"Kamu tahu arti namaku?" Ucap Acel saat mereka duduk di pinggir pantai menikmati matahari tenggelam sore itu sembilan tahun yang lalu.
"Langit senja. Akash berarti langit yang menggambarkan keindahan langit senja." jawab Zea yang membuat Acel terkejut tak menyangka kekasihnya itu tahu arti namanya.
"Secinta itukah kamu padaku, sampai sampai kamu mencari arti namaku?"
"Hmm."
Acel tersenyum senang, menyentuh wajah lembut itu dan membelai rambut panjangnya. "Terimakasih karena sudah mencintaiku, sayang. Perjuanganku untuk membuat kamu mencintaiku tidak sia sia."
Air mata menetes dari pelupuk mata Zea kala mengingat kembali masa masa indah itu. Masa yang tidak akan pernah terulang lagi. Masa yang kini hanya menjadi kenangan yang mungkin hanya dirinya sendiri yang mengingatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tutup mulut atau mati!
"Besok di rumah aja, jangan ke Kafe dulu!"
Acel mengatakan kalimat itu begitu tiba di rumah utama. Zea sendiri hanya diam saja dan terus melangkah menaiki anak tangga mengekor dibelakang Acel.
"Kamu dengar nggak?" menghentikan langkahnya menoleh kebelakang. "Dengar nggak aku ngomong apa?"
"Iya dengar." jawab Zea pelan.
Mata Acel menatap lekat wajah pucat Zea, lalu dengan tanpa izin dari Zea dia menggendong tubuh lemah itu membawanya ke kamar. Begitu tiba di kamar, Acel membaringkan Zea dengan hati hati di atas ranjangnya.
"Aku gak lagi sakit kok, aku baik baik aja."
Acel kembali menatap tajam wajah Zea setelah mendengar kalimat barusan. "Wajah pucat, kaki dan tangan gemetar, apa itu pertanda bahwa kamu baik baik saja?" katanya sambil menyelimuti tubuh Zea.
"Itu karena aku belum makan apapun sejak pagi." ucap Zea ragu.
"Kenapa belum makan? Apa pihak rumah sakit tidak menyediakan makanan untuk pasien..."
"Bukan begitu, Kak."
"Lalu, kenapa kamu belum makan?"
"Aku tidak berselera makan makanan rumah sakit."
Acel mengusap wajahnya, lalu menyibak rambutnya kebelakang. Sangat jelas dia merasa kesal, tapi entah kesal pada siapa hanya dia yang tahu. Kemudian dia meninggalkan Zea sendirian di kamar untuk menemui bik Maya dan memintanya memasakkan sesuatu untuk Zea.
"Antarkan ke atas setelah makanannya siap!"
"Baik Tuan muda."
"Sama... tolong temani nona Zea sampai saya kembali. Saya ada urusan penting dan mungkin pulangnya agak malam."
"Baik Tuan muda."
.
.
.
Bik Maya membawakan makanan untuk Zea yang baru saja selesai sholat zuhur.
"Nona, makan siang dulu. Ini saya masakkan ayam goreng bumbu, ada sambal terasi kesukaan nona dan sayur sop."
"Terimakasih ya Bik."
Maya hanya tersenyum menanggapi ucapan terimakasih dari majikannya itu.
"Mmm, Bibik tau gak kemana perginya kak Acel?" tanya Zea yang mulai menyantap makan siangnya.
"Tuan muda ada urusan penting, katanya pulangnya agak malam. Terus saya diminta untuk menemani dan menjaga Nona sampai Tuan muda kembali."
"Kak Acel yang ngomong gitu?"
"Iya Nona."
Zea tersenyum senang, kedua pipinya sampai merona merah sangking senangnya dia mengetahui Acel masih peduli dan perhatian padanya.
"Sup buatan Bibik enak." pujinya untuk menyembunyikan betapa baik suasana hatinya siang ini.
"Makan yang banyak Nona. Supnya masih banyak di belakang, kalau habis nanti saya ambilkan lagi."
"Mmm, terimakasih Bik." melanjutkan makan siangnya hingga habis dengan terus mengobrol banyak hal bersama bik Maya. Hingga tidak terasa waktu asar pun telah tiba, barulah bik Maya permisi untuk kembali ke dapur dan Zea melanjutkan aktivitasnya yaitu mandi, lalu sholat asar.
.
.
.
Sekarang sudah hampir pukul sebelas malam dan Acel masih belum pulang. Zea mulai merasa khawatir, sehingga dia memutuskan keluar dari kamar untuk menunggu Acel di teras depan rumah saja. Namun, saat keluar dari kamarnya tidak sengaja dia melihat Handi dan Alia berciuman di depan kamar Alia.
Zea hanya bisa istighfar dan memalingkan pandangannya kearah lain. "Apa yang barusan aku lihat tidak benar kan?" bisiknya pelan.
"Semua yang kamu lihat benar." jawab Handi yang melangkah mendekati Zea.
Segera Zea menoleh dan dia hanya melihat Handi saja, sementara Mama mertuanya sudah tidak terlihat.
"Alia sudah kembali ke kamarnya. Beruntung dia tidak melihatmu nona Zea. Jika sampai dia melihat Nona memergoki kemesraan kami, saya rasa Nona Zea tidak hanya disingkirkan dari Negara ini tapi akan disingkirkan dari dunia ini!" gertak Handi menakuti Zea.
"Apa yang sebenarnya kalian lakukan?" tanya Zea dengan ragu dan dalam ketakutan.
Handi melangkah semakin dekat, dia mencondongkan kepalanya kearah telinga kiri Zea yang membuat Zea menggenggam erat kedua tangannya menahan rasa takutnya. "Alia dan aku sudah menikah sejak empat tahun yang lalu atau mungkin sekarang sudah lima tahun. Kami saling mencintai." bisiknya dengan suara serak namun tegas.
"Apa kak Acel tau?"
Handi kembali berdiri tegak sambil tersenyum sinis menatap Zea yang semakin ketakutan dan mulai tampak pucat.
"Kalau Acel tau, apa kamu pikir dia akan baik baik saja seperti sekarang?"
"Kenapa? Kenapa kalian menikah tanpa sepengetahuan kak Acel?"
"Itu bukan urusanmu Nona. Lebih baik tutup mulut dan matamu rapat rapat jika tidak ingin kehilangan Acel."
Napas Zea mulai terasa sesak dan tidak beraturan. Dia benar benar tidak menyangka akan mendengar rahasia ini secara langsung dari mulut Handi.
"Apa... apa mungkin kak Rudi dan Uma Sanah..."
"Hahaha, tentu saja Nona. Dua manusia itu terlalu ikut campur urusan Alia. Karena itulah mereka harus dikirim keneraka."
Zea terduduk lemas dilantai dengan keadaan gemetar dan napas semakin berat tak beraturan. Handi ikut berjongkok dihadapannya, membalas tatapan kemarahan dengan mata yang gemetar itu.
"Jangan melakukan apapun jika kamu masih ingin bersama Acel. Dan... aku terpaksa harus memberitahu rahasia besar ini padamu nona Zea."
"Ra-rahasia apa lagi?!"
"Mmm," Handi tersenyum senang, lalu kemudian tersenyum penuh kemenangan. "Ayah dan Bunda nona Zea tidak tewas dalam kecelakaan." Mata Zea melotot besar dihiasi genangan air setelah mendengar kalimat barusan. "Mereka terlalu banyak mengetahui rahasia keluarga Sandrio dan mereka menolak untuk menutup mulut dan seperti yang saya katakan tadi, mereka harus dikirim ke neraka."
Air mata Zea tumpah mengetahui kenyataan menyakitkan itu. Napasnya semakin sesak hingga dia berakhir tak sadarkan diri tepat di depan kamarnya. Handi pun segera meninggalkan Zea begitu saja seakan tidak terjadi apa apa. Tidak lupa sebelum meninggalkan rumah utama, Handi menghapus rekaman cctv yang memperlihatkan interaksinya dengan Alia dan Zea malam ini.