Hidup Dina hancur ketika suaminya, Ronny, berselingkuh dengan sahabatnya, Tari. Setelah dipaksa bercerai, ia kehilangan hak asuh bayinya yang baru lahir dan diusir dari rumah. Patah hati, Dina mencoba mengakhiri hidupnya, namun diselamatkan oleh Rita, seorang wanita baik hati yang merawatnya dan memberi harapan baru.
Dina bertekad merebut kembali anaknya, meski harus menghadapi Ronny yang licik dan ambisius, serta Tari yang terus merendahkannya. Dengan dukungan Rita, Ferdi dan orang - orang baik disekitarnya, Dina membangun kembali hidupnya, berjuang melawan kebohongan dan manipulasi mereka.
"Merebut kembali bahagiaku" adalah kisah tentang pengkhianatan, keberanian, dan perjuangan seorang ibu yang tak kenal menyerah demi kebenaran dan keadilan. Akankah Dina berhasil merebut kembali anaknya? Temukan jawabannya dalam novel penuh emosi dan inspirasi ini.
Mohon dukungannya juga untuk author, dengan like, subs, vote, rate novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Ronny mendengar kata-kata Teddy dan tertawa keras, suaranya menggema di ruangan. Matanya berkilat dengan kejam saat ia berjalan mendekat. Dia melirik Teddy yang duduk di kursi rodanya, penuh ejekan.
“Kau bicara soal hak dan asal-usul?” Ronny mencibir, matanya menyipit penuh hina. “Lihat dirimu, Teddy. Kau bahkan tidak bisa berdiri lagi. Lumpuh dan hanya bisa duduk di kursi roda seperti itu. Apa yang kau harapkan? Kau pikir seseorang dengan kondisi sepertimu bisa mengalahkanku?”
Ronny tertawa lagi, kali ini lebih dingin dan menusuk. Dia lalu menoleh ke arah Mitha, senyumnya berubah lebih sinis. “Dan kau, Mitha. Seorang anak angkat yang tidak jelas asal-usulnya. Kau tidak pernah punya tempat di sini, jangan bodoh dengan berpikir kau bisa mendapatkannya. Kau pikir, dengan bekerja sama dengan Teddy, kau bisa menyingkirkanku?"
"Ingat, apa pun yang kau raih di sini, semua itu adalah belas kasihan dari papa.”
Teddy menggertakkan giginya, wajahnya memerah karena amarah yang mulai mendidih. “Kak, aku mungkin tidak bisa berdiri lagi, tapi jangan pernah kau pikir aku tidak bisa melawanmu,” jawab Teddy dengan nada rendah tapi penuh ketegasan.
“Apa pun yang terjadi, aku akan selalu berada di sini untuk menjaga papa dan perusahaan ini agar tidak hancur ditanganmu.”
Ronny mendekatkan wajahnya ke arah Teddy, tatapan licik dan angkuh terpancar dari matanya. “Oh, kau akan melawanku? Dari kursi rodamu? Benar-benar mengharukan"
Mitha mengepalkan tangan, menahan marah mendengar hinaan Ronny yang semakin keterlaluan. “Jangan pernah remehkan Kak Teddy,” Mitha memperingatkan dengan nada yang tajam. “Keadaan fisik bukanlah satu-satunya hal yang menentukan kekuatan seseorang. Dan soal aku, kau boleh saja meremehkanku, tapi aku akan membuktikan bahwa aku lebih pantas berada di sini dibandingkan dirimu.”
Ronny melirik Mitha dengan tatapan penuh penghinaan. “Kau? Membuktikan sesuatu? Seorang anak angkat yang tidak pernah punya tempat di keluarga ini?”
Kata-kata itu menyayat hati Mitha. Sebaliknya, dia menatap Ronny tajam, tanpa gentar. “Asal-usulku mungkin tidak sempurna, tapi itu tidak mengubah fakta bahwa aku sudah bekerja keras untuk mencapai posisiku. Dan kau, tak bisa menghentikan itu.”
Ronny hanya tersenyum sinis, puas dengan ucapannya. Tapi di dalam hati, dia tahu bahwa perang ini belum selesai.
...***...
Ronny menggertakkan gigi, kesal dengan kehadiran Mitha yang tiba-tiba mengguncang stabilitas kekuasaannya di Sinar Grup. Dengan penuh kekesalan, dia meraih ponselnya dan menekan nomor sekretarisnya.
“Anggie, tunjukkan ruang bekas gudang di lantai bawah pada Mitha,” ucapnya dingin, nadanya penuh sinis. “Itu akan jadi ruang kerjanya mulai sekarang. Pastikan dia tahu tempatnya.”
Anggie, sekretaris setia yang terbiasa dengan perintah Ronny yang kadang tanpa perasaan, menelan ludah sebelum menjawab, “Baik, Pak Ronny.” Dia tahu ini bukan perintah biasa, melainkan langkah licik untuk merendahkan Mitha.
Di tempat lain, Mitha yang baru saja mendengar instruksi itu dari Anggie saat mereka sedang menuju ruangan lamanya terkejut. Wajahnya menegang. Gudang? Dia tak percaya apa yang baru saja didengarnya. "Gudang?" tanya Mitha dengan nada protes yang tak dapat disembunyikan. "Bagaimana dengan ruangan saya yang dulu?"
Anggie menghela napas pelan, tahu bahwa jawaban ini akan membuat Mitha semakin kesal. "Ruangan itu sudah digunakan untuk keperluan lain," katanya hati-hati. "Pak Ronny memutuskan ruangan tersebut dialihkan."
Mitha mengepalkan tangan, berusaha menahan diri agar tidak meledak. “Dan tim saya?” tanyanya dengan suara lebih rendah, penuh kemarahan yang ditahan.
Sekali lagi, Anggie tampak gugup, “Tim Anda yang dulu sudah dipecah, Bu. Sebagian besar telah ditransfer ke divisi lain. Pak Ronny juga memberi instruksi bahwa Anda harus membentuk tim Anda sendiri dari awal.”
Mitha menatap Anggie dengan tajam, dadanya berdebar penuh amarah. Itu jelas penghinaan terang-terangan. Seolah-olah Ronny ingin menunjukkan bahwa kedatangannya di Sinar Grup adalah sebuah kesalahan besar, sesuatu yang tidak pantas.
Namun, Mitha tidak ingin terlihat kalah. Dia menegakkan bahunya, meski hatinya bergejolak. "Baik," ucapnya dengan dingin, matanya penuh tekad. "Kalau itu maumu, aku akan bangun semuanya dari nol."
Anggie hanya bisa mengangguk pelan, merasa canggung di antara kekuasaan Ronny dan keteguhan Mitha. Dia pun menuntun Mitha menuju ruang bekas gudang yang kini akan menjadi "kantor" barunya.
...***...
Anggie tampak ragu sejenak sebelum melanjutkan, matanya menatap Mitha yang semakin terlihat tegang. Dengan suara hati-hati, dia menyampaikan informasi yang lebih memalukan lagi. "Oh, satu lagi, Bu Mitha," ujarnya pelan. "Jabatan Anda sekarang bukan lagi sebagai Direktur Eksekutif. Sesuai keputusan Pak Ronny, Anda sekarang akan menjabat sebagai Manager Tim Pengembangan dan Riset."
Mitha merasa seolah-olah mendapat tamparan keras. Itu bukan hanya sebuah penurunan jabatan—itu adalah cara yang jelas untuk merendahkan kedudukannya di perusahaan. Semua yang dia bangun, semua yang dia perjuangkan, tiba-tiba dihancurkan begitu saja, seolah-olah tak ada artinya.
"Manager?" Mitha mengulang dengan nada yang hampir tidak percaya. "Jadi, bukan Direktur lagi?"
Anggie mengangguk perlahan, berharap Mitha bisa menerima kenyataan ini tanpa terlalu banyak bertanya. "Iya, Bu. Pak Ronny memutuskan bahwa jabatan baru Anda lebih sesuai dengan... situasi saat ini."
Mitha menggigit bibirnya, menahan amarah yang mulai mendidih. Rasanya seperti dunia runtuh seketika. Dari Direktur Eksekutif, seseorang yang dianggap memimpin dan berkuasa, kini menjadi seorang manajer di divisi yang—meskipun penting—tidak lagi prestisius seperti posisi yang dulu dia miliki. Semua ini adalah strategi Ronny yang jelas, langkah untuk menghinanya tanpa dia bisa membela diri.
Anggie mengangguk, meski tak bisa menyembunyikan rasa canggung. “Jika ada yang bisa saya bantu, Bu Mitha, jangan ragu untuk memberi tahu.”
Mitha menarik napas panjang, berusaha menyembunyikan kerisauan yang menggelayuti pikirannya.
...****...
Anggie menundukkan kepala sejenak sebelum melanjutkan penjelasan, "Sejak Pak Johan yang dirawat di rumah sakit, Pak Ronny yang mengambil alih kendali perusahaan. Semua keputusan besar—termasuk pengaturan jabatan—sekarang berada di tangan beliau. Seperti yang ibu tahu, beliau adalah direktur utama perusahaan ini"
Mitha menatap Anggie dengan tatapan tajam, mencoba mencerna kata-kata itu. "Jadi, ini semua keputusan Ronny?" tanyanya dengan nada datar, meskipun hatinya terasa terbakar.
Anggie mengangguk. "Iya, Bu. Pak Ronny yang memutuskan untuk mengubah struktur organisasi dan memindahkan beberapa posisi, termasuk posisi Anda. Saya tahu ini bukan hal yang mudah, tetapi kami semua harus mengikuti kebijakan yang ada."
Mitha merasa ada kesunyian yang membekap ruangan sejenak.
“Jadi aku harus menerima semua ini begitu saja?” Mitha bertanya, suaranya terasa lebih keras daripada yang dia inginkan.
Anggie hanya bisa terdiam, merasa terjebak di tengah konflik ini. "Ini keputusan perusahaan, Bu," jawabnya pelan. "Saya tidak bisa melakukan apapun untuk menentang"
...****************...
aku kl masalh bayi di adopsi hnya untuk kepentingan sungguh gk tega. aku gk setuju kl yg bgini. tari bukan tulus ma si bayi tp modus. dah di kasih penyakit ma karma bkn insyaf mlh makin menjadi.