DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM19
Sebenarnya kami sudah membeli rumah dan tanah tak jauh dari kontrakan ini. Tanahnya cukup luas, posisinya pun di hook. Sedangkan rumahnya, kecil cuma 2 kamar tidur. Mungkin pemilik rumah yang lama sengaja membangun rumah kecil supaya perawatannya mudah.
Entahlah. Yang pasti, rumah itu perlu kami renovasi dengan menambah bangunan baru seperti menambah jumlah kamar tidur, tempat produksi kue, dan kolam renang. Ku siapkan kamar juga untuk Bu Karto biar bisa beristirahat dengan nyaman, tidak seperti sekarang harus istirahat di ruang tamu.
Tak terasa hampir 3 tahun kami menempati kontrakan ini. Kami sudah memperpanjang 1 tahun lagi, dan tinggal 5 bulan lagi sisa masa sewanya. Kalau bisa, setelah habis masa sewa, kami bisa pindah ke rumah kami sendiri.
Sengaja kami tidak memberitahu keluarga mengenai tanah ini sebelum nanti syukuran pindah rumah. Antisipasi saja.
Ku sampaikan keinginanku kepada Mas Rama.
"Jadi, nanti akan ada pintu samping yang langsung ke tempat produksi, terus sampingnya lagi kolam renang begitu, Yank?" Tanya Mas Rama memperjelas keinginanku.
"Iya, Mas. Biar lebih praktis bongkar muatnya."
"Mas setuju aja dengan idemu, Yank. Ini uang kamu, bebas diatur bagaimana maunya kamu. Sebenarnya Mas ini malu, harusnya Mas yang menyediakan tempat tinggal untuk kamu, bukan sebaliknya." Mas Rama menatapku sendu.
"Kamu ini bicara apa sih, Mas? Kita ini suami istri, sudah semestinya kita saling melengkapi. Mungkin sekarang memang rezeki keluarga kita, didapat dari tanganku. Namun, siapa tahu, besok-besok Mas Rama yang dapat rezeki lebih. Rumah ini tempat tinggal bersama kita, Mas. Jadi ya wajar aku membicarakan ide ini ke kamu, Mas. Mas juga bisa ngasih usulan atau mengoreksi jika keinginan ku ada yang aneh."
"Mas beneran tidak salah pilih istri." Mas Rama tersenyum lembut sembari mengecup lembut bibirku.
...****************...
Saat ini pembangunan rumah sudah hampir selesai. Tinggal bagian halaman depan yang rencananya ku bagi 2 menjadi taman dan area parkir mobil untuk cita-cita berikutnya. Kami sudah punya anak. Kalau anak ku makin besar, akan susah pergi bersama naik motor tuaku.
Yang pasti setelah pindahan, aku akan membeli 2 motor, 1 untuk ku pakai, 1 untuk mengantarkan kue dan roti ke kios. Pesanan kue dalam jumlah besar mulai sering kami terima. Jika nanti uangnya sudah terkumpul, akan ku alokasikan untuk membeli mobil jenis MPV supaya pengantaran pesanan lebih maksimal.
"Mas, pembangunan rumah kan hampir selesai. Tinggal halaman saja. Bagaimana kalau kita mulai pindahan minggu depan? Sewa kontrakan ini akan habis 2 minggu lagi soalnya."
"Mas setuju, Yank. Kita mulai nyicil beli perabotnya Sabtu siang gimana? Nanti Mas cari sewa mobil pick up biar sekali angkut."
"Alana setuju, Mas. Kita isi dulu perabot 2 kamar tidur dan ruang umum aja, Mas. Perabot dapur, paling nambahin sedikit. Lainnya bisa dilakukan menyusul."
"Ok, Sayang. Mas setuju saja."
"Nanti habis beres pindahan, besoknya kita syukuran ya, Mas."
"Iya, Alana ku sayang."
"Bulek Darmi diundang juga gak, Mas?"
Mas Rama menatapku ragu.
"Mas pinginnya ngundang juga, Yank. Berbagi kebahagiaan ke semuanya rata. Tapi, ingat kejadian kemarin, Mas jadi ragu. Nanti Mas tanya Bapak aja dulu ya, bagaimana baiknya."
"Iya, Mas, mending nanya Bapak."
...****************...
Kami sudah bilang pada Ibu Nurma, bahwa kami tidak memperpanjang sewanya karena akan menempati rumah kami sendiri. Bu Nurma ikut senang, kami berhasil membangun rumah dan masih menjadi tetangganya nanti. Sabtu kami belanja beberapa perabot, sofa, meja makan, ranjang dan lemari untuk 2 kamar tidur dulu yang jadi incaran awal.
Rumah kami punya 5 kamar tidur. Yang 1 nya, kusiapkan untuk Bu Karto.
Akhirnya, hari pindahan pun tiba.
Barang-barang dari kontrakan sudah diangkut semua dengan mobil pickup pinjaman dari pabrik Mas Rama.
Sejak semalam kami sudah mengemas barang-barang. Tinggal nanti suamiku yang memastikan semuanya terangkut.
Aku, Bian dan Bu Karto sudah ada di rumah baru. Aku merekrut 1 karyawan lagi untuk beberes rumah dan memasak untuk para karyawan kue ku, Bu Asih namanya.
Janda anak 1 yang tinggal di kampung belakang rumah. Anaknya bekerja di kota. Bu Karto biar fokus membantuku mengasuh Bian saja. Aku juga masih memasak sendiri untuk Mas Rama.
Sejak kemarin aku, bersama dengan karyawan-karyawan kue Boenda bagian produksi sudah menghabiskan waktu di rumah ini untuk memastikan pemasangan peralatan produksi kue sesuai standar. Freezernya pun sudah kubedakan untuk frozen food maupun bakery. Takutnya nanti baunya tercampur dan akan mempengaruhi rasa kue dan roti nantinya.
Mbak Niken nantinya akan bertanggung jawab untuk produksi frozen food dan kue basah. Untuk produksi bolu, roti dan cake, langsung aku yang mengurus. Meski nanti aku juga akan tetap memonitor dapur Mbak Niken.
Hari ini kios tutup karena ada syukuran di rumah baru. Kami baru akan buka lagi besok. Sejak semalam dapur rumah rame dengan ibu-ibu yang memasak.
Aku mengasuh Bian dan Lika. Bu Karto dan Bu Asih memastikan perlengkapan makan. Mbak Niken, Yanti, Gita, Indah, Lisa bersiap di meja suguhan.
Mbak Niken menjaga meja lontong kari, Yanti di meja sate. Indah di meja pempek. Lisa menjaga meja es buah. Pak Karto membantu mengatur parkiran. Bang Dono membantu di bagian perlengkapan meja kursi yang di teras. Karyawan-karyawan yang lain membantuku di kebersihan.
Dengan sigap bagian konsumsi melayani para tamu kloter pertama. Siang ini bapak-bapak dan ibu-ibu dari lingkungan kontrakan lama maupun rumah baru mulai pada datang. Untuk teman-teman Mas Rama katanya agak sorean karena ada lemburan di pabrik. Sedangkan untuk keluarga, entah datang jam berapa. Semoga tidak ada kerusuhan lagi.
Setelah tamu kloter pertama mulai pulang, Mbak Niken dan yang lain mulai bersiap lagi untuk kedatangan kloter berikutnya, yaitu atasan dan teman-teman pabrik Mas Rama. Sementara yang lain sibuk membereskan peralatan makan dan teras dari sampah. Bian dan Lika sudah tidur selesai makan tadi. Palingan sebentar lagi pada bangun.
Ku mandikan Bian dan Lika bergantian sebelum menyambut teman-teman Mas Rama.
Setelah aku selesai memandikan duo bocil, bapak, ibu, Mbak Raya dan keluarganya datang bersamaan. Kali ini Bu Atmaja tidak ikut. Beliau sudah bilang semalam bahwa hari ini harus menemani suaminya menghadiri undangan di kabupaten. Beliau minta maaf untuk itu.
"Selamat datang di rumah kami Bapak, Ibu Mbak, Mas. Selamat datang juga Doni dan Dio."
Ku salamin satu per satu. Doni dan Dio mencium tanganku. Doni ini anak pertama Mbak Raya dan Mas Budi, yang baru masuk SD. Hari ini syukurannya agak sorean, jadi Doni sudah pulang sekolah. Rupanya Mas Budi menjemput bapak dan ibu terlebih dulu.
"Ayo masuk semuanya." Ajak mas Awan dengan mengulas senyuman haru.
Ramai-ramai kami masuk ke ruang tamu yang masih tergelar karpet.
"Mau pamer kamu, Ram? Baru punya rumah begini aja sombong." Ibu merespon dengan ketus.
"Baru nyampe loh ini, Bu." Tegur Mbak Raya sambil menatap jengah ke Ibu. Ibu melengos saja.
Bapak tidak menanggapi, hanya sibuk melihat sekeliling.
"Bagus rumah kalian ini, Ram. Lega, enak, plong begini tidak banyak sekat," puji Bapak.
"Iya, Pak, memang sengaja biar terlihat luas. Untungnya lagi Alana tidak suka banyak perabot. Selain rungsep, juga tidak praktis kalau buat anak kecil," sahut Mas Rama.
"Nah bener itu, kalau begini ... Bian lebih aman. Resiko ketabrak atau kejedot lebih kecil."
"Tempat produksi kue jadi pindah di sini donk, Na?" tanya Mbak Raya.
"Iya, Mbak. Tadi kalau Mbak masuk dari jalan A, lewat pagar samping, itu dapurnya. Biar praktis kalau supplier ngantar bahan-bahan kue. Juga kalau kami mau kirim kue ke kios-kios," terangku.
"Kios-kios, Na? Sudah punya berapa kios memangnya?" tanya Mbak Raya lagi.
"Alhamdulillah sudah ada 2, Mbak. Yang di jalan Panjang ini, dan yang di dekat kantor pos arah terminal."
"Syukurlah, Na. Usahamu maju. Bapak ikut senang kehidupan kalian membaik. Kalian bisa berhasil berdiri di kaki sendiri. Biar yang ngomong jelek kemarin-kemarin bungkam dengan sendirinya. Tapi, ingat, kalian jangan sombong ya. Jangan lupa diri, ingat saja kondisi yang sebelumnya bagaimana," nasihat Bapak. Aku mengangguk dengan senyuman.
"Kerjaanmu bagaimana, Ram?" sambung Bapak.
"Alhamdulillah lancar, Pak," jawab Mas Rama.
"Istrinya punya toko 2, suaminya masih jadi buruh. Bener kan yang ibu bilang, kalau Rama ini---"
"Tidak bawa sial. Suami istri itu sudah jadi 1, Bu. Rezeki Alana ya Rezeki Rama, begitu juga sebaliknya. Padahal aku seneng lho dari tadi ibu diam. Soalnya kalau sekali ngomong ya begini." Bapak memotong ucapan Ibu dengan cepat.
Ibu semakin merengut.
"Ini toh rumah barumu, Ram?" terdengar suara kencang dari pintu utama.
"Iya, Bulek. Silahkan masuk, mari bergabung." Sahut Mas Rama mempersilahkan Bulek Darmi.
Bulek datang bersama Mbak Marni, anak dan suaminya.
"Kalian sudah datang dari tadi, Mbak?" Masih dengan suara kencangnya, bulek Darmi menyapa ibu.
"Bulek suaranya jangan kencang-kencang. Anaknya Marni langsung nangis itu lho. Lagian kayak di mana aja pake teteriakan." tegur Mbak Raya.
Bulek hanya melengos. Mbak Marni sibuk menenangkan sang anak. Sementara suaminya melihat sekeliling rumah.
"Mau pamer kalian, ya? Mau membuktikan apa? Bahwa kalian sudah kaya? Bahwa Rama bukan pembawa sial?"
Aku sudah habis kesabaran sama manusia satu ini.
"Kami tidak mau membuktikan apa-apa, Bulek. Itu kan hanya pemikiran Bulek sendiri, pemikiran yang berasal dari hati yang penuh dengki. Kami hanya mau berbagi kebahagiaan. Namun, kalau untuk orang yang berpikiran kotor dan picik seperti Bulek ini, pasti semuanya dianggap jelek. Pamer lah, ini lah itu lah," jawabku dengan tenang ke Bulek. Kupasang wajah senyum, tapi sinis.
Bulek langsung melotot dan siap membuka mulutnya.
"Bagaimana kalau kita menikmati suguhan ala kadarnya yang sudah kami siapkan, Bulek. Bapak, ibu, mas-mas dan mbak-mbak kalau berkenan mencicipi masakan khas kampung ini. Mari, silahkan." Lanjutku. Tidak akan kuberi kesempatan kepada mahluk nyinyir itu untuk menghancurkan kebahagiaan kami.
"Iya, ayo kita makan, dari tadi ngobrol bikin tambah lapar," sahut Bapak sambil tersenyum kepadaku.
"Terima kasih, Yank," bisik Mas Rama yang ku balas cengiran.
Keluarga Mas Rama langsung mengambil makanan di meja suguhan. Tak lama kemudian, teman-teman Mas Rama dari pabrik pun datang. Aku menggendong Bian berdiri di samping Mas Rama untuk menyambut mereka.
Ku lihat Bulek Darmi sedang memarahi Yanti di meja sate.
*
*
Bagus banget /Kiss/
Apalagi part di mana Alana hamil, ya ampun, saya sampai meneteskan air mata. /Good/