Caroline Blythe Berasal dari keluarga Broken Home dengan ibu yang harus masuk panti rehabilitasi alkohol. Hidup sebatang kara tidak punya kerjaan dan nyaris Homeless.
Suatu ketika mendapat surat wasiat dari pengacara kakeknya bahwa beliau meninggalkan warisan rumah dan tanah yg luas di pedesaan. Caroline pindah ke rumah itu dan mendapatkan bisikan bisikan misterius yang menyeramkan.
Pada akhirnya bisikan itu mengantarkan dirinya pada Rahasia kelam sang kakek semasa hidup yang mengakibatkan serentetan peristiwa menyeramkan yang dialaminya di sana. Mampukah Caroline bertahan hidup di Rumah tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leona Night, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan Maaf Harry
Caroline's POV
Aku masih bisa merasakan saat Charles membopong tubuhku dan menidurkan aku di Sofa. Aku pun masih bisa melihat ketika dia membawa es dan mengompres bengkak serta luka di bibir dan hidung ku. Hingga pendarahan berhenti. Ketika pendarahan sudah berhenti di kedua luka itu, pusingku yang tadi menghantam kuat, perlahan lahan reda, dan kesadaran ku pulih 100 persen. Sambil meringis kesakitan, aku duduk dan menyandarkan kepalaku pada sandaran Sofa.
Aku masih belum bisa memahami, mengapa Harry memukulku secara brutal. Selama aku berpacaran dengannya dulu waktu di London, tidak pernah sekalipun dia menyakitiku walau kami pernah bertengkar hebat. Charles mengelus kepalaku dan kembali berkata,” Are You oke Caroline?”
Aku mengangguk dan merebahkan kepalaku dalam pelukannya. Charles memang seperti kakak bagiku, Usianya yang jauh lebih tua kurang lebih sekitar 5 tahunan, membuatku merasa nyaman dan terlindungi.
“Ada apa? Siapa yang melakukan semua ini?’ tanya Charles
Sambil masih menangis sesenggukan aku berkata,” Harry, dia sepertinya mabuk dan entahlah seperti tidak sadar apa yang dilakukannya. Dia tidak pernah kasar selama ini. Mengapa dia begitu kejam Charles?”
Charles mengelus punggungku penuh kasih sayang. Aku merasakan sentuhan seorang ayah yang tidak pernah aku rasa seumur hidupku. Mungkin seperti ini rasanya jika aku punya ayah yang mencintaiku.
“Hai, sudah lah. Sekarang kau aman bersamaku. Bajingan itu tidak akan berani menyentuhmu lagi,” tenanglah.
Aku mengangguk dan melepaskan diriku dari pelukan Charles.
“Kau sudah makan?” tanya Charles
“Belum,” jawabku pendek
“Tunggulah sebentar, aku akan beli makan untukmu,”
Tanpa sempat aku cegah, Charles sudah keluar dari rumah. Aku mendengar dia menghidupkan motornya dan pergi entah kemana. Tak lama dia datang membawakan makanan kesukaanku. Dia bawakan Spaghetti dengan aroma yang begitu keras menggoda. Dia juga belikan aku Pizza dengan keju mozarellanya yang sangat banyak. Aku jadi teringat ibu, Ibu suka sekali memasak pizza untukku. Tak terasa air mataku kembali meleleh.
“Hei, ada apa? Apakah ada yang salah dari makanan yang aku bawa?” tanya charles bertanya
“Tidak, aku hanya teringat ibu. Beliau suka sekali bikinkan aku Pizza dengan Keju Mozarella yang banyak. Kau tahu betul kesukaanku Charles,” jawabku sambil terus makan Spaghetti.
Dia melihatku makan dengan lahap. Lalu dia mengeluarkan sejenis salep untuk luka dan kembali berkata,” Aku juga beli salep untuk lukamu, ijinkan aku mengolesnya setelah kau selesai makan nanti,” Aku mengangguk pelan dan meneruskan makanku. Selesai makan, Charles pula yang membawa semua piring ke dapur dan mencucinya bersih.
Setelah itu dia mengulurkan gelas berisi air putih dan berkata, “Jangan lupa minum obatmu dari Psikiater. Agar kau lebih tenang.” Segera Aku mengeluarkan obatku dan meminumnya. Lalu tak lama kemudian dia menghampiriku dan mengeluarkan salep luka itu dan perlahan mengoles luka di keningku dan pipiku.
Entah mengapa jantungku berdebar begitu kencang, ketika dia mengoleskan salep itu. Tangannya begitu lembut dan penuh kasih sayang. Dia merawatku dengan sangat baik. Aku memandang matanya dalam, dia tidak sadar. Sampai kemudian dia menyadarinya. Dia juga menatapku dalam dan seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi entah apa.
Aku mendekatkan wajahku pada wajahnya, dan tak lama dia pun mencium bibirku. Dia melumatnya dengan mesra, hangat dan dingin menjadi satu. Aku merasa jantungku mau copot sebelum kemudian luka di bibirku kembali memberikan sensasi nyeri dan ngilu.
“Aouch,” kataku pelan.
Dia pun melepaskan bibirku dari ciumannya dan mundur lalu berkata,”Maafkan aku Caroline,”
Setelah itu dia melepaskan tangannya dari daguku dan terlihat canggung serta gugup.
“Sepertinya, kau perlu istirahat. Besok kau harus kembali bekerja dan jangan sampai terlambat datang, Kau butuh pekerjaan itu untuk hidup,” Jelasnya.
Lalu dia bersiap untuk pergi. Sebelum pergi dia kembali berkata, “Kau jangan takut di rumah ini sendirian. Ada aku. Aku akan selalu ada untukmu Caroline,”
Setelah itu dia pergi dan meninggalkanku dengan pertanyaan besar yang saat itu aku enggan memikirkannya dalam dalam.
*****
Pagi itu sekitar pukul 06,00 aku terbangun karena ada orang yang mengetuk pintu dengan keras, sambil berteriak memanggil manggil namaku. Bergegas aku bangkit dan membuka pintu depan. Harry dengan wajah cemas berdiri di depan pintu. Aku segera menutupnya kembali, tapi dia menahan dengan sekuat tenaga.
“Caroline, please, izinkan aku bicara,” dia terus berteriak sambil mendorong pintu agar tetap terbuka. Tenagaku terlalu kecil dibanding badannya yang tinggi besar. Akhirnya pintu itu pun terbuka kembali.
Dia masuk, memegang tanganku tapi aku tepis.
“Please, maafkan aku sayang. Aku semalam mabuk berat, Aku Frustasi menunggumu tidak kunjung datang. Tidak ada yang mengatakan padaku bahwa kau bekerja. Aku pikir kau sudah menemukan orang lain yang menggantikan aku dalam hidupmu. Aku frustasi dan marah. Aku merasa kau…melupakan aku begitu saja. Maafkan aku. Tidak seharusnya aku berlaku kasar padamu seperti semalam,” dia berkata sambil berlutut memegang kakiku.
Air matanya mengalir deras, aku tidak pernah melihat Harry frustasi sedalam itu. Aku tahu dia mungkin sudah salah paham dan mungkin dia sedang mabuk. Tapi aku benci diperlakukan kasar.
“Keluar kau dari rumah ini Harry, Keluar” teriakku dengan kencang.
“Tidak, aku tidak mau Caroline, aku tidak mau. Tolong maafkan aku, kembalilah seperti dulu. Aku mengaku salah, aku ..aku sangat cemburu, aku takut kehilangan kamu. Kau tahu sendiri aku tidak pernah akan mau kehilangan kamu,”
Memang Harry tidak pernah mau hubungan kami berakhir. Aku yang memutuskan dia dua tahun lalu karena perkataan ibunya yang menyinggung harga diri dan perasaanku. Sejak saat itu dia tidak pernah mau aku tinggalkan bahkan dia pula yang membantuku setiap kali aku merasa kesulitan biaya hidup.
“Baiklah Harry, aku memaafkanmu. Berdirilah, dan pergi dari sini,” ujarku pelan menahan air mataku yang sudah mau jatuh.
Dia berdiri, lalu memelukku dari belakang dan menyusupkan kepalanya pada leherku dan menangis tersedu sedu di sana. Air matanya membasahi baju dan rambutku, Aku sungguh tidak tega.
Aku tahu, Harry juga punya luka, Hidup dengan ibunya yang kejam dan suka memukulnya sejak kecil, membuat Harry tidak pernah merasakan kasih sayang. Aku tumbuh bersama Harry, kami sekolah di sekolah yang sama, sejak SD bahkan hingga SMA. Setelah ibunya menikah dengan duda kaya raya itu, Harry pindah dari lingkungan kami dan tinggal di kawasan Elit.
Tapi Harry tetaplah yang dulu. Setiap pulang sekolah, alih alih segera pulang, dia justru tinggal di rumahku, makan masakanku dan baru pulang menjelang tidur. Selalu seperti itu, sampai pada suatu malam ibunya datang ke rumah dan meminta aku menjauhi Harry. Tak berapa lama ibuku pun masuk pusat Rehab alkohol dan aku pindah ke Ravenwood.
Sebenarnya Harry berkata, dia ingin menikahi ku, karena dia sudah lulus kuliah dan bekerja di perusahaan ayah tirinya. Tapi aku menolak, karena aku tahu hidupnya akan susah jika dia nekat menikahiku, dia akan kehilangan pekerjaan, dan ibunya yang punya koneksi luas itu, akan membuat Harry susah mendapat pekerjaan lain. Aku tidak ingin Sekolah Harry sia sia hanya karena perempuan miskin macam aku.
Air mataku meleleh ketika Harry masih saja menangis di Pundakku. Kami sebenarnya seperti dua hati yang lahir dari keluarga yang tidak bahagia, dan menemukan bagian lain yang hilang atau rusak. Aku mendambakan kasih sayang ayah, sementara Harry mendambakan kasih sayang ibu. Kami bisa saling melengkapi.
Aku membalikkan badanku dan memegang wajah Harry sambil berkata,” Sudahlah Harry, kau tidak perlu seperti ini. Aku memaafkanmu,”
Harry mengangkat wajahnya dan melihat luka luka di wajahku,”Aku sudah membuat luka luka itu. Maafkan aku.”
Dia memegang tanganku dan menciumnya seolah tidak ingin melepasnya.
“Kau tidak perlu bekerja Caroline. Aku akan membuka rekening khusus untukmu. Kau tinggal ambil uangnya dan pakailah untuk hidup. Aku tidak ingin kau pulang larut malam hanya untuk bekerja di Toko kue kecil itu,” ujar Harry sambil mengusap wajahku.
Aku hanya diam membisu. Aku tidak tahu harus berkata apa. Harry lalu menuntunku duduk dan memberikan aku amplop berisi uang. Gunakan ini untuk menghidupimu selama sebulan. Kau jangan pergi bekerja. Rawat rumah ini dengan baik. Nanti bertahap aku akan membenahinya.
Aku hanya tersenyum dan membiarkan dia memelukku. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku tahu, bahwa apa yang dikatakan Harry tidak akan pernah terjadi begitu saja. Hubungan kami tidak akan berjalan lancar.
*****