Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Refleksi dan Rencana selanjutnya
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Rehan merasa semakin terperangkap dalam eksperimen yang ia buat sendiri. Setelah pertemuan ketiganya dengan Dinda di warkop, ia merasa semakin sulit untuk menjelaskan perasaan yang tumbuh di dalam dirinya. Setiap kali ia berusaha berpikir rasional dan logis, hatinya malah menggoyahkan teori-teori yang selama ini ia pegang teguh. Tidak ada rumus fisika yang bisa menjelaskan apa yang dirasakannya saat melihat senyum Dinda. Tidak ada prinsip sains yang bisa membantunya memahami ketegangan yang muncul setiap kali mereka berbicara.
Hari itu, setelah seharian bekerja di lab bersama Pak Seno, Rehan kembali ke kost dengan pikiran yang sama sekali tidak fokus. Pikiran tentang Dinda terus mengalir, seakan tidak ada ruang untuk hal lain. Begitu masuk ke kamar, Aryo, yang duduk di meja belajar, langsung menyapanya dengan santai.
"Bro, lo masih mikirin cewek itu?" Aryo bertanya sambil tertawa kecil. "Muka lo udah kayak orang pusing mikirin skripsi aja."
Rehan hanya menggelengkan kepala, berusaha untuk tersenyum. "Gue nggak ngerti, Aryo. Rasanya... aneh. Gue nggak tahu kenapa setiap kali ketemu Dinda, jantung gue malah berdebar-debar. Itu nggak masuk akal."
Aryo menatapnya dengan ekspresi serius, meskipun tak lepas dari senyuman. "Akhirnya, lo mulai ngerasain juga ya? Kalau menurut gue, lo udah jatuh cinta sama dia."
Rehan mengernyitkan dahi. "Cinta? Itu cuma ilusi, Aryo. Gue udah sering jelasin kan, cinta itu... cuma respons kimiawi. Gue nggak mungkin jatuh cinta. Semua itu bisa dijelaskan dengan logika."
Aryo mengangguk, tapi ada gurauan di balik matanya. "Lo pasti masih ragu, kan? Kalau lo beneran percaya itu cuma kimia, kenapa lo nggak bisa berhenti mikirin dia?"
Rehan terdiam. Memang, itu yang terjadi. Setiap kali ia melihat Dinda, entah mengapa pikirannya melayang, dan logika yang biasa ia pegang teguh seolah runtuh begitu saja. Ia merasa cemas, bingung, dan lebih parah lagi, ia merasa tidak punya kendali atas perasaannya. Semua itu terasa seperti bagian dari eksperimen yang tak terduga.
"Aryo, gue harus mencari jawaban pasti tentang ini," kata Rehan, akhirnya. "Gue nggak bisa terus-terusan begini. Gue butuh data, butuh penjelasan yang ilmiah. Gue harus tahu apakah perasaan gue itu beneran atau cuma efek samping dari... ya, apa pun itu."
Aryo tersenyum, tampak seperti sudah menunggu jawaban seperti itu. "Oke, gue nggak akan ganggu lo lagi. Tapi, lo pasti butuh bantuan gue, kan?"
Rehan mengangguk. "Ya, gue butuh. Cuma, gue nggak tahu harus mulai dari mana."
"Yaudah, kalau gitu, ayo kita buat rencana," ujar Aryo dengan semangat, berdiri dari kursinya dan berjalan ke meja. "Lo harus perhatikan setiap detilnya. Misalnya, kenapa lo bisa merasa seperti ini setiap kali lo ketemu sama dia. Apa ada pola tertentu, atau cuma reaksi tubuh aja?"
Rehan memikirkan kata-kata Aryo. Tentu saja, ia sudah tahu bahwa tubuh manusia memang merespons secara kimiawi terhadap rangsangan emosional, tapi ia ingin menguji apakah perasaannya benar-benar bisa dianalisis secara ilmiah, atau hanya sebuah ilusi.
"Begini," Rehan mulai menjelaskan dengan tegas. "Kita harus memulai dengan menganalisis perasaan gue terhadap Dinda berdasarkan beberapa prinsip psikologi dan fisiologi. Misalnya, gue perlu tahu apakah ada perubahan signifikan dalam detak jantung, suhu tubuh, atau hormon tertentu ketika gue bertemu dengan dia."
Aryo mengangguk-angguk, menyetujui rencana Rehan. "Oke, jadi lo bakal jadi subjek eksperimen sendiri, ya? Gila juga sih, tapi gue tertarik lihat hasilnya."
"Ya, gue harus buktikan kalau perasaan ini cuma reaksi tubuh terhadap stimulus tertentu," jawab Rehan. "Dan, lo akan bantu gue mencatat segala hal yang terjadi. Kita akan buat semacam jurnal untuk eksperimen ini."
Seiring malam berlalu, Rehan dan Aryo menghabiskan waktu untuk merancang eksperimen yang lebih rinci. Mereka mulai memikirkan berbagai hal yang bisa diukur, seperti perubahan suhu tubuh, detak jantung, bahkan frekuensi napas. Rehan bertekad untuk mencatat setiap momen yang melibatkan Dinda, mengumpulkan data sebanyak mungkin, untuk akhirnya mendapatkan jawaban ilmiah yang ia cari.
Keesokan harinya, Rehan kembali ke warkop. Ia sudah mempersiapkan diri untuk pertemuan keempat dengan Dinda. Kali ini, ia membawa alat-alat untuk mengukur detak jantung dan suhu tubuhnya. Sambil duduk di sudut warkop, Rehan mulai mempersiapkan segala sesuatu dengan hati-hati, berusaha tetap terlihat alami meskipun ia merasa cemas.
Ketika Dinda datang menghampirinya, senyum manisnya kembali menggetarkan hati Rehan. "Hai, mas! Kopinya seperti biasa, ya?" Dinda bertanya dengan ceria.
Rehan mengangguk, sedikit tersenyum. "Iya, sama seperti kemarin. Tapi kali ini, gue bawa alat buat ngukur suhu tubuh gue." Rehan terkejut dengan dirinya sendiri yang mengucapkan itu dengan santai, meskipun niat awalnya adalah untuk menjaga jarak dari Dinda.
Dinda tertawa kecil, namun terlihat bingung. "Alat buat ngukur suhu tubuh? Kok, aneh banget, mas. Lo lagi eksperimen ya?"
Rehan merasa sedikit canggung, tetapi tetap berusaha menjaga suasana tetap ringan. "Iya, eksperimen tentang... tubuh manusia. Gue tertarik sama reaksi tubuh manusia dalam berbagai situasi. Mungkin gue bisa ngukur juga seberapa cepat detak jantung gue kalau ketemu orang yang... spesial."
Dinda mengangkat alis, masih agak bingung, tetapi tetap tertawa. "Masih aja, ya, mas? Penasaran terus. Tapi kalau itu membantu lo, ya, nggak masalah."
Rehan hanya tersenyum kaku, berusaha tidak memberi tahu Dinda bahwa ia sebenarnya sedang berusaha mempelajari reaksi tubuhnya terhadapnya. "Iya, kadang-kadang pengetahuan itu datang dari hal-hal kecil."
Sambil menikmati kopi yang sudah dipesan, Rehan mengamati Dinda dengan seksama, mencoba menangkap setiap reaksi yang bisa menjadi data untuk eksperimennya. Namun, semakin lama ia mengamati Dinda, semakin Rehan merasa bahwa eksperimennya mungkin tak cukup untuk memahami perasaan yang ia alami. Mungkin, perasaan ini bukan sesuatu yang bisa dihitung dengan angka atau diukur dengan alat.
Sesaat, Rehan merasa kebingungan. Apakah ini cinta? Atau hanya reaksi tubuh yang bisa dijelaskan dengan rumus? Ia tidak tahu. Yang ia tahu, eksperimennya semakin rumit dan semakin membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang dirinya sendiri—tentang perasaan yang selama ini ia abaikan.
Rehan kembali melanjutkan perhatiannya ke alat pengukur detak jantungnya, namun kali ini ia tahu bahwa ada satu hal yang lebih penting dari semua data yang ia kumpulkan. Ia mulai sadar, mungkin eksperimen ini bukan hanya tentang mencari jawaban ilmiah, tetapi juga tentang belajar merasakan dan menerima perasaan yang selama ini ia anggap sepele.
Begitulah, eksperimen Rehan dimulai, namun ia merasa semakin bingung. Mungkin ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar teori.