Sebagai seorang wanita yang sudah kehilangan rahimnya, dia tetap tegar menjalani hidup walau terkadang hinaan menerpanya.
Diam-diam suaminya menikah lagi karena menginginkan seorang anak, membuat ia meminta cerai karena sudah merasa dikhianati bagaimanapun dia seorang wanjta yang tidak ingin berbagi cinta dan suami.
Pertemuannya dengan seorang anak kecil membuat harinya dipenuhi senyuman, tapi ia juga dilema karena anak itu meminta ia menjadi ibunya itu berarti dia harus menikah dengan Papa dari anak itu.
Akankah Yasna menerima permintaan anak kecil itu atau kembali kepada mantan suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Sarapan di rumah Emran
Satu bulan sudah berlalu sejak kejadian itu. hubungan Yasna dan Emran juga semakin dekat. Hari ini, Yasna mengunjungi kediaman Emran, sesuai janjinya pada pria yang kini dekat dengannya itu.
Yasna terkejut melihat rumah yang ada didepannya, rumah yang begitu besar dengan halaman yang sangat luas. Lebih mewah dari rumah mantan mertuanya.
'Ini nggak salah, kan? Rumahnya besar sekali? Apa aku salah alamat, ya?' batin Yasna.
"Maaf, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang Satpam yang bekerja di rumah Emran.
"Maaf, Pak. Apa benar ini rumah Pak Emran?" tanya Yasna.
"Benar, Apa Anda ada keperluan dengan Pak Emran?" tanya Satpam itu balik.
"Saya datang berkunjung Pak," jawab Yasna.
"Silakan masuk." Pak satpam membukakan pintu gerbang untuk Yasna.
Yasna menaiki motornya memasuki taman rumah itu. Rumah yang begitu asri dengan halaman yang luas dan dihiasi berbagai tanaman.
"Bundaa." Teriakan seorang anak membuat Yasna menoleh. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Afrin.
"Assalamualikum," ucap Yasna.
"Waalikumcalam," sahut Afrin. "Bunda mau main cama Alin?"
Afrin menarik tangan Yasna, membawanya memasuki rumah. Tak terlihat siapapun di sana.
"Kemana semua orang? Kok sepi?" tanya Yasna.
"Oma macak, ayo Bunda!" Afrin membawa Yasna memasuki dapur.
"Oma, ada Bunda," ucap Afrin.
"Assalamualaikum," ucap Yasna.
"Waalaikumsalam," sahut Karina. "Yasna ... Kenapa nggak bilang mau ke sini?"
Yasna tersenyum menanggapinya. ia jadi teringat mantan mertuanya, dulu Faida juga memperlakukannya dengan sangat baik. Namun, sejak kejadian itu, semua berubah. Kenapa tiba-tiba Yasna ingat mantan mertuanya? Bukankah ia sudah berusaha melupakan mereka?
"Afrin panggil Papa sama Kakak, ya!" ucap Karina. "Kamu ikut sarapan ya, Na."
"Saya sudah sarapan, Bu," sahut Yasna.
"Ngga papa, makan sedikit lagi. Kami kalau libur, memang selalu telat sarapannya. Biasa lah, mereka belum ada yang bangun," ujar Karina.
Terdengar suara langkah kaki, membuat Yasna menoleh. Emran berjalan kearah dapur dengan memakai pakaian santai, membuat pria itu terlihat lebih muda dan tampan. Yasna dibuat terpesona olehnya, hingga tanpa sadar ia masih menatap Emran yang sudah ada didekatnya.
"Bunda, duduk sini." Afrin berkata dengan suara keras, membuat Yasna tersadar.
"Ah, iya," sahut Yasna dengan segera duduk disamping Afrin, menutupi kegugupannya saat melihat Emran.
"Kamu sudah lama, Na," tanya Emran.
"Baru saja," jawab Yasna berusaha tenang.
Aydin yang baru datang menyipitkan matanya, melihat seorang wanita duduk disamping Afrin. Ia mendengus, pasti ingin merayu papanya, pikir Aydin.
"Aydin, kenalin ini Bunda Yasna," ucap Karina.
Aydin mengulurkan tangannya pada Yasna dengan senang hati Yasna menyambutnya. Semua orang lega Aydin mau menyambut Yasna dan tidak membuat masalah.
Yasna yang sudah mengetahui tentang tingkah Aydin hanya bisa tersenyum, saat ia merasakan ada sesuatu yang lengket di tangannya. Ia tidak ingin membuat kehebohan di rumah orang, apalagi ini masih pagi.
Untunglah Yasna membawa tisu basah di dalam tasnya. Ia segera mengambilnya tanpa orang lain ketahui, mereka sibuk dengan obrolan mereka.
"Ayo! Kita mulai sarapannya," ucap Karina.
Aydin kesal, ternyata Yasna hanya diam saja, tidak merengek seperti wanita lainnya yang biasa ia kerjai.
"Bunda suapin Alin, ya!" pinta Afrin.
"Boleh, sini piringnya biar Bunda ambilin," sahut Yasna.
"Biar Oma yang suapin, Bunda kan mau makan juga," sela Karina.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya juga sudah sarapan," sahut Yasna.
Mereka makan dengan tenang, hanya Afrin yang sedari tadi berceloteh tanpa henti, membuat Yasna selalu tersenyum. Namun, tidak dengan Aydin yang sudah kesal sejak tadi. Anak itu memikirkan apa lagi yang harus dilakukannya.
Usai makan, Yasna membantu Karina membereskan meja makan. Saat ia mengambil piring Aydin, ada seekor kecoa dan ternyata itu hanya mainan. Untung saja Yasna tidak takut pada kecoa jadi tidak perlu berteriak. Diam-diam Yasna tersenyum, ia merasa lucu dengan tingkah anak itu. Sebegitu besarnya rasa sayang anak itu pada ayahnya. Terbesit rasa iri dalam diri Yasna, seandainya ia memiliki seorang anak, apakah anaknya akan sama seperti Aydin?
Yasna menghela nafas, semua itu tidak akan mungkin terjadi. Ia sudah kehilangan jalan untuk memiliki anak.
"Ada apa, Na?" tanya Karina saat ia melihat Yasna seperti melamun.
"Tidak apa-apa, Bu." Yasna tersenyum sambil membawa piring kotor ke dapur.
Karina tahu, itu pasti ulah Aydin. ia tadi melihat Yasna memasukkan sesuatu kedalam kantongnya, pasti Aydin ingin membuat Yasna kesal. Ternyata Wanita itu mampu mengatasinya dan itu membuat Karina lega.
"Pa, ayo jalan-jalan!" ajak Afrin.
"Jalan-jalan kemana?" tanya Emran.
"Ke pantai," sela Aydin.
"Iya, ke pantai," sahut Afrin. "Aku mau ajak Bunda."
Afrin berlari ke dapur dengan ceria. Sementara Aydin menggerutu.
"Kenapa harus ngajak wanita itu sih, kenapa nggak bertiga saja," gerutu Aydin.
"Aydin nggak suka sama Bunda Yasna? Padahal adek sayang banget sama Bunda Yasna," tanya Emran.
"Aku nggak suka dan dia bukan bundaku, dia Tante Yasna," sahut Aydin kesal.
"Iya, Tante Yasna. Papa harap kamu bisa menghormatinya, terlepas dari kamu menyukainya atau tidak." Emran mengusap kepala putranya itu.
"Akan Aydin usahakan," gumam Aydin.
Sementara di dapur Afrin memanggil Yasna dan menceritakan jika ia, Aydin dan Emran akan berlibur. Ia juga meminta Yasna untuk ikut dengan mereka.
"Bunda saja yang diajak? Oma tidak?" Karina pura-pura merajuk.
"Oma mau ikut? Aku tanya Papa dulu ya?" Karina mencegah Afrin yang ingin menemui papanya.
"Eh, tidak usah. Oma di rumah saja sama Bibi," cegah Karina.
"Bunda juga di rumah saja, kalian pergilah bersenang-senang," ujar Yasna.
"Mana bisa begitu, Na. Kamu pergilah, lagian di rumah sama orang tua seperti Ibu mau ngapain? Lebih baik kamu ikut sama mereka, senang-senang sama mereka," ujar Karina. "Afrin bawa Bunda ke kamar Afrin sana, minta bantuan Bunda buat siap-siap."
"Ayo, Bunda!" ajak Afrin, ia menarik tangan Yasna menuju kamarnya. kamar yang didominasi warna orange dengan gambar Ikan Nemo. Melihat gambar Ikan Nemo membuat Yasna terkekeh, mengingat pertemuan pertamanya dengan Emran.
"Bunda kenapa?" tanya Afrin.
"Tidak ada apa-apa," jawab Yasna.
"Alin mau pake baju yang cantik!" seru Afrin.
"Afrin pakai ini saja, lebih santai. Kita kan pergi ke pantai," ucap Yasna. "Ayo! Bunda bantu pakai."
"Iya." Afrin tersenyum, saat Yasna memakaikannya baju. Biasanya Karina atau Emran yang membantunya, ia merasa benar-benar memiliki seorang ibu.
Setelah selesai bersiap. Afrin berlari menuju Karina.
"Oma, Alin cantik," teriak Afrin senang.
"Wah, cucu Oma cantik sekali," puji Karina.
"Lihat lambut Alin, Bunda yang ikat." Afrin menunjukkan rambutnya pada Karina. "Alin mau tunjukin cama Papa."
Afrin berlari menuju ruang tengah dimana Emran berada.
.
.
.
.
.