"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ravien Invansia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Cici
Ryan berjalan cepat di sepanjang jalan setapak, pikirannya masih dipenuhi amarah dan pertanyaan yang belum terjawab. Fokusnya masih aktif, aura dingin di sekitarnya memantulkan ketegangan yang terus merayap.
Angin sore menyapu wajahnya, dingin dan menusuk.
whoosh...
"Siapa yang mulai rumor ini? Gosip tentang aku dan Hana... Kenapa ada yang mau membuat hidupku semakin rumit?" gumamnya, suara penuh kesal. Bayangan Hana dan tatapan orang-orang saat berbisik-bisik mulai mengganggunya lagi, membuat dadanya semakin sesak.
Langkahnya terhenti mendadak ketika ia melihat sosok Cici di tikungan jalan. Gadis itu tampak sedang mengelus seekor kucing jalanan yang mendekat, matanya tampak lembut, senyumnya sederhana.
meong...
Tanpa sadar, fokus Ryan perlahan memudar, matanya kembali normal. Sejenak dia lupa semua kekesalannya. "Cici?"
Cici menoleh, sedikit terkejut. Wajahnya agak memerah, seperti merasa ketahuan. "Eh... Ryan," suaranya pelan.
Ryan menatapnya dalam diam. Perasaan marah yang sempat ia tahan mendadak kembali menggelegak. Ia teringat bagaimana ia membantu mengantar laporan yang terlambat karena macet, menahan ceramah panjang dari guru, tapi Cici hanya menatapnya dingin. 'Apa sebenarnya yang dia pikirkan?' batinnya kesal.
Tapi sekarang, melihat wajah Cici yang berbeda, dia tidak setegas biasanya, justru tampak canggung dan membuat Ryan merasa sedikit bingung.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Cici, suaranya hampir berbisik.
Ryan menggaruk kepalanya, masih tak nyaman. "Hanya... berjalan pulang."
"Oh," balasnya singkat, menunduk sambil kembali mengelus kucing itu.
meong...
Ryan mengalihkan pandangannya, sedikit canggung. 'Dia bersikap manis sekarang,' pikirnya bingung. Tidak ada kata yang bisa menjelaskan perasaan ini, campuran antara amarah dan simpati.
Keduanya terdiam, hanya ada suara angin dan kucing yang mengeong di sela-sela keheningan.
meong...
"Lucu ya," kata Cici akhirnya, mengomentari kucing itu.
Ryan hanya mengangguk. "Iya," balasnya pendek. Kepalanya masih penuh pertanyaan, tapi dia tidak tahu harus mulai dari mana.
Setelah beberapa saat hening, Cici menatap Ryan dengan ekspresi lembut yang jarang ia lihat sebelumnya. "Kamu... mau pulang bareng?" tanyanya, suaranya penuh harap tapi tak terlalu kentara.
Ryan menggeleng pelan. "Aku ada urusan... ke rumah Hana," jawabnya, merasa aneh sendiri dengan ucapannya.
Cici menunduk, sorot kecewa melintas sekilas di matanya. "Baiklah, kalau begitu..."
"Sampai jumpa besok," ucap Ryan akhirnya, mencoba menutup percakapan dengan singkat.
Cici mengangguk pelan. "Iya, sampai besok."
Ryan berjalan menjauh, langkahnya kembali cepat, menyisakan perasaan aneh yang bercampur di dalam hati. 'Kenapa hari ini terasa begitu rumit?' pikirnya, berusaha mengabaikan semua perasaan campur aduk itu.
Angin sore kembali berhembus, menggoyangkan pepohonan di pinggir jalan.
whoosh...
Ryan menatap langit yang mulai gelap. "Semoga semua ini cepat berlalu," gumamnya sebelum melangkah lebih jauh, menghilang dalam keramaian jalan yang mulai lengang.
...----------------...
Hana menekan tuts-tuts piano dengan perlahan, nada-nada lembut mengalir di ruangan kosong. Ayahnya berdiri di belakang, tangan di saku, matanya menatap dengan bangga campur kagum. Ia tak pernah menyangka putrinya bisa memainkan piano seindah ini.
ting... ting... ting...
Setelah melodi terakhir berakhir, Hana berhenti, menoleh ke belakang. “Untuk Ayah yang sebentar lagi kerja,” ujarnya, tersenyum tipis. “Lagu ini... judulnya... entahlah, aku lupa,” katanya, nada bercanda terselip di ujung kata.
Ayahnya bertepuk tangan, wajahnya berseri. “Luar biasa, Hana. Ayah jadi punya alasan kuat untuk berangkat kerja sekarang.”
Hana berdiri dari bangkunya, mendekati ayahnya dengan langkah ringan. Ia mencondongkan tubuh sedikit untuk mengecup pipi ayahnya, harus sedikit berjinjit karena perbedaan tinggi mereka.
cup...
David, merasa ada sesuatu yang menusuk halus di dadanya. Perasaan bangga bercampur haru. Jam kerjanya memang melelahkan, seringkali menelan waktu istirahatnya, tapi dukungan kecil dari Hana membuat beban itu terasa ringan.
“Jaga kesehatan ya, Ayah,” kata Hana sambil tersenyum kecil, nada suaranya datar tapi ada ketulusan di sana. “Dan jangan lupa makan. Jangan terus-terusan mengabaikan hal penting cuma karena pekerjaan.”
David tersenyum kembali. “Ayah sudah besar, tahu caranya menjaga diri,” ucapnya sambil melirik jam di pergelangan tangannya. “Oh, satu lagi. Kalau ada orang asing datang, jangan sembarang membiarkan mereka masuk, ya?”
Mereka berjalan ke pintu depan. David membuka pintu, menatap putrinya sesaat sebelum masuk ke dalam mobil. Ia melambai dari jendela yang terbuka, matanya masih berkilau penuh kebanggaan.
Hana mengangkat tangannya, membalas lambaian itu dengan senyum dingin yang terkesan enggan.
vroom...
Suara mesin mobil menggema saat mobil perlahan menjauh. Hana memandangnya hingga hilang dari pandangan, sampai hanya suara deru samar yang tersisa di udara. Begitu mobil tak lagi terlihat, senyum di wajahnya memudar, wajahnya kembali datar, dingin, tanpa ekspresi.
Ia masuk ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya, seolah mengunci semua emosi yang tadi muncul.
huff...
Hana menghela napas panjang, pandangannya menerawang. Rumah kini kembali sepi.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu belakang.
tok tok tok
Hana menoleh, alisnya berkerut. ‘Siapa itu?’
Karena MC ada di semua bab, pakai POV bisa lebih mudah. Tapi nggak juga gpp.
Yang saya kurang suka kalau cerita multiplot tapi pakai POV 1 yang berganti-ganti.
Bahasa cerita menurut saya udah bagus, baik itu narasi ataupun dialog.
btw, banyak orang di kehidupan nyata terwakilkan Ryan. Biasanya itu pengalaman penulis lalu di dunia fiksi dia ganti dg tema fantasi misal dapat sistem atau masuk ke dunia game.