Di bawah cahaya bulan, istana di lembah tersembunyi menjadi saksi kelahiran seorang bayi istimewa. Erydan dan Lyanna, pengemban Segel Cahaya, menyambut putri mereka dengan perasaan haru dan cemas.
"Dia adalah harapan terakhir kita," ujar Erydan, matanya menatap tanda bercahaya di punggung kecil bayi itu.
Lyanna menggenggam tangannya. "Tapi dia masih bayi. Bagaimana jika dunia ini terlalu berat untuknya?"
Erydan menjawab lirih, "Kita akan melindunginya."
Namun di kejauhan, dalam bayang-bayang malam, sesuatu yang gelap telah bangkit, siap mengincar pewaris Segel Cahaya: Elarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monoxs TM7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Cahaya dan Bayangan
Sisa-sisa pertarungan masih membekas di medan yang kini kembali sunyi. Kael dan Elarya berdiri di tepi bukit, menyaksikan horizon yang perlahan cerah. Angin membawa hawa segar, tetapi rasa lelah dan tegang masih terasa di udara.
"Apa yang kau rasakan?" tanya Kael akhirnya, memecah keheningan. Ia melihat Elarya yang masih memegang dadanya, tempat segel cahaya bersinar lembut.
Elarya menghela napas panjang. "Segel ini... aku berhasil menstabilkannya tadi, tetapi aku tidak yakin itu akan bertahan. Rasanya seperti ada sesuatu yang lebih besar yang menunggu untuk dilepaskan."
Kael mengerutkan kening. "Kita tidak punya waktu banyak untuk bersiap. Jika ancaman seperti tadi hanyalah awal, maka yang berikutnya akan lebih buruk."
Elarya mengangguk pelan. Ia tahu Kael benar. Makhluk itu hanyalah peringatan—sebuah pembuka untuk sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap. Tetapi bagaimana ia bisa menghadapi semuanya jika kekuatan segelnya sendiri masih menjadi misteri baginya?
"Kita harus kembali ke kerajaan," ujar Elarya akhirnya. "Mungkin di perpustakaan istana, aku bisa menemukan lebih banyak tentang segel ini dan asal-usulnya. Ada sesuatu yang hilang, dan aku perlu menemukannya."
Kael tersenyum tipis, mencoba mengurangi ketegangan. "Baiklah, kalau begitu. Ayo kita pulang, meskipun aku tahu perjalanan ini tidak akan menjadi bulan madu yang tenang seperti yang kita bayangkan."
Elarya tersenyum kecil, meskipun hatinya masih penuh kekhawatiran.
###
Perjalanan kembali ke Aetherial tidak semudah yang mereka harapkan. Meski tidak ada ancaman fisik langsung, suasana sepanjang jalan terasa semakin berat. Langit sering tertutup awan gelap yang bergerak cepat, dan tanah yang mereka lewati tampak seperti kehilangan kehidupannya.
"Ini tidak normal," gumam Elarya suatu malam saat mereka berkemah di tepi sungai kecil.
Kael menatap sekeliling, memeriksa keadaan. "Kau pikir ini ulah Maldrak?"
"Mungkin," jawab Elarya. "Atau mungkin juga ini efek dari segel yang belum sepenuhnya terkendali. Dunia ini... seperti merespons ketidakstabilan dalam diriku."
Kael meletakkan tangannya di bahunya. "Kita akan menyelesaikan ini bersama. Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri."
Elarya menatapnya, merasa bersyukur atas kehadirannya. Dalam situasi seperti ini, Kael adalah satu-satunya tempat ia bisa berpegang teguh.
###
Ketika mereka akhirnya tiba di gerbang Aetherial, suasana di dalam kota tampak jauh lebih buruk dari yang mereka duga. Banyak warga yang terlihat ketakutan, dan penjagaan di sekitar istana diperketat.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Kael kepada seorang penjaga yang mereka temui.
Penjaga itu tampak ragu sejenak sebelum menjawab. "Ada laporan tentang makhluk bayangan yang menyerang desa-desa di perbatasan. Tidak ada yang tahu dari mana mereka berasal, tetapi mereka semakin mendekati kota."
Elarya merasa dadanya sesak. Ini lebih buruk dari yang ia kira. Ancaman itu sudah menyebar, dan waktu mereka semakin sedikit.
"Kita harus bertemu dengan dewan segera," ujar Elarya tegas.
Penjaga itu mengangguk, membuka jalan bagi mereka menuju balairung istana.
###
Di dalam balairung, para tetua kerajaan berkumpul dalam suasana tegang. Ketika Elarya dan Kael masuk, semua mata tertuju pada mereka.
"Yang Mulia," salah satu tetua berbicara. "Kami mendengar tentang keberhasilan Anda menghancurkan salah satu makhluk itu. Namun, ancaman yang lebih besar masih ada. Apa rencana Anda?"
Elarya berdiri tegak, meskipun lelah masih tergambar di wajahnya. "Aku membutuhkan waktu untuk mempelajari lebih lanjut tentang segel ini. Kekuatan ini adalah kunci untuk melawan kegelapan, tetapi aku belum sepenuhnya memahaminya."
"Dan sementara itu?" tanya tetua lain. "Bagaimana jika ancaman itu datang sebelum Anda siap?"
Elarya menatap mereka dengan penuh keyakinan. "Kami akan bertarung, seperti yang selalu kami lakukan. Tetapi aku membutuhkan dukungan kalian untuk menjaga rakyat tetap aman."
Para tetua saling bertukar pandang, akhirnya mengangguk setuju.
"Baiklah," ujar salah satu dari mereka. "Kami akan memperkuat penjagaan di seluruh wilayah. Namun, kami berharap Anda dapat segera memberikan jawaban."
Elarya mengangguk, lalu berbalik menuju perpustakaan istana.
###
Di dalam perpustakaan kuno itu, Elarya dan Kael mencari kitab-kitab yang berisi informasi tentang Segel Cahaya. Buku-buku tebal berdebu dan gulungan perkamen menumpuk di meja mereka.
"Aku menemukannya," ujar Kael tiba-tiba, menarik sebuah kitab tua dengan sampul berwarna emas.
Elarya membukanya dengan hati-hati, matanya langsung tertuju pada sebuah bagian yang membahas tentang segel.
"Segel Cahaya adalah warisan kuno yang hanya dapat digunakan oleh mereka yang memiliki hati yang murni. Namun, kekuatannya bukan tanpa risiko. Jika segel menjadi tidak stabil, ia dapat menjadi pintu gerbang bagi kekuatan gelap yang tidak terbayangkan."
Elarya menggigit bibirnya. "Jadi itu sebabnya aku merasa kekuatan ini tidak stabil. Aku harus menemukan cara untuk menyelaraskannya, atau aku akan membuka pintu bagi Maldrak untuk menghancurkan dunia ini."
Kael menatapnya dengan serius. "Kita akan menemukannya, Elarya. Apa pun yang terjadi, aku akan ada di sisimu."
Meskipun rasa takut masih menghantui, Elarya merasa sedikit lebih tenang. Dengan Kael di sisinya, ia yakin mereka akan menemukan jalan keluar dari kegelapan ini.
Di perpustakaan yang sepi, hanya suara halus desiran angin yang masuk melalui celah jendela kuno. Elarya memejamkan mata sejenak, mencoba meresapi informasi yang baru saja ia baca. Jantungnya masih berdebar, baik karena rasa takut akan apa yang mungkin terjadi, maupun kehadiran Kael di dekatnya yang memberinya kenyamanan yang tak terkatakan.
Kael duduk di seberangnya, dengan tatapan intens pada dirinya. "Elarya," katanya lembut, "kau tidak perlu memikul ini sendirian."
Elarya membuka matanya, menatap Kael. "Aku tahu, tapi... ini tanggung jawabku. Segel ini ada di tubuhku. Jika aku gagal, semuanya akan berakhir."
Kael bersandar ke kursinya, menyilangkan lengannya. "Dan kau pikir aku hanya akan duduk diam dan membiarkan itu terjadi?" Ia tersenyum kecil, meskipun ada keseriusan dalam matanya. "Kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Elarya. Aku tahu kau kuat, tapi kekuatanmu tidak berarti kau harus selalu sendirian."
Perkataannya membuat Elarya terdiam. Tidak ada yang pernah berbicara padanya seperti itu sebelumnya. Tidak ada yang benar-benar memahami beban yang ia pikul—selain Kael.
"Aku takut," bisiknya akhirnya, suara yang jarang ia tunjukkan kepada siapa pun. "Aku takut kehilangan kendali. Aku takut membuat semua orang yang kucintai dalam bahaya."
Kael berdiri, berjalan mendekatinya. Ia berlutut di samping kursi Elarya, menatap matanya dengan intens. "Lalu jangan pernah merasa kau harus menghadapinya sendirian. Aku ada di sini, Elarya. Tidak peduli apa yang terjadi, aku akan selalu di sisimu."
Mata Elarya berkaca-kaca, dan ia merasakan air mata yang sudah lama ia tahan akhirnya mengalir. Kael, dengan lembut, menghapus air mata itu dengan ibu jarinya.
"Kau tidak perlu menahan semuanya, tahu?" katanya dengan nada lembut.
Elarya mengangguk perlahan, dan sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, Kael menariknya ke dalam pelukan. Pelukannya hangat, penuh perlindungan, seolah dunia di luar tidak lagi menjadi ancaman.
"Terima kasih, Kael," bisiknya di bahunya.
"Untuk apa?" tanyanya, mengusap punggungnya dengan lembut.
"Untuk tidak pernah menyerah padaku, bahkan ketika aku meragukan diriku sendiri."
Kael tertawa kecil. "Kau benar-benar tidak tahu, ya?"
Elarya mengangkat wajahnya, bingung. "Tahu apa?"
Kael menatapnya dalam-dalam, matanya dipenuhi dengan sesuatu yang lebih dari sekadar keyakinan. "Aku mencintaimu, Elarya. Dari saat pertama aku melihatmu, aku tahu kau adalah orang yang akan kuserahkan segalanya."
Elarya terkejut. Kata-kata itu datang tiba-tiba, tetapi di saat yang sama terasa begitu tulus. Ia menatap Kael, mencari kebenaran dalam matanya, dan menemukannya—begitu jelas, begitu dalam.
"Kael..." bisiknya, suara itu hampir hilang dalam keheningan.
Kael tersenyum lembut. "Aku tahu waktu ini tidak ideal. Kita sedang menghadapi dunia yang kacau. Tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin kau tahu."
Elarya merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab, tetapi sesuatu dalam dirinya mendorongnya untuk bertindak. Dengan hati-hati, ia menyentuh wajah Kael, lalu mendekatkan wajahnya.
Ciuman itu lembut, seperti janji yang tak terucapkan. Tidak ada kata-kata yang diperlukan. Hanya ada mereka berdua di sana, dalam momen yang terasa seperti keabadian.
Ketika mereka akhirnya berpisah, Kael tersenyum kecil. "Aku kira itu berarti kau juga mencintaiku?"
Elarya tertawa pelan, rona merah menghiasi pipinya. "Kau benar-benar tidak tahu kapan harus diam, ya?"
"Benar, tapi itu salah satu hal yang kau sukai dariku, bukan?" goda Kael.
Elarya hanya menggelengkan kepala, tetapi senyum yang merekah di wajahnya sudah cukup menjadi jawaban.
###
Malam itu, Elarya merasakan beban di dadanya sedikit lebih ringan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di depan, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa ia tidak perlu menghadapi semuanya sendiri. Dengan Kael di sisinya, ia tahu mereka bisa mengatasi apa pun—entah itu kegelapan di luar sana, atau keraguan yang masih bersarang di dalam dirinya sendiri.
Ketika mereka kembali ke kamar masing-masing, Elarya memandang ke arah horizon dari jendela kamarnya. Di sana, bintang-bintang mulai muncul, memberikan cahaya lembut di langit yang gelap.
"Terima kasih," bisiknya pelan, baik untuk Kael maupun untuk keberanian yang akhirnya ia temukan dalam dirinya sendiri.
Malam sudah larut ketika Elarya berjalan pelan ke balkon kamarnya, mencoba mengatur napas dan menenangkan pikirannya. Hatinya masih berdetak tak menentu, memikirkan kata-kata Kael dan momen penuh kehangatan yang baru saja mereka bagi. Cahaya bulan menyinari rambutnya, membuatnya terlihat seperti sosok ethereal yang nyaris tidak nyata.
"Elarya?"
Suara itu membuatnya tersentak. Ia menoleh dan mendapati Kael berdiri di ambang pintu balkon. Wajahnya tenang, tetapi sorot matanya penuh dengan sesuatu yang tak terucapkan.
"Kael," bisik Elarya, seolah takut suara yang terlalu keras akan memecah keheningan malam.
Kael melangkah mendekat, mengabaikan jarak antara mereka. "Aku tidak bisa tidur," katanya dengan nada rendah. "Pikiran tentang apa yang akan kita hadapi... dan tentangmu."
Elarya merasa tubuhnya memanas. "Tentang aku?"
Kael mengangguk, berhenti tepat di hadapannya. "Ya. Tentang bagaimana aku ingin kau tahu, tidak peduli apa pun yang terjadi, kau adalah segalanya bagiku."
Ia mengangkat tangannya, menyentuh pipi Elarya dengan lembut. Sentuhan itu mengirimkan kehangatan yang aneh tetapi nyaman ke seluruh tubuhnya. Elarya menatap mata Kael, merasa seperti tenggelam dalam lautan emosi yang ia sendiri tidak tahu harus bagaimana menanganinya.
"Kael, aku..." Suaranya tercekat, tetapi Kael tidak memberinya waktu untuk melanjutkan.
Kael mendekatkan wajahnya, dan Elarya tidak bergerak, membiarkan bibir mereka bersentuhan sekali lagi. Kali ini, ciuman itu tidak lagi lembut atau ragu. Itu penuh dengan gairah yang mendalam, seolah mereka mencoba berbicara tanpa kata-kata, menyampaikan semua perasaan yang mereka pendam selama ini.
Kael menariknya lebih dekat, membungkusnya dalam pelukannya. Tubuh mereka saling bersandar, dan Elarya bisa merasakan detak jantung Kael yang cepat, seirama dengan miliknya.
"Elarya," bisiknya di antara ciuman mereka, suaranya terdengar seperti doa.
Elarya membalasnya, tidak lagi memikirkan apa pun selain momen ini, perasaan ini. Tangan Kael menyusuri punggungnya dengan lembut, memberikan sentuhan yang membuat tubuhnya gemetar. Elarya menautkan jari-jarinya di leher Kael, menariknya lebih dekat lagi, seolah tidak ingin mereka berpisah.
Angin malam menyapu mereka, tetapi tidak ada yang peduli. Waktu seolah berhenti saat mereka saling menemukan kehangatan di tengah dunia yang dingin dan penuh bahaya.
Ketika akhirnya mereka berhenti, napas mereka berat, tetapi mata mereka tetap terhubung. Kael menyentuh wajah Elarya sekali lagi, menyelipkan rambut yang terjatuh dari wajahnya ke belakang telinga.
"Aku mencintaimu, Elarya," katanya lagi, lebih dalam kali ini, seperti janji yang tidak bisa dipatahkan.
Elarya tersenyum kecil, lalu menjawab dengan suara lembut, "Dan aku mencintaimu, Kael."
Malam itu, mereka tidak hanya berbagi keintiman, tetapi juga harapan. Apa pun yang akan mereka hadapi ke depan, mereka tahu bahwa selama mereka memiliki satu sama lain, tidak ada yang tidak mungkin.
Kael masih memegang wajah Elarya dengan lembut, seolah ingin memastikan bahwa ia ada di sana, bahwa mereka berdua berada dalam kenyataan yang sama. Mata mereka bertemu lagi, dan dalam tatapan itu terdapat pemahaman yang lebih dalam, jauh melampaui kata-kata.
Elarya mengangkat tangannya dan menyentuh dada Kael, merasakan detak jantungnya yang masih cepat, seiring dengan getaran yang mereka rasakan bersama. "Kael, aku... aku takut. Kekuatan ini, segel ini... kadang rasanya seperti beban yang tak bisa aku tanggung."
Kael menunduk, mencium keningnya dengan lembut, mencoba menenangkan kegelisahan yang ia rasakan. "Kau tidak sendiri, Elarya. Aku di sini untukmu. Kita akan melalui ini bersama. Segel itu bukan hanya milikmu, itu milik kita."
Elarya menatapnya, perasaan hangat meresap ke dalam hatinya. "Tapi bagaimana jika aku tidak bisa mengendalikannya? Bagaimana jika... semuanya hancur?"
Kael mengangkat dagunya, memaksa Elarya untuk melihat matanya. "Tidak ada yang tak mungkin, Elarya. Kamu sudah menunjukkan betapa kuatnya dirimu. Aku percaya padamu, seperti aku percaya pada kita."
Kata-kata Kael menyentuh hatinya, membuat rasa takutnya sedikit mereda. Namun, beban di bahunya tetap ada, sebuah peringatan akan ancaman yang mengintai mereka.
"Tapi aku takut," kata Elarya, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku takut jika aku tidak bisa melindungi semuanya."
Kael mendekat lagi, merangkulnya dengan lembut. "Kita akan melindungi semuanya, kita akan melindungi satu sama lain."
Setelah beberapa saat dalam diam, Elarya menghela napas, dan menarik diri sedikit untuk melihat Kael. Ia memandangi wajahnya, mendalam, seakan mencari jawabannya di sana.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi," katanya perlahan. "Tapi aku tahu satu hal, Kael. Aku ingin kita menghadapinya bersama. Tidak peduli apa yang terjadi, kita akan selalu ada untuk satu sama lain."
Kael tersenyum dan mencium pipinya dengan penuh kasih. "Aku janji, Elarya. Aku akan selalu ada untukmu."
Malam itu terasa seperti sebuah pernyataan, sebuah pengakuan atas perasaan yang sudah mereka bagi sejak lama, meskipun tak pernah terucapkan. Keduanya tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Segalanya masih menunggu mereka di depan, namun satu hal yang pasti—selama mereka bersama, tidak ada yang bisa memisahkan mereka.
Elarya menatap langit malam, yang kini tampak lebih cerah, seolah mencerminkan hati mereka yang kini lebih terbuka. "Kita akan menemukan cara," katanya penuh keyakinan. "Aku tahu kita bisa."
Kael menariknya kembali ke dalam pelukannya, merasakan kehangatannya yang membuat dunia terasa lebih aman. "Aku tahu kita bisa, Elarya."
Dan dengan itu, mereka berdiri di sana, dua jiwa yang saling menguatkan, siap menghadapi apapun yang akan datang. Mereka mungkin tidak tahu apa yang menanti mereka, tetapi mereka tahu bahwa selama mereka bersama, mereka tidak akan pernah kalah.