Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENGUBUR PERASAAN
“Andi, gue mau ngomong sesuatu sama Lo. Ini tentang Annisa.”
Andi terdiam mendengar perkataan Raka, tampak kaget tapi berusaha menyembunyikannya dengan ekspresi biasa. Mereka tengah berjalan menuju kantin di kantor Damian, sementara Damian sendiri sedang ke toilet sebentar. Suasana di koridor yang lengang membuat pertanyaan Raka semakin menusuk.
“Apa?” Andi mencoba menutupi keterkejutannya dengan nada santai, meski ada sedikit keraguan di suaranya.
Raka menatapnya, tak ingin melewatkan reaksi apapun. “Lo ada perasaan ke Annisa?” tanyanya lagi, lebih pelan tapi langsung.
Andi tak langsung menjawab, hanya terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas. “Raka… gue nggak tahu harus jawab apa. Annisa itu baik, dia penuh perhatian. Gue nggak pernah ngerasain yang kayak gini sebelumnya.”
Raka mengangguk pelan, memahami betapa rumit perasaan sahabatnya. “Ndi, gue ngerti lo mungkin lagi bingung. Tapi ini situasi yang susah banget. Lo tahu, kan? Ini pertama kalinya lo jatuh cinta, tapi… sayangnya sama istri orang lain.”
Andi menunduk, merasa getir dengan kenyataan itu. “Iya, Rak. Gue tahu. Gue nggak pernah berniat untuk merasa begini ke Annisa, apalagi dia istri Damian. Gue tahu batas gue.”
Raka meletakkan tangannya di pundak Andi, menatapnya dengan penuh keprihatinan. “Lo hati-hati, Ndi. Jangan sampai perasaan ini bikin lo makin terjebak. Kadang, cinta pertama emang yang paling susah dilupakan, tapi lo harus ingat kenyataannya. Gue nggak mau lihat lo sakit hati atau bikin masalah tambah rumit.”
Andi hanya mengangguk pelan, mencoba menguatkan diri. Mereka lalu melanjutkan langkah menuju kantin, berharap Damian tak mencurigai apapun ketika mereka bergabung untuk makan siang.
Setelah percakapan tadi, Andi tenggelam dalam pikirannya, memikirkan kata-kata Raka. Ia tahu apa yang dikatakan sahabatnya benar, tapi hati kecilnya merasa sulit untuk menghilangkan perasaan yang baru pertama kali ia rasakan.
Begitu mereka sampai di kantin, Damian sudah menunggu di meja, melambaikan tangan ke arah mereka. "Lama banget! Udah laper, nih," ucapnya bercanda.
Andi dan Raka menghampiri meja, mencoba menyembunyikan suasana hati mereka yang tadi serius. Raka langsung menimpali, “Sabar, Bos. Lo tadi yang ke toilet, kita jadi lama nunggu.”
Damian tertawa, menyesap kopi yang baru dipesannya. “Ya, ya. Oke, gimana cerita tadi? Ada hal baru?”
Raka melirik Andi sekilas, kemudian menjawab, “Nggak, sampai di sana aja kok. Nggak banyak yang baru. Gue sama Andi cuma sempat ngobrol soal hidup, lah. Nggak selalu harus soal kerjaan, kan?”
Damian mengangguk. “Benar juga. Kadang kita perlu bicara yang ringan-ringan, apalagi kalau udah dipenuhi urusan kantor.” Ia tersenyum pada Andi dan Raka, tampak lebih santai setelah mereka berbicara.
Namun, di tengah obrolan santai mereka, Andi diam-diam merasa ada sesuatu yang menekan dadanya. Ia berusaha mendengarkan cerita Damian tentang proyeknya, tapi pikiran tentang Annisa terus saja muncul. Setiap kali Damian menyebutkan nama istrinya, ada perasaan tak nyaman yang semakin kuat.
Raka, yang memperhatikan Andi, mencoba mengalihkan pembicaraan. “Damian, tadi lo bilang kalau Annisa ngundang lo buat ketemu keluarga besarnya. Kayaknya itu momen penting, ya? Udah cukup lama, kan, sejak kalian nikah.”
Damian mengangguk. “Iya, Annisa ngajak gue buat lebih dekat dengan keluarganya di pesta nikahan sepupunya. Awalnya gue nggak mau, tapi ternyata bisa juga dapat pengalaman baru. Mereka semua baik, dan ya… gue jadi mikir mungkin ada banyak hal yang belum gue pahami tentang Annisa.”
Andi mendengarkan dengan seksama, meski ada rasa getir di dalam hatinya. Ia mengerti bahwa Damian sedang mencoba memperbaiki hubungan dengan Annisa, dan sebagai suami Annisa, Damian berhak melakukan itu.
Raka menimpali, sambil menatap Andi dengan penuh makna, “Itu bagus, Damian. Lo nggak akan pernah tahu apa yang lo miliki sampai benar-benar ngasih waktu buat saling memahami. Semoga semuanya bisa jadi lebih baik.”
Damian mengangguk, tersenyum. “Terima kasih, Rak. Gue juga berharap begitu.”
Andi ikut tersenyum, meski ada rasa sesak yang sulit ia hilangkan. Ia tahu bahwa saat ini, apapun perasaan yang ia punya pada Annisa harus ia pendam dalam-dalam. Ketika Damian terus bicara tentang usahanya memperbaiki hubungan, Andi merasa bahwa cinta pertamanya, yang datang terlambat dan di waktu yang salah, harus disimpan sebagai kenangan yang tak pernah ia ungkapkan.
Saat makan siang usai, mereka bertiga kembali ke kantor masing-masing. Dalam hati, Andi berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga batas antara perasaannya dan kenyataan yang ada. Sebagai sahabat Damian, ia tak ingin merusak apa yang telah terjalin di antara mereka—baik itu hubungan pertemanan atau keluarga yang Damian miliki bersama Annisa.