(#HIJRAHSERIES)
Keputusan Bahar untuk menyekolahkan Ameeza di SMA Antares, miliknya mengubah sang putri menjadi sosok yang dingin.
Hidup Ameeza terasa penuh masalah ketika ia berada di SMA Antares. Ia harus menghadapi fans gila sepupu dan saudaranya, cinta bertepuk sebelah tangan dengan Erga, hingga terlibat dengan Arian, senior yang membencinya.
Bagaimanakah Ameeza keluar dari semua masalah itu? Akankah Erga membalas perasaannya dan bagaimana Ameeza bisa menghadapi Arian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ana Hasna Raihana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Kamu Butuh Seseorang
Om Sidik
Tunggu di dalam rumah aja, yah. Om mau nyelesain pekerjaan dulu. Ini masih ada satu lagi yang mau konsultasi.
^^^Me^^^
^^^Siap, Om.^^^
Ameeza menarik tangan Erga memasuki rumah Om Sidik. Begitu mengucap salam dan membuka pintu, Ameeza disambut ramah oleh Bibi Cinta-adiknya Eliska.
Ameeza sempat ditawari minum. Ameeza hanya menggeleng. Lalu Erga pun sama.
Ameeza menatap sekeliling interior dalam rumah. Sebelum akhirnya pandangannya terpusat pada Erga yang sibuk diam. Entah sedang memikirkan apa.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Tak berselang lama sosok Om Sidik muncul, dia tersenyum ke arah Ameeza dan Erga. "Yuk di lantai atas aja."
Ameeza menyenggol tangan Erga yang tak kunjung beranjak. Mungkin laki-laki itu masih bingung. Kenapa dia harus ke sini?
"Kamu tunggu di sini aja, yah, My."
Ameeza membalas dengan anggukan.
...-oOo-...
Ketika Erga dan Om Sidik saling berhadapan di sofa yang ada di ruang kerjanya, Om Sidik lebih dulu menatap Erga dengan senyum tipis. Agaknya Om Sidik sudah tahu Erga tipikal orang yang benar-benar sangat tertutup.
"Memang kenapa saya harus bicara sama, Om?" tanya Erga akhirnya.
Sejenak Om Sidik hanya tersenyum-senyum. Ia sekarang faham. Sepertinya Ameeza memang tidak menjelaskan lebih dulu alasan mengajak temannya ini.
"Mungkin kamu butuh teman cerita? Saya bisa dengerin kamu," tutur Om Sidik lembut.
Erga tampak terkejut. Sebelum kemudian laki-laki itu menundukkan kepalanya.
"Ouh, iya sebelumnya kalau boleh tahu nama kamu?"
Erga mendongak. "Erga."
Om Sidik masih menampilkan senyumnya. Ia sedang berpikir bagaimana caranya agar membuat Erga mau bercerita tanpa ada unsur paksaan. Ia tahu, dilihat dari gelagat Erga, laki-laki itu sepertinya orang yang benar-benar tertutup. Bahkan punya teman pun tidak. Om Sidik menduga Erga sepertinya punya masa lalu yang cukup kelam dan sangat menyakitkan untuk diingat.
Hening selama beberapa saat. Sebelum akhirnya Om Sidik bersuara, "Barangkali kamu mau cerita, tentang apa aja. Mungkin ... ada hal yang mengganjal di hati. Tapi, kamu gak tahu apa itu."
Erga terdiam. Belum mau mengucapkan sepatah kata pun. Om Sidik faham Erga masih ragu untuk bercerita.
Om Sidik beranjak dari tempat duduk membuat Erga mendongak. Om Sidik berjalan menuju dispenser yang ada di pojok ruangan. Ia mengambil gelas yang ada di rak dekat dispenser.
Ketika sedang mengisi air minum. Om Sidik berbicara lagi. "Kalau kamu ragu untuk bercerita ... saya gak memaksa."
Setelah mengisi dua gelas air minum. Om Sidik kembali ke sofa. Meletakkan dua gelas air putih itu di atas meja. Om Sidik menatap Erga lembut. "Kadang seseorang butuh tempat bercerita. Sekuat apapun orang itu ... dia pasti akan ada di titik lelah. Di titik dimana orang itu seakan gak sanggup menanggung beban hidupnya." Om Sidik menatap Erga yang tampak menyimak. "Kita bisa berbagi, jangan ngerasa sendiri. Karena gak semua orang punya sifat jahat. Pasti ada orang baik. Kita hanya perlu memilah."
Erga ragu-ragu untuk bicara. Tapi, akhirnya ia bicara. "Saya ... masih takut. Saya rasa ... tidak ada yang mau berteman dengan saya." Erga menekan dadanya tiba-tiba terasa sesak. "Saya tidak pandai bersosialisasi. Orang tua saya bercerai setahun yang lalu, ayah ... pergi dengan wanita itu ... i-ibu ...." Erga merasa tenggorakannya tercekat. "I-ibu ... ninggalin saya sendirian, ibu ... udah pergi selama-lamanya." Tanpa sadar tetes bening mengalir. "Kadang saya berpikir apakah semua ini salah saya? Saya kadang berpikir apa tujuan hidup saya? Saya merasa hidup ini sudah berantakan. Tak ada hal yang mau saya capai. Perasaan saya hampa."
Om Sidik menyimak tenang. Diam-diam dadanya ikutan sesak juga ketika mendengar cerita Erga. Cerita Erga terus berlanjut, dimulai dari pertemanan, keluarga, lantas yang dirasakannya akhir-akhir ini.
"Setiap hari saya selalu merasa hampa ... tanpa sadar saya menyakiti diri sendiri."
Hening beberapa saat. Om Sidik membiarkan Erga yang masih menangis sesenggukan. Walau tak bersuara, Om Sidik tahu seberapa menyakitkannya kisah hidup seorang Erga. Tidak ada yang tahu dibalik sikap diamnya itu, Erga sering berperang dengan pikirannya sendiri.
"Kamu butuh seseorang, Ga."
Erga tak menyahut.
"Kamu jangan takut, jangan merasa sendiri, oke? Kalau sewaktu-waktu kamu perlu teman cerita saya bisa jadi teman cerita kamu." Om Sidik merogoh saku celana. Menyodorkan sebuah kertas berisi identitasnya dan nomor teleponnya. "Kamu bisa hubungin saya."
Meski samar, Om Sidik bisa melihat Erga yang tersenyum sangat tipis. Lalu mengembuskan napas pelan. Seolah ada kelegaan. Om Sidik ikutan tersenyum lembut.
...-oOo-...
"Om cuma berpesan sama kamu, My. Tolong jagain Erga." Dari seberang telepon Om Sidik tampak khawatir. Bahkan beberapa kali omnya itu menghela napas.
"Sebenernya ada apa, Om? Tadi pas Amy nanya om gak jawab."
"Erga memang sakit secara psikis. Dugaan om semakin kuat setelah dengar cerita Erga." Jeda sesaat. Seakan kalimat yang akan dilontarkan selanjutnya amat berat untuk diutarakan. "Ini hanya dugaan Om setelah mendengar cerita Erga dan sedikit tes tadi. Om rasa dia sakit alienasi atau kata lainnya adalah keterasingan. Seperti memisahkan diri, kalau Erga sendiri dia lebih ke memisahkan diri dari pertemanan. Mungkin ini masih asing ditelinga. Tapi, penyakit psikis ini memang umum dialami oleh remaja. Selain itu ... akibat dari alienasi ini bisa juga memicu timbul penyakit psikis lainnya. Saat ini om merasa, bekas luka ditangan Erga untuk pengalih perhatian terhadap perasaan asingnya itu."
"Jadi, om masih belum tahu secara pasti?" Ameeza menutup mulutnya tak percaya.
"Om, masih menduga. Diagnosis terhadap penyakit psikis itu tidak bisa sembarangan. Om harap kamu bawa Erga lagi ke om. Supaya dia bisa konsultasi rutin dan menjalani tes lebih dalam lagi. Dari tanda-tanda yang om lihat memang Erga punya penyakit psikis. Sepertinya belum lama sebelum dia masuk SMA."
Ameeza diam.
"Om berharap kamu gak mengucilkan Erga. Penyakit psikis kebanyakan butuh dorongan dari keluarga atau teman. Setidaknya setelah kamu mendengar perkiraan om ini, kamu gak bertindak secara gegabah. Tolong ikuti apa kata om."
"Iya, Om."
"Meski konsultasi harus dilakuin, seenggaknya jangan terlalu memaksa dia, ya. Sebisa mungkin bawa dia dalam keadaan suka rela."
"Baik, Om."
"Kalau gitu sudah dulu, yah. Wassalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Kaki Ameeza lemas. Ia mendudukkan diri di tepi kasur. Kemudian melempar asal HP-nya ke sisi kasur. Tangannya mengusap pelan wajahnya. Mendadak air matanya meleleh membasahi pipi. Dadanya tiba-tiba sangat sesak luar biasa. Seolah pasokan oksigen habis di bumi ini.
Ternyata selama ini lo lebih menderita? Kenapa lo ... bahkan gak tertebak sedikit pun.
Air mata Ameeza jatuh semakin deras.
Gue jahat banget sampe ngasih surat kebencian sama lo.
Lo pantes benci gue.
Gue gak tahu diri.
Gue selalu nganggep diri sendiri paling menderita di dunia. Sekarang ... gue kayak ditampar bolak-balik.
Lo lebih menderita dari gue, Ga.
Gue ....
Napas Ameeza tercekat. "Maafin, gue," cicit Ameeza disela isak tangisnya.
...-oOo-...
Jangan lupa tinggalkan jejak, vote, like, komen dan bagikan juga yaa kalau kamu suka sama cerita ini😊💚