Leonel Alastair
Hidup di keluarga terpandang, penuh harta dan kemewahan, tidak selalu menjamin kebahagiaan. Leonel lahir di keluarga Von Adler, salah satu keluarga paling terhormat di kota itu. Namun di balik kemegahan rumah besar dan kekayaan yang tampak tak terbatas, ada jurang kesepian yang tak bisa dihindari. Satu-satunya orang yang pernah memberinya cinta tanpa syarat hanyalah neneknya. Tapi, sejak kematian nenek, dunianya berubah menjadi neraka yang sunyi.
Pagi ini, Leonel terbangun di kamarnya yang luas dan mewah, tapi dingin tanpa kehangatan keluarga. Jiwanya terpenjara dalam rutinitas sehari-hari yang kosong. Dia tahu, hari ini akan menjadi hari pertama di sekolah barunya, tapi tidak ada rasa semangat seperti anak-anak lain. Leonel tahu keluarganya akan membuatnya merasa lebih kesepian di tengah keramaian.
“Leonel!” terdengar suara nyaring mamanya dari lantai bawah, memanggilnya dengan keras. Suara yang memerintah, bukan suara penuh cinta yang ia dambakan.
“Iyah, Mama!” balasnya sambil berlari menuruni tangga besar rumah. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena kegembiraan, tapi kecemasan. Setiap langkah kakinya terasa berat, seolah dia sedang melangkah menuju kehampaan.
Di dapur, mamanya sudah berdiri dengan tatapan sibuk, tangannya memegang kotak bekal yang disiapkan untuknya. Tidak ada ciuman, tidak ada pelukan, hanya senyuman kecil yang tampak terpaksa.
“Leonel, kamu siap masuk sekolah? Siap punya banyak teman?” tanya mamanya, berusaha terdengar ceria, namun Leonel bisa merasakan bahwa perhatian itu hanya diucapkan sekadar formalitas.
Leonel mengangguk pelan. “Iya, Mama. Leon siap.” Dia tersenyum, tapi senyuman itu terasa hampa. Dia ingin ibunya mengantarnya, seperti ibu-ibu lain yang penuh kasih sayang mengantar anak-anak mereka di hari pertama sekolah. Namun, keinginannya itu hanya mimpi yang tak terucap.
“Maaf, Leon. Mama nggak bisa mengantar kamu hari ini. Papa dan kakak-kakakmu yang akan mengantar,” kata mamanya dengan nada yang entah menghibur atau menghindar.
“Ngga papa, Mama. Leon pergi dulu, ya.” Senyum tipis itu tetap ada di wajah Leonel, meski hatinya mulai terasa kosong.
Saat Leonel keluar rumah, dia melihat papanya, Arnold Von Adler, sudah menunggu dengan ekspresi tak sabar. Kakak-kakaknya, Julian dan Gento, berdiri di sampingnya, sibuk dengan dunia mereka sendiri.
“Cepatlah! Sudah siang ini!” omel papanya dengan nada tegas, tidak ada kelembutan dalam suaranya.
Leonel hanya bisa menurut. Tanpa ada banyak kata, dia masuk ke dalam mobil, duduk di samping Gento yang tampak tidak senang dengan keberadaannya. Mamanya sempat mengucapkan beberapa nasihat kepada papanya sebelum mobil mulai berjalan, namun Leonel tahu, nasihat itu bukan untuknya. Saat mobil melaju, tatapan Gento menyelidik, seolah mencari celah untuk menyerang.
“Kenapa kamu selalu diam? Apa kamu yakin kamu adik kandung kita?” ucap Gento sinis, membuat Leonel semakin kecil di kursinya.
Papanya tidak berkata apa-apa, hanya mengemudi dengan tenang. Namun satu kalimat yang meluncur dari bibirnya menghantam hati Leonel seperti pisau tajam. “Aku kadang merasa dia bukan anakku.”
Leonel merasakan dunia di sekelilingnya berhenti. Kata-kata itu berputar di kepalanya, menyayat batinnya tanpa ampun. Dia tidak pernah merasa diinginkan, tapi mendengar itu langsung dari mulut papanya membuat perasaannya hancur berkeping-keping. Tidak ada air mata yang keluar, tapi rasa sakit itu begitu nyata hingga sulit bernapas.
Sampai di sekolah, Leonel turun dari mobil dengan kaki gemetar. Papanya tidak memeluknya, tidak ada ucapan penyemangat. Malah, papanya hanya menyuruhnya pergi dengan nada dingin. “Jangan repotkan kami, belajar mandiri,” ucapnya dengan tegas.
Leonel hanya mengangguk, menahan air mata yang hampir jatuh. Dia menatap ke arah anak-anak lain yang datang bersama ibu atau ayah mereka, tertawa gembira, memeluk erat orangtua mereka. Sejenak, dia merasa sangat kecil di dunia yang begitu besar dan asing. Dia sendirian.
Saat Leonel berjalan dengan langkah ragu menuju gedung sekolah, tiba-tiba dia bertabrakan dengan seorang anak. Keduanya jatuh.
“Aduh!” rintih Leonel pelan.
“Maaf, aku nggak sengaja,” ucap anak laki-laki itu, menawarkan tangan untuk membantu Leonel bangkit. Leonel menerima tangan itu dengan ragu.
“Terima kasih,” ucap Leonel, berusaha tersenyum meski hatinya masih terasa berat.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya anak itu. Leonel mengangguk singkat, lalu pergi. Hatinya masih terbebani oleh kata-kata papanya.
Setelah menemukan kantor kepala sekolah, Leonel dipertemukan dengan wali kelasnya, Bu Dini, yang menyuruhnya masuk ke dalam kelas. Di sana, dia memperkenalkan dirinya, tapi tidak ada keberanian dalam suaranya.
“Halo, aku Leonel Alastair... salam kenal,” ucapnya lirih. Anak-anak lain menatapnya, tapi Leonel tidak yakin mereka peduli.
Hari itu berlanjut dengan perasaan hampa. Meskipun dia duduk di sebelah anak yang sama, Morgan, yang menolongnya tadi, Leonel tetap merasa asing di tengah-tengah keramaian. Hanya senyuman kecil yang menutupi rasa sakitnya.
Saat dia pulang ke rumah, harapannya untuk bertemu mamanya kembali hancur. Mama tidak ada. Leonel merasa lelah, tapi lebih dari itu, dia merasa sangat sendirian. Tidak ada yang menunggu untuknya di rumah besar itu. Bahkan di meja makan malam, kursi mamanya kosong, dan dia memilih untuk tidak makan, lebih memilih menahan lapar daripada harus duduk sendirian di tengah keluarganya yang dingin.
Malam itu, Leonel kembali ke kamarnya yang sunyi, dan untuk kesekian kalinya, dia menatap ke luar jendela, bertanya-tanya kapan rasa sepi ini akan berakhir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments