Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.
Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.
Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Wedding Dress
Setidaknya dua minggu telah berlalu. Jae Hyun dan Riin semakin disibukkan dengan membagi waktu antara pekerjaan yang tak mengenal waktu dan persiapan pernikahan kontrak mereka. Ironisnya, sebuah pernikahan yang seharusnya sederhana justru terasa jauh lebih rumit daripada yang mereka bayangkan. Bahkan, Jae Hyun harus menghadapi tatapan penuh curiga dari orang tua Riin ketika meminta izin dan restu mereka. Tentu saja, kedua orang tua Riin tidak menyangka putri mereka akan menikah secepat itu, apalagi dengan seorang pria asing yang tiba-tiba muncul di kehidupan mereka.
Diskusi panjang dan penuh ketegangan antara kedua keluarga akhirnya mencapai kesepakatan: mereka hanya akan mengadakan pemberkatan kecil. Memikirkan rumitnya birokrasi untuk mengurus dokumen pernikahan lintas negara, mereka sepakat untuk mengesampingkan formalitas besar. Bagi Jae Hyun, ini hanyalah sebuah pernikahan di atas kertas, tanpa melibatkan perasaan dan akan berakhir pada batas waktu yang telah ditentukan.
***
Di depan sebuah rumah modern minimalis yang berada di ujung kompleks perumahan eksklusif, Jae Hyun dan Riin berdiri berdampingan. Ny. Hana, berada di antara mereka dengan senyuman lebar di wajahnya, jelas menunjukkan kebanggaannya atas rencana besar yang ia siapkan untuk putra dan calon menantunya.
"Lihatlah, bukankah rumah ini indah?" kata Ny. Hana, tangannya menunjuk ke arah bangunan dengan gaya arsitektur modern yang mencolok.
Riin berdiri diam, matanya mengamati rumah itu dengan hati-hati. Ia tidak tahu harus merasa kagum atau khawatir. Baginya, ini terlalu nyata. Rumah itu terlihat seperti tempat yang sempurna untuk memulai kehidupan baru, tapi kenyataan bahwa semua ini hanyalah sandiwara membuatnya merasa canggung. "Sangat indah," gumamnya, lebih untuk menjaga sopan santun daripada mengungkapkan kekaguman sejati.
Jae Hyun, di sisi lain, hanya berdiri dengan ekspresi datar. 'Eomma terlalu banyak berharap,' pikirnya. Baginya, rumah ini bukanlah tempat impian, melainkan tambahan beban dari pernikahan kontrak yang sudah cukup rumit. "Kau yakin kami perlu rumah sebesar ini?" tanyanya akhirnya, nada suaranya terdengar santai namun jelas mengisyaratkan keberatan.
Ny. Hana menatap putranya dengan tajam. "Tentu saja! Kau bukan lagi seorang lajang, Jae Hyun~a. Sudah saatnya kau memikirkan masa depan, keluarga, dan tentu saja, kenyamanan istrimu." Nada suaranya penuh ketegasan, tapi juga mengandung harapan yang tak bisa disembunyikan. Ia melangkah mendekati pintu depan dan membuka kuncinya, lalu mempersilakan keduanya masuk.
“Kalian harus melihat rumahnya dulu. Itu hadiah pernikahan dari kami. Eomma dan Appa tidak ingin kalian tinggal di apartemen sempit. Rumah itu cocok untuk pasangan muda seperti kalian.” Nada suaranya penuh antusiasme, seperti sudah membayangkan masa depan cerah untuk ‘pernikahan bahagia’ anaknya.
Riin, yang berdiri di sebelah Jae Hyun, tampak gelisah. Tangannya sibuk meremas-remas ujung pakaiannya, tanda bahwa pikirannya sedang tak tenang. Situasi ini terlalu asing baginya—bertemu calon mertua, melihat rumah baru, berpura-pura menjadi pasangan bahagia. Semua itu terasa seperti akting dalam drama murahan yang dipaksa menjadi kenyataan.
Ia mencuri pandang ke arah Jae Hyun yang sejak tadi terdiam. Ada sesuatu dalam sikap acuh tak acuh pria itu yang membuat Riin merasa semakin canggung. Namun, ia menahan diri untuk tidak mengatakan apa pun. 'Hanya beberapa bulan.' pikirnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.
“Lihatlah,” ujar Ny. Hana, suaranya penuh kebanggaan saat mereka memasuki rumah itu. Tangannya terentang seolah ingin merangkul seluruh ruangan. “Sangat cocok bagi pasangan muda seperti kalian, bukan?” Ia memimpin mereka ke ruang tamu yang luas dengan jendela besar yang menghadap ke taman belakang. “Meskipun hanya satu lantai, rumah ini cukup luas. Kalian bisa membesarkan setidaknya dua anak di sini.”
Kata-kata itu membuat Jae Hyun mengerutkan dahi. “Kami masih sibuk dengan pekerjaan, Eomma. Jadi mungkin belum akan secepat itu memiliki anak,” ujarnya sambil berjalan mengelilingi ruangan dengan sikap acuh tak acuh. “Tinggal di apartemenku sudah lebih dari cukup.” Nada suaranya datar, hampir seperti mengabaikan niat baik ibunya.
Ny. Hana tidak tinggal diam. Dengan spontan, ia memukul lengan putranya. “Ya ampun, Jae Hyun! Harus berapa kali aku katakan, jangan hanya memikirkan kenyamananmu sendiri. Kau bukan lagi seorang lajang. Kau harus memikirkan perasaan dan kenyamanan istrimu juga!”
Riin yang sejak tadi diam merasa perlu campur tangan. “Maaf, Eommonim. Kami memang sudah sepakat untuk menunda memiliki keturunan, tapi… aku tidak keberatan untuk pindah ke rumah ini.” Nada suaranya terdengar tenang, namun ada keraguan tipis di dalamnya. Ia hanya ingin meredakan ketegangan, meskipun sebenarnya ia juga belum yakin tentang keputusan itu.
Ny. Hana menghela napas berat. “Kalau begitu, sepertinya aku harus menunggu lama untuk menimang cucu dari kalian. Bagaimana kalau nanti aku sudah terlalu tua untuk bermain dengan mereka?” ujarnya dengan nada yang sengaja dibuat dramatis.
Jae Hyun menatap ibunya dengan ekspresi tak percaya. Ia tahu itu tak lebih dari manipulasi emosional. Dengan santai, ia merangkul bahu Riin, seolah-olah mencoba menunjukkan kemesraan sebagai pasangan. “Eomma, jangan membuat Riin merasa bersalah. Dia sudah cukup terbebani dengan pekerjaan dan semua hal yang harus dirahasiakan di kantor. Aku tidak ingin istriku stres gara-gara tekanan tambahan seperti ini.” Kata-katanya terdengar meyakinkan, tapi Riin bisa merasakan betapa dibuat-buatnya kalimat itu.
Ny. Hana mendelik kesal, namun akhirnya menyerah. “Baiklah, terserah kalian saja! Sekarang ayo kita ke butik. Kalian harus memilih jas dan gaun pengantin.” Dengan cepat, ia melangkah keluar dari rumah, meninggalkan Jae Hyun dan Riin.
Begitu ibunya cukup jauh, Riin dengan cepat menyingkirkan tangan Jae Hyun dari bahunya. “Kau memanfaatkan keadaan, ya?” tanyanya dengan nada tajam.
Jae Hyun tersenyum tipis, hampir seperti mengejek. “Aku hanya melakukan bagianku, berakting. Lagipula, aku baru saja menyelamatkanmu dari tekanan Eomma untuk segera memberinya cucu, bukan?”
Riin mendengus, lalu mencubit pinggang Jae Hyun tanpa ampun. “Alasan!” cibirnya sebelum berjalan menyusul Ny. Hana. Gerakannya cepat, seperti ingin melarikan diri dari situasi yang membuatnya tak nyaman.
Jae Hyun meringis kesakitan sambil mengusap pelan pinggangnya. “Ck, sepertinya aku harus menambahkan larangan mencubit di kontrak ini,” gumamnya pelan.
***
Butik itu terasa megah dan mewah. Ruangannya luas dengan lantai marmer putih yang berkilau, dipadukan dengan dinding bercat krem yang memberikan kesan hangat. Deretan manekin mengenakan gaun pengantin beraneka gaya menghiasi sisi ruangan, mulai dari yang klasik hingga modern, membuat suasana semakin elegan. Lampu kristal yang tergantung di langit-langit memberikan cahaya lembut yang memantulkan kemilau dari kain-kain satin, renda, dan berlian imitasi. Aroma bunga lili segar yang diletakkan di meja resepsionis menyebar ke seluruh ruangan, menambah sentuhan manis.
Riin berdiri di dekat rak gaun pengantin, jemarinya menyentuh lembut kain-kain mahal itu. Matanya mencoba menangkap detail setiap gaun—siluet, hiasan bordir, dan kilau kristalnya. Namun di balik ekspresi tenangnya, ada perasaan hampa yang sulit dijelaskan. Ini seharusnya menjadi momen bahagia, namun baginya, ini tak lebih dari formalitas belaka. Hatinya bertanya-tanya, apakah memilih gaun pengantin yang sempurna itu relevan untuk sebuah pernikahan yang pada dasarnya hanya sebuah kesepakatan?
Sementara itu, Jae Hyun memilih duduk santai di sofa mewah di sudut ruangan. Ia tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, dengan cangkir teh hangat di tangan. Pegawai butik beberapa kali menawarkan bantuan, namun Jae Hyun hanya mengangguk tanpa minat. Baginya, semua gaun pengantin terlihat sama—selembar kain mahal yang hanya akan dikenakan selama beberapa jam. Dalam kasus mereka, itu bahkan lebih absurd. Pernikahan ini hanya sebuah sandiwara, dan gaun pengantin hanyalah kostum panggung.
Ny. Hana, yang berdiri di samping Riin, terlihat sangat bersemangat. Wanita paruh baya itu dengan antusias memandu calon menantunya untuk memilih beberapa gaun untuk dicoba. "Yang ini terlihat elegan, tapi mungkin sedikit terlalu sederhana. Bagaimana dengan yang ini? Potongannya modern dan pas untuk tubuhmu," komentarnya sambil menunjuk gaun demi gaun. Mata Ny. Hana bersinar setiap kali membayangkan Riin mengenakan salah satu gaun itu di hari pernikahan mereka.
Setelah memilih tiga gaun, Riin masuk ke ruang ganti. Pegawai butik dengan cekatan membantunya mengenakan gaun pertama, sebuah gaun berbahan satin dengan desain klasik. Gaun itu berpotongan simpel namun anggun, dengan hiasan renda halus di bagian pinggang dan leher berbentuk V. Saat tirai ruang ganti terbuka, Riin melangkah keluar dengan sedikit canggung. Ia merasa semua mata tertuju padanya, meskipun hanya ada tiga orang yang memperhatikannya: Ny. Hana, Jae Hyun, dan seorang pegawai butik.
"Kau terlihat sangat cantik!" seru Ny. Hana, kedua matanya bersinar penuh kekaguman. Ia segera menoleh ke arah Jae Hyun, menyenggol lengan putranya dengan sikunya. "Hei, katakan sesuatu. Perlihatkan sedikit antusiasme!"
Jae Hyun, yang sejak tadi duduk dengan ekspresi acuh tak acuh, mendongak dari cangkir tehnya. Tatapannya jatuh pada Riin yang berdiri di depan mereka. Ia harus mengakui bahwa wanita itu memang terlihat berbeda—lebih anggun dan bercahaya dengan gaun itu. Namun, kebiasaan lamanya untuk menutupi emosi membuatnya hanya berujar singkat, "Cukup bagus."
Riin merasa sedikit kecewa, meskipun ia tahu itu hal yang seharusnya tidak ia harapkan. Senyum tipis di wajahnya terlihat dipaksakan. "Aku akan mencoba gaun lain dulu," katanya, berusaha terdengar netral. Ia kembali ke ruang ganti, menutup tirai di belakangnya.
Di dalam, Riin menatap pantulan dirinya di cermin besar yang berada di sudut ruangan. Gaun itu memang indah, tapi ia merasa seperti orang asing yang sedang memerankan peran yang bukan miliknya. “Semua ini hanya bagian dari kontrak,” gumamnya pelan. Ia menggeleng pelan, mencoba mengusir pikiran itu, lalu beralih mencoba gaun kedua.
Gaun berikutnya adalah tipe A-line off shoulder dengan sentuhan bordir rumit di bagian dada dan rok yang mengembang lembut. Kainnya terbuat dari tulle yang ringan, membuatnya terlihat seperti peri dalam dongeng. Begitu mengenakannya, Riin merasa ada sesuatu yang berbeda. Gaun ini terasa lebih "dirinya." Bahkan pegawai butik yang membantunya ikut berkomentar, "Gaun ini sangat cocok untukmu. Kau terlihat seperti seorang putri."
Ketika tirai kembali terbuka, ruangan itu seakan hening sejenak. Jae Hyun, yang sebelumnya terlihat tak peduli, kini terdiam memandangi Riin. Matanya terpaku pada sosok gadis itu, seolah tak percaya bahwa seseorang bisa terlihat begitu menawan. Bibirnya sedikit terbuka, ingin mengatakan sesuatu, namun kata-kata itu tertahan di tenggorokan.
"Bagaimana?" tanya Riin dengan nada ringan, meskipun hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia mencoba mengabaikan tatapan Jae Hyun, namun tak bisa mengabaikan fakta bahwa pria itu tampak terkesan.
Jae Hyun akhirnya bersuara, meskipun nadanya tetap datar. "Gaunnya sangat cocok untukmu. Pilih yang ini saja." Kata-kata itu sederhana, namun ada sesuatu di dalamnya yang terasa lebih tulus dibanding komentar sebelumnya.
Riin tersenyum kecil, kali ini tidak sepenuhnya dipaksakan. "Baiklah, aku akan memilih ini," ujarnya sambil melirik gaun itu sekali lagi di cermin. Untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa sedikit lega—meskipun hanya sekejap.
"Bagus, sudah diputuskan!" seru Ny. Hana, berdiri sambil bertepuk tangan kecil. "Sekarang kita pergi membeli cincin! Kita harus menyelesaikan semuanya hari ini." Ia tampak begitu antusias, seperti seorang sutradara yang tengah memastikan setiap detail drama berjalan sempurna.
Jae Hyun berdiri dan mengambil jaketnya, matanya sempat melirik ke arah Riin sebelum beranjak keluar butik. Ia tidak mengatakan apa pun, namun ekspresi wajahnya menunjukkan sedikit pergeseran—sesuatu yang hampir tidak terlihat, kecuali jika seseorang benar-benar memperhatikannya.
Riin, yang masih mengenakan gaun itu, memandang dirinya sekali lagi di cermin. 'Apakah aku benar-benar terlihat seperti pengantin bahagia?' pikirnya, sebelum kembali ke ruang ganti untuk berganti pakaian.
***