nan berat, "Aku mencintaimu Humairah, aku akan menjemputmu pulang nanti, hubungi aku jika butuh sesuatu!"
Humairah mengangguk saja, ia mengusap bibir Alif menghapus jejak lipstiknya di sana dengan lembut, "Aku juga mencintaimu mas Alif, aku akan keluar sekarang," jawab Humairah setelah memastikan bibir suaminya telah bersih dari noda gincu bibirnya.
Humairah keluar dan melambai tangan pada mobil Alif yang perlahan menjauh, demi apa tidak bisa ia gambarkan perasaannya saat ini, ada banyak kupu-kupu berterbangan di perutnya, bahagia tercipta lewat pancaran wajahnya.
Perempuan itu memegang dadanya seraya bergumam, "Inikah rasanya dicintai suami sendiri, rasanya pipiku kram sekarang," Humairah memegang pipinya lagi yang sejak semalam tidak bisa berhenti tersenyum, ia berharap bahagia ini bukan sesaat saja.
Setelah bertemu pembimbing dan mendapatkan tanda tangan sebagai bukti ia telah boleh melakukan penelitian untuk karya ilmiah skripsinya, Humairah yang hendak ke perpustakaan tiba-tiba menghentikan langkah saat mendengar ponselnya berdering.
Panggilan dari Daffa, setelah berbicara serius Humairah akhirnya mengangguk dan segera berlalu dari sana menuju jalan raya.
Humairah bahagia bercampur gugup, Daffa memberitahu bahwa lelaki itu tengah bersama papa kandungnya saat ini, menunggu Humairah di sebuah restoran agar mereka dapat bertemu.
Bergegas Humairah menaiki taksi, ia bahkan lupa untuk mengabari Alif bahwa ia telah selesai dari urusan kampusnya.
Setelah hampir dua puluh menit menempuh perjalanan yang padat pengendara lain, akhirnya Humairah sampai juga di restoran tempat ia akan bersua ayah kandungnya.
Berjalan setengah berlari dengan jantung yang berdegup keras, sampai langkahnya terhenti saat melihat tuan Imran sedang bicara dengan Daffa.
Daffa dan lelaki paruh baya itu menoleh, mereka berdiri. Tuan Imran melangkah perlahan ia menatap Humairah dengan seksama, wajah itu wajah secantik istrinya yang telah meninggalkannya lebih dulu menuju alam keabadian, kini berdiri tepat di depan matanya yang telah termakan usia.
Tidak salah lagi, inilah yang tuan Imran selalu rasakan ketika beberapa kali bertemu Humairah ketika pernikahan Aisyah dua bulan lalu.
Lama saling memandang, ia telah mendengar penjelasan dari Daffa tentang semuanya, tentang Aisyah kecilnya yang masih hidup dan telah pula tumbuh dewasa seperti yang terlihat.
Naluri ayah dan anak kandung tidak bisa dibohongi, tuan Imran melihat sosok istrinya pada Humairah saat ini, mata dan wajah Humairah begitu mirip dengan mendiang istrinya. Lelaki yang masih terlihat awet muda itu membuka kacamata dan menyeka matanya yang telah basah.
"Jangan katakan apapun, ayo kemarilah!" ucap tuan Imran merentangkan tangannya.
Humairah tersenyum, tanpa basa basi ia berhambur memeluk papanya, papa kandung yang telah terpisah belasan tahun lamanya.
"Papa," cicit Humairah disela tangisnya.
"Kau masih hidup? Papa tahu kau akan pulang suatu hari, dan hari itu adalah sekarang. Kenapa kau meninggalkan papa selama ini Aisyah? Oh Aisyah ku telah kembali, putri kita telah kembali sayang, putri kita baik-baik saja. Dia tumbuh dewasa dan cantik seperti mu," gumam tuan Imran mengingat wajah istrinya.
Lama mereka terlarut dalam keheningan, hanya menyalurkan kerinduan yang belasan tahun terpisah jarak.
Mereka duduk bersebelahan, papa Imran tidak melepas putrinya barang sebentar, begitupun Humairah layak anak kecil yang tidak bisa jauh dari ayahnya.
"Sekarang katakan, bagaimana kau bisa hidup baik-baik saja selama ini? Bagaimana bisa Aini menyembunyikan mu dariku belasan tahun? Apa dia menyakitimu nak?" tanya papa Imran mulai serius.
Daffa hanya menyimak, ia juga penasaran sebenarnya apa yang terjadi di masa lalu hingga ayah dan anak itu bisa terpisah.
"Tidak, ibu merawatku dengan baik pa... Dia sama sekali tidak menyakitiku, aku hanya heran kenapa kak Mayang bisa menjadi Aisyah saat ini?"
"Mayang, gadis kecil itu masuk ke bagasi mobil kita saat papa dan mama pulang, dia menyedihkan. Dia tidak ingin diantar pulang, dia memaksa ingin tinggal bersama papa dan mama dan mengatakan bahwa ibunya Aini tidak menyayangi dan menginginkannya lagi. Karena kasihan kami memutuskan untuk merawatnya sambil menunggu pencarian tentangmu yang telah melibatkan polisi."
"Sejak saat itu Aini tidak pernah menjemput putrinya hingga pada akhirnya kami mengadopsi secara hukum Mayang Sari setelah beberapa bulan putriku ini tidak juga ditemukan, papa mengubah namanya menjadi Aisyah agar kau selalu hidup dalam diri Mayang untuk menghibur mama mu yang stress berat kehilangan kau sayang." Papa Imran mulai berkisah panjang lebar bagaimana terjadinya masa itu menurut sudut pandang dirinya.
Humairah mengelap airmatanya, bagaimana bisa Mayang melakukan itu padanya, mereka sudah seperti saudara, jelas sekali Humairah mengingat ketika Mayang meninggalkannya di hutan seorang diri, dan mendengar cerita papa Imran yang mengatakan bahwa Mayang sama sekali tidak tahu dimana Aisyah kecil sebenarnya berada.
Bukankah itu jelas sekali Mayang yang ia anggap kakak sendiri sengaja meninggalkannya di hutan, hingga ia menangis ketakutan dan tersesat ke sebuah danau di balik hutan, sampai ia bertemu dua remaja lelaki berseragam SMP yang pada akhirnya menolongnya keluar dari sana dan memberinya roti karena kelaparan berada dalam hutan sejak pagi.
Saat keluar hutan pula lah, Humairah ingat bahwa ibu Aini menjemputnya untuk pulang, dan semuanya berlalu, karena masih kecil Humairah tidak mengerti apa yang terjadi hingga lupa bahwa orangtuanya tidak pernah menjemput hingga ia besar, mereka pindah dan pulang ke kampung halaman ibu Aini keesokan harinya.
Sejak saat itu Humairah benar-benar berpisah dari orangtuanya.