Mengisahkan tentang perjalana kehidupan seorang anak bernama Leonel Alastair yang berasal dari keluarga Von Adler. Kecintaannya pada musik klasik begitu melekat saat dia masih kecil, demi nama keluarga dan citra keluarganya yang sebagai musisi.
Leonel menyukai biola seperti apa yang sering dia dengarkan melalui ponselnya. Alunan melodi biola selalu membawanya ke masa masa yang sangat kelam dalam hidupnya.
Namun perlahan seiringnya waktu berjalan, kehidupan dan minatnya berubah. Dengan bantuan seorang kakak angkat Raehan dia memiliki tujuan baru, dengan tujuan tersebut dia bertemu seseorang yang menempati hatinya.
Bromance!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: "Bayangan Harapan"
Hari demi hari berlalu, dan Leonel merasa semakin kuat, baik secara mental maupun emosional. Kini ia mengisi hari-harinya dengan hal-hal yang membuatnya bahagia dan berarti. Waktu yang ia habiskan bersama teman-temannya—Sinta, Ravi, dan orang-orang di komunitasnya—menjadi sumber kebahagiaan yang tulus. Di sisi lain, ia juga mulai membuka diri untuk berdamai dengan masa lalunya, termasuk dengan Julian.
Suatu sore, saat hujan turun deras di luar, Leonel duduk di kamar kosnya, menatap naskah buku yang sudah hampir selesai. Buku itu adalah karya yang paling personal baginya, kisah tentang pencarian jati diri dan perjuangan seorang anak muda yang mencari tempatnya di dunia. Leonel menulisnya dengan segala ketulusan dan kejujuran yang ia punya, seolah-olah itu adalah surat yang ia tulis untuk dirinya sendiri, sekaligus untuk semua orang yang mungkin merasa sendirian seperti dirinya dulu.
Ketika ia menuliskan kalimat terakhir, ada rasa puas yang muncul di hatinya. Untuk pertama kalinya, Leonel merasakan pencapaian yang begitu dalam. Buku ini bukan hanya sebuah karya, tetapi simbol dari perjalanan hidupnya, dan mungkin, juga awal dari sesuatu yang lebih besar.
(Pertemuan Tak Terduga dengan Masa Lalu)
Saat Leonel hendak menutup laptopnya, ponselnya berdering. Nama Julian muncul di layar. Sejenak ia terdiam, merasakan campuran antara kegelisahan dan keingintahuan. Setelah berpikir sejenak, ia memutuskan untuk mengangkat panggilan itu.
“Halo, Nel,” suara Julian terdengar lembut di seberang sana. “Aku tahu mungkin aku mengganggumu, tapi aku ada di kota dan ingin mengajakmu bertemu. Hanya jika kamu bersedia.”
Leonel terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengiyakan. Di dalam dirinya, ia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menyelesaikan sesuatu yang sudah lama tertunda. Dengan rasa campur aduk, ia bergegas menuju kafe tempat mereka berjanji bertemu.
Ketika tiba, ia melihat Julian duduk di meja dekat jendela, tampak gelisah sambil memegang secangkir kopi. Julian tersenyum saat melihat Leonel datang, dan mereka saling menyapa dengan canggung.
Selama beberapa menit pertama, mereka hanya bicara ringan tentang hal-hal sepele, menghindari pembicaraan yang mendalam. Namun, pada akhirnya, Julian menarik napas dalam-dalam dan mulai membuka percakapan yang sebenarnya.
“Aku tahu… aku banyak melakukan kesalahan, Nel. Selama ini, aku terjebak dalam bayangan ekspektasi orang tua kita dan lupa kalau kamu juga butuh dukungan. Aku mungkin tidak pernah bisa menghapus semua luka yang sudah kubuat, tapi aku ingin mencoba memperbaikinya, jika kamu memberiku kesempatan.”
Leonel menatap Julian, merasakan kejujuran dalam kata-katanya. Meski masih ada rasa sakit, ia merasakan bahwa Julian juga berubah, seperti dirinya.
“Aku tidak bisa bilang aku sudah sepenuhnya memaafkanmu, Julian. Tapi, aku mengerti. Mungkin kita berdua sama-sama terjebak dalam ekspektasi yang membebani, hanya saja caranya berbeda,” ujar Leonel pelan. “Aku ingin hubungan kita lebih baik. Mungkin perlahan, tapi aku ingin mencobanya.”
Percakapan itu berlanjut hingga malam, diiringi dengan tawa dan sedikit air mata. Untuk pertama kalinya, Leonel merasa hubungan mereka mulai menemukan titik terang. Meski masih ada banyak hal yang perlu diperbaiki, Leonel merasa bahwa ia tidak lagi sendirian dalam menghadapi segala sesuatu.
Setelah pertemuan dengan Julian, hidup Leonel terasa lebih ringan. Ia melanjutkan proses penerbitan bukunya dengan semangat baru, sambil terus mengejar impian-impiannya. Komunitasnya menjadi tempat di mana ia menemukan kedamaian, sementara hubungannya dengan keluarganya, terutama Julian, perlahan-lahan semakin membaik.
Beberapa bulan kemudian, bukunya diterbitkan dan mendapat tanggapan positif. Bukan hanya dari para pembaca, tetapi juga dari orang-orang di sekitarnya yang merasa terinspirasi oleh kisahnya. Leonel kini diundang untuk berbicara di berbagai acara dan berbagi pengalaman hidupnya, membantu orang lain yang mungkin sedang merasa kehilangan arah seperti dirinya dulu.
Di setiap langkah, ia selalu ditemani oleh teman-temannya yang setia. Ravi, Sinta, dan bahkan Julian sering hadir untuk mendukungnya, membuktikan bahwa di balik setiap luka, ada harapan yang selalu menunggu untuk ditemukan. Leonel tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang, tetapi dengan cinta, dukungan, dan ketulusan, ia siap menghadapi apapun yang akan datang.
Di akhir cerita, Leonel menyadari bahwa kebahagiaan sejati datang ketika ia berdamai dengan dirinya sendiri. Kini, ia tidak lagi hanya bayangan yang mencari tempat di dunia ini, tetapi cahaya yang menerangi jalan bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.