Dalam novel Janji Cinta di Usia Muda, Aira, seorang gadis sederhana dengan impian besar, mendapati hidupnya berubah drastis saat dijodohkan dengan Raka, pewaris keluarga kaya yang ambisius dan dingin. Pada awalnya, Aira merasa hubungan ini adalah pengekangan, sementara Raka melihatnya sebagai sekadar kewajiban untuk memenuhi ambisi keluarganya. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan perasaan mereka berubah. Ketulusan hati Aira meluluhkan sikap keras Raka, sementara kehadiran Raka mulai memberikan rasa aman dalam hidup Aira.
Ending:
Di akhir cerita, Raka berhasil mengatasi ancaman yang membayangi mereka setelah pertarungan emosional yang menegangkan. Namun, ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memberikan kebahagiaan sejati pada Aira adalah melepaskan semua kekayaan dan kuasa yang selama ini menjadi sumber konflik dalam hidupnya. Mereka memutuskan untuk hidup sederhana bersama, jauh dari ambisi dan dendam masa lalu, menemukan kebahagiaan dalam cinta yang tulus dan ketenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Munculnya Rival
Aira duduk di bangku kafe tempat ia sering menghabiskan waktu setelah kelas. Pikirannya masih dipenuhi pertengkaran yang terjadi dengan Raka kemarin. Ia merasa tak ada lagi jalan keluar, tetapi tekadnya untuk melawan kehendak orang tua dan pernikahan ini semakin kuat. Saat tengah merenung, seorang pria tiba-tiba duduk di depannya, tersenyum penuh percaya diri.
“Maaf, boleh saya duduk di sini?” tanyanya dengan nada tenang.
Aira mendongak dan menatap pria itu dengan bingung. “Kamu?” Ia mengenali pria itu sebagai Adrian, seorang mahasiswa jurusan hukum yang terkenal cerdas dan memiliki daya tarik tersendiri di kampus.
“Aku lihat kamu sendirian, jadi kupikir mungkin kamu butuh teman ngobrol,” jawab Adrian sambil menyeringai. “Atau... terlalu banyak yang ada di pikiranmu?”
Aira menghela napas panjang. “Kamu benar, Adrian. Kadang, semuanya terasa... terlalu rumit.”
Adrian memiringkan kepala, tertarik dengan keterbukaan Aira. “Kalau kamu mau cerita, aku ada waktu kok. Mungkin aku bisa bantu, atau setidaknya jadi pendengar yang baik.”
Aira ragu sejenak, tetapi rasa tertekan yang ia alami membuatnya merasa nyaman dengan kehadiran Adrian. Ia pun bercerita sedikit tentang pernikahan yang telah diatur orang tuanya, tanpa menyebutkan nama Raka. Adrian mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk.
“Sepertinya kamu terjebak dalam situasi yang tidak adil,” kata Adrian setelah Aira selesai bercerita. “Kamu berhak untuk menjalani hidupmu sendiri, Aira.”
“Aku tahu itu,” jawab Aira pelan, matanya menerawang. “Tapi kadang... aku merasa seperti tidak punya pilihan.”
Adrian menatapnya dengan sorot mata penuh empati. “Kamu punya pilihan, Aira. Selalu ada pilihan.” Ia lalu tersenyum lembut, membuat Aira sedikit lega.
Di tengah percakapan itu, tiba-tiba Raka masuk ke dalam kafe dan melihat Aira bersama Adrian. Wajahnya mengeras, lalu dengan langkah cepat ia mendekati meja mereka. Aira terkejut melihat Raka berdiri di depannya dengan ekspresi dingin yang sudah biasa ia lihat.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Raka dengan nada tajam.
Aira mencoba tetap tenang, meski ada ketegangan yang mulai merayap. “Aku sedang ngobrol dengan teman, Raka. Apakah ada masalah?”
Raka menatap Adrian dengan tatapan tajam. “Kamu tahu siapa dia?” tanyanya pada Aira, suaranya terdengar lebih tegang.
Adrian mengulurkan tangan, tersenyum ke arah Raka. “Aku Adrian. Senang berkenalan, Raka.”
Raka menolak jabat tangan itu, matanya menatap Adrian dengan penuh kebencian yang tersembunyi. “Kamu mungkin tidak tahu ini, Adrian, tapi Aira adalah tunanganku. Jadi, lebih baik kamu menjaga jarak.”
Aira terdiam, merasa suasana semakin memanas. Ia tidak menyangka Raka akan sekeras ini pada Adrian.
“Tunangannya?” Adrian tersenyum kecil, tampak sedikit terkejut namun tidak mundur. “Maaf, aku tidak tahu. Tapi kalau dia tunanganmu, kenapa dia terlihat tidak bahagia?”
Kalimat itu menghantam Raka, tetapi ia tetap berusaha mengontrol emosinya. “Urusan kami bukan urusanmu, Adrian. Jadi lebih baik kamu menjauh sebelum ada masalah yang tidak ingin kamu hadapi.”
Aira merasa terhimpit di antara dua pria ini. Ia merasa perdebatan ini semakin memperkeruh keadaan. Namun, sebelum ia sempat berkata sesuatu, Adrian berdiri.
“Aira, kalau kamu butuh seseorang untuk mendengarkanmu, kamu tahu di mana menemukanku,” katanya sambil menatapnya lembut. Ia menatap Raka sekilas sebelum beranjak pergi.
Setelah Adrian pergi, Raka menatap Aira dengan tajam, penuh kemarahan yang terpendam. “Kenapa kamu harus bergaul dengan orang sepertinya?”
Aira mengerutkan kening. “Orang seperti apa, Raka? Seseorang yang peduli padaku?” Nada suaranya penuh emosi yang tertahan. “Karena kamu jelas tidak peduli pada perasaanku.”
“Jangan bicara seolah kamu mengenalku,” balas Raka. “Aku hanya ingin melindungimu dari hal-hal yang tidak perlu.”
Aira tertawa pahit. “Melindungiku? Kamu bahkan tidak peduli jika aku bahagia atau tidak! Kamu hanya peduli pada dirimu sendiri dan ego kamu!”
Raka terdiam, ekspresi wajahnya berubah. Ada sesuatu dalam tatapannya yang seakan merasa tersentuh, namun segera hilang tergantikan kekerasan yang biasa ia tunjukkan. “Jika itu yang kamu pikirkan, Aira, maka tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.”
Cliffhanger Bab 4: Raka pergi meninggalkan Aira dengan perasaan terbelah antara rasa benci dan ketertarikan yang semakin rumit. Sementara itu, Aira mulai menyadari bahwa kehadiran Adrian mungkin bisa menjadi pengalih yang ia butuhkan, bahkan mungkin menjadi sosok yang dapat mengisi kehampaan yang ia rasakan dalam hubungan ini. Namun, ia juga tahu bahwa dengan memunculkan Adrian di kehidupannya, ia membuka pintu untuk lebih banyak konflik dan ketegangan yang belum tentu ia siap hadapi.