Hati siapa yang tak bahagia bila bisa menikah dengan laki-laki yang ia cintai? Begitulah yang Tatiana rasakan. Namun sayang, berbeda dengan Samudera. Dia menikahi Tatiana hanya karena perempuan itu begitu dekat dengan putri semata wayangnya. Ibarat kata, Tatiana adalah sosok ibu pengganti bagi sang putri yang memang telah ditinggal ibunya sejak lahir.
Awalnya Tatiana tetap bersabar. Ia pikir, cinta akan tumbuh seiring bergantinya waktu dan banyaknya kebersamaan. Namun, setelah pernikahannya menginjak tahun kedua, Tatiana mulai kehilangan kesabaran. Apalagi setiap menyentuhnya, Samudera selalu saja menyebutkan nama mendiang istrinya.
Hingga suatu hari, saudari kembar mendiang istri Samudera hadir di antara carut-marut hubungan mereka. Obsesi Samudera pada mendiang istrinya membuatnya mereka menjalin hubungan di belakang Tatiana.
"Aku bisa sabar bersaing dengan orang yang telah tiada, tapi tidak dengan perempuan yang jelas ada di hadapanku. Maaf, aku memilih menyerah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Sebatas Ibu Pengganti?
Setibanya di rumah mendiang ibu Tatiana, Samudera pun gegas turun. Melihat tanaman yang tumbuh subur pun lantai dan kaca jendela yang terlihat bersih mengilap membuat keyakinan Samudera kalau Tatiana berada di rumah itu kian menyeruak. Dengan senyuman mengembang, Samudera lantas mengetuk pintu coklat dari kayu jati tersebut sambil mengucap salam. Tak lupa, ia merapikan penampilannya agar terlihat rapi dan segar. Dengan memasang senyum terbaik, senyum yang tak pernah ia tampakkan di depan Tatiana, ia menanti pintu dibuka dari dalam.
Tok tok tok
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," sahut seseorang dari dalam rumah. Tak lama kemudian, pintu pun terbuka menampakkan seorang perempuan paruh baya
Samudera tertegun. Ia terkejut mendapati orang lain yang menghuni rumah mendiang ibu mertuanya itu.
"Maaf, Tiana-nya ada?"
"Tiana?" beo wanita paruh baya itu.
"Tiana?" Samudera mengangguk. "Oh, pemilik rumah ini toh?"
Dahi Samudera mengernyit, tapi ia kembali mengangguk.
"Iya, Tiana. Apa dia ada?"
Mendadak jantung Samudera kembali berdegup kencang. Ia seakan bisa menangkap firasat tak baik saat melihat wajah wanita paruh baya itu. Apalagi dari caranya menyebut nama Tatiana sebagai pemilik rumah itu.
"Neng Tiana nggak tinggal di sini. Kalau nggak salah dia tinggal sama suaminya. Kami baru menempati rumah ini dua hari yang lalu. Karena ibu nak Tiana meninggal, jadi rumah ini disewakan ke kami."
Ya, sejak beberapa hari yang lalu memang Tatiana meminta tolong pak RT mencarikan calon penyewa rumah ibunya. Ia tak ingin rumah itu terlalu lama kosong jadi ia memilih menyewakannya. Dan rumah itu sendiri disewa oleh saudara pak RT sendiri yang kebetulan baru pindah ke kota itu.
Sontak saja mata Samudera membulat. Harapannya bertemu Tatiana di rumah itu seketika musnah.
...***...
Setelah mengetahui Tatiana tidak tinggal di rumah itu, Samudera pun kembali melajukan mobilnya tak tentu arah. Ia bingung. Ia tak tahu lagi kemana harus mencari keberadaan Tatiana yang hilang bagai ditelan bumi. Yang Samudera sesalkan, ia tidak tahu apa-apa mengenai Tatiana. Bahkan ia tak tahu sama sekali siapa temannya, dimana rumah temannya. Kemana saja Tatiana sering pergi selama ini. Ia benar-benar buta akan tentang Tatiana.
Tak memiliki arah tujuan, ia pun melajukan mobilnya menuju rumah orang tuanya. Ia berharap bisa mendapatkan informasi mengenai Tatiana di sana. Atau bisa saja sebenarnya Tatiana bersembunyi darinya di sana.
Dengan secercah harapan, Samudera pun melajukan mobilnya menuju kediaman orang tuanya. Tak sampai satu jam kemudian, Samudera telah tiba di rumah orang tuanya. Rumah itu tidak begitu besar, namun terasa nyaman dan hangat. Rumah masa kecilnya. Rumah tempat ia dibesarkan.
Binar harapannya menyala. Namun saat diperhatikan, ia tidak menemukan mobil Tatiana.
"Assalamu'alaikum, Ma."
"Wa'alaikumussalam. Eh, kamu Sam? Tumben jam segini ke sini? Memangnya kamu nggak kerja?" tanya Ibu Samudera sambil mengulurkan tangannya untuk disalami sang putra.
"Sam baru pulang workshop di Surabaya kemarin, Ma. Jadi hari ini bisa minta izin cuti."
"Tapi kenapa kamu kesini sendirian? Coba ajak sekalian Tiana sama Ana. Ajak mereka jalan-jalan. Jangan cuma sibuk kerja sampai melupakan kewajibanmu membahagiakan anak dan istri. Terutama Tiana. Kamu terlalu sering mengabaikannya. Mama kasian sekali sama dia. Apalagi dia baru merasa kehilangan. Ada baiknya kamu ajak dia liburan, biar dia bisa melupakan sedikit kesedihannya," ujar Sakinah menasihati Samudera yang memang ia ketahui jarang sekali membawa anak istrinya jalan-jalan. Padahal jalan-jalan itu penting. Setiap pasangan perlu mengagendakannya minimal satu kali dalam sebulan. Hal itu penting untuk mempererat kasih sayang dalam keluarga. Menjaga keharmonisan. Tak perlu yang mewah, bahkan hanya jalan-jalan ke taman kota atau pasar malam pun sudah cukup membahagiakan anak dan istri. Sejatinya yang mereka butuhkan bukan kemewahan, tapi kebersamaan.
Kepala Samudera tertunduk dalam. Bila diingat-ingat, ia memang tidak pernah dengan sengaja mengajak Tatiana bepergian. Kalaupun pergi, itu karena Ariana yang merengek. Ia tak pernah sedikitpun memikirkan kebutuhan Tatiana, keinginannya, dan kebahagiaannya. Ia benar-benar suami yang buruk.
Padahal ia memiliki pengalaman sebagai seorang suami. Dulu ia memperlakukan Triana sangat istimewa. Jalan-jalan , liburan, makan malam romantis, semua itu ia berikan pada Triana. Tapi tidak dengan Tatiana. Pengabaian demi pengabaian ia berikan.
Padahal sudah banyak yang Tatiana korbankan untuknya dan Ariana. Demi menjalani tugas sebagai seorang ibu dan istri yang baik, Tatiana bahkan rela mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai seorang perawat. Padahal ia tahu bagaimana perjuangan seorang tenaga medis untuk mendapatkan gelarnya. Meskipun tidak serumit pendidikan seorang dokter, tapi perawat pun membutuhkan dedikasi yang luar biasa. Rela berpisah dari keluarga karena tinggal di asrama. Fokus pada pendidikan dan belum lagi biaya yang dikeluarkan cukup besar. Tapi semua ia tanggalkan demi berbakti pada keluarga kecilnya yang baru.
Namun apa yang Samudera beri, hanya kesakitan dan kekecewaan saja. Tak pernah ada kehangatan dalam rumah tangga mereka. Kehangatan hanya tercipta saat di atas ranjang semata. Sungguh ia suami yang kejam.
"Sam ... "
"Sam ... "
"Samudera," sentak Sakinah saat melihat anaknya melamun. Panggilannya pun sampai tidak ia dengar sama sekali.
Samudera tersentak. Ia lantas mengangkat wajahnya. Sang ibu mengerutkan keningnya saat melihat sorot mata Samudera yang terlihat nanar.
"Kamu kenapa? Ada masalah?"
"Ma ... Tiana ... "
"Tiana? Tiana kenapa? Apa sesuatu terjadi pada Tatiana? Sam, katakan jangan hanya diam membisu?"
Dengan suara bergetar, Samudera akhirnya menjawab pertanyaan sang ibu.
"Tiana ... dia pergi meninggalkan, Sam, Ma."
"Apa? Pergi? Pergi bagaimana maksudmu?" cecar Sakinah atas jawaban Samudera yang terdengar ambigu sebab pergi itu memiliki dua arti. Arti sebenarnya dan arti kiasan yang berarti meninggal. Sakinah mendadak memucat khawatir dengan jawaban Samudera selanjutnya.
"Tiana sepertinya marah dan kecewa dengan Sam. Ia juga sepertinya salah paham sehingga memutuskan pergi dari rumah," akunya membuat Sakinah terlonjak kaget.
"Setiap orang memiliki batas kesabaran masing-masing, Sam. Dan sepertinya Tiana sudah sampai pada batas itu. Terimalah risikonya, Sam. Mama sudah sering memperingatkan mu, tapi kau tidak pernah mengindahkannya. Sekarang Tiana pergi entah kemana. Mama tidak akan menyalahkan Tiana. Kalaupun mama yang menjadi Tiana, mungkin sudah sejak dulu Mama pergi. Tapi Tiana terlalu baik dan penyabar. Ia terus berusaha bertahan meskipun kau selalu bersikap dingin padanya. Dan jangan lupakan, kau tidak pernah menganggapnya benar-benar ada. Lihat di sekeliling rumahmu? Istri mana yang sanggup bertahan bila setiap sudut rumahnya saja berisi segala hal tentang mendiang istri pertama suaminya. Bahkan untuk menggantung foto pernikahan di tempat semestinya saja kau tidak membolehkan. Mama yang melihatnya saja bisa merasakan kesakitan Tiana. Mama tahu kau begitu mencintai Triana, tapi seharusnya kau ingat, Triana sudah tiada. Dan di sana ada Tiana yang sudah menjadi istrimu. Seharusnya kau pikirkan bagaimana sakitnya perasaan Tiana saat keberadaannya tak dianggap? Sakit, Sam. Sakit. Meskipun sedih, tapi mama sangat mendukung keputusan Tiana. Untuk apa tinggal dengan suami sepertimu yang bahkan tak pernah benar-benar menganggap keberadaannya. Kau benar-benar jahat, Sam. Mama tidak menyalahkan mu yang masih mencintai Triana, tapi setidaknya hargai keberadaan Tiana. Ia istrimu. Ia rela meninggalkan segalanya demi baktinya padamu. Hargai dia. Belajarlah mencintainya. Beri ia perhatian. Atau selama ini kau hanya menganggapnya sebatas ibu pengganti? Iya?" cecar Sakinah menohok tepat ke jantung Samudera.
Samudera bungkam. Ia tak mampu membantah tuduhan sang ibu pun menjawabnya.
Lidahnya kelu. Tak ada satu katapun yang sanggup terucap. Rasa bersalah semakin menjalari hati menikam jantung.
'Aku tak pernah bermaksud menganggapnya seperti itu?'
Tapi kata-kata itu hanya terucap di hati. Sehingga diamnya Samudera membuat Sakinah membenarkan dugaannya. Sakinah yang kecewa dengan putranya pun segera beranjak dari sana. Meninggalkan Samudera yang makin tenggelam dalam penyesalan yang tak terungkapkan.
...***...
Taksi kini membawa Tatiana ke terminal Tanjung Priok atas permintaan Tatiana. Tatiana yang bingung pun lelah jiwa dan raga memilih pergi ke sana. Untuk selanjutnya, ia hanya akan mengikuti alurnya saja.
Setibanya di terminal Tanjung Priok, Tatiana berdiri menghadap puluhan armada bus antarkota antarprovinsi di sana. Tatiana yang tak tahu harus kemana pun pergi ke loket untuk menanyakan bus tujuan mana yang akan berangkat paling awal.
"Sekitar satu jam lagi bus tujuan Yogyakarta akan berangkat, Kak," jawab petugas loket.
Tatiana yang memang tidak memiliki tujuan pun akhirnya memutuskan membeli tiket tujuan Yogyakarta. Entah bagaimana kehidupan ke depannya, ia hanya akan mengikuti jalan takdir. Ia berharap, ia bisa menemukan kebahagiaannya di tempat yang baru nanti.
"Baik, mbak, saya mau satu tiket ke Yogyakarta," putus Tatiana mantap.
Mungkin perjalanan ini akan terasa panjang sebab ia akan menghabiskan waktu selama kurang lebih 10 jam. Lebih baik sebenarnya naik pesawat. Tapi Tatiana memilih naik bis antarkota antarprovinsi agar bisa menikmati perjalanannya sekaligus menenangkan pikiran.
"Selamat tinggal, Jakarta. Selamat tinggal masa lalu. Selamat datang masa depan," ucapnya saat bis mulai berjalan meninggalkan kota Jakarta.
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...
menyiksa diri sendiri.