Istri mana yang tak bahagia bila suaminya naik jabatan. Semula hidup pas-pasan, tiba-tiba punya segalanya. Namun, itu semua tak berarti bagi Jihan. Kerja keras Fahmi, yang mengangkat derajat keluarga justru melenyapkan kebahagiaan Jihan. Suami setia akhirnya mendua, ibu mertua penyayang pun berubah kasar dan selalu mencacinya. Lelah dengan keadaan yang tiada henti menusuk hatinya dari berbagai arah, Jihan akhirnya memilih mundur dari pernikahan yang telah ia bangun selama lebih 6 tahun bersama Fahmi.
Menjadi janda beranak satu tak menyurutkan semangat Jihan menjalani hidup, apapun dia lakukan demi membahagiakan putra semata wayangnya. Kehadiran Aidan, seorang dokter anak, kembali menyinari ruang di hati Jihan yang telah lama redup. Namun, saat itu pula wanita masa lalu Aidan hadir bersamaan dengan mantan suami Jihan.
Lantas, apakah tujuan Fahmi hadir kembali dalam kehidupan Jihan? Dan siapakah wanita masa lalu Aidan? Akankah Jihan dapat meraih kembali kebahagiaannya yang hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29~ MAS AIDAN
Setelah merapikan beberapa catatan medis yang tercecer di atas meja, Aidan segera keluar dari ruangannya dengan langkah tergesa-gesa. Tak sabar rasanya untuk segera sampai di toko kue Nayra menjemput Jihan dan Dafa.
Sepanjang langkahnya menyusuri koridor rumah sakit, pikirannya sibuk menerka kenapa Jihan tiba-tiba meminta dijemput. Mungkinkah wanita itu akan mengajaknya ke sesuatu tempat. Ataupun mungkin mengajaknya membicarakan hal serius di rumahnya sambil disuguhi secangkir teh hangat dan roti panggang seperti saat itu. Ah, dia jadi senyum-senyum sendiri membayangkan hal tersebut.
Begitu sampai di lobi, tatapan Aidan tak sengaja tertuju pada seorang wanita paruh baya yang duduk tampak gelisah dan sesekali menoleh ke arah pintu masuk. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya, melainkan wajah pucat wanita paruh tersebut yang juga terlihat meringis sambil mengelus dada.
Meski ia adalah dokter spesialis anak, tapi ia tetap menghampiri wanita paruh baya tersebut. Setidaknya ia bisa bertanya apa keluhannya dan akan mengarahkan ke bagian poli yang sesuai jika seandainya belum mendaftar berobat.
"Maaf, apa Ibu sedang berobat ?" tanya Aidan.
Wanita paruh baya itu menoleh, sejenak ia menatap pria dihadapannya lalu menunjukkan plastik obat ditangannya. "Sudah, saya sedang menunggu anak saya yang katanya akan menjemput tapi sudah sore begini belum datang juga."
"Memangnya tadi Ibu kesini sama siapa?" tanya Aidan lagi.
"Sendirian." Wanita paruh baya itu menunduk. Ia kehabisan uang untuk berobat dan makan di kantin tadi. Sudah menelpon anaknya, namun sudah tiga jam ia menunggu tapi tak kunjung datang. Sebenarnya ia bisa saja pulang dengan taksi dan akan membayar setelah sampai. Tapi ia khawatir menantunya tidak ada di rumah, terlebih telponnya tidak diangkat. Sekarang menantunya itu yang mengendalikan keuangan, ia hanya dapat jatah tak seberapa tiap bulannya. Berbeda dengan menantun pertamanya dulu, anaknya sendiri yang mengatur keuangan dan ia bebas meminta uang kapan saja.
"Coba Ibu telepon anaknya sekali lagi,"
Wanita paruh baya tersebut pun mencoba menghubungi anaknya lagi, raut kecewa tercetak jelas di wajah pucat nya ketika hanya suara operator yang terdengar. "Gak aktif," ucapnya lirih.
Aidan menghela nafas, ada rasa tak tega dihatinya jika meninggalkan wanita paruh baya itu dalam kebingungan seorang diri. Ia bisa saja memberikan ongkos pulang, tapi bagaimana jika terjadi sesuatu di jalan melihat wajahnya yang pucat. Nalurinya sebagai seorang dokter jelas tak akan tega membiarkan itu terjadi.
Ia melirik jam tangannya, sekarang baru jam tiga sore sementara seharusnya ia menjemput Jihan jam 5 sore. Datang cepat hanya untuk berlama-lama bersama wanita pujaannya itu.
"Em, bagaimana kalau saya antarkan Ibu pulang?" tawarnya setelah berpikir. Ada baiknya ia membantu ibu tersebut lebih dulu.
"Gak usah, Nak. Saya gak mau merepotkan, mungkin sebentar lagi anak saya juga datang. Saya bisa maklum dia sedang sibuk di kantor dan hapenya mati mungkin karena lagi rapat sama bos-nya."
"Gak merepotkan kok, Bu, saya nggak lagi terburu-buru. Ibu sudah cukup lama menunggu... ."
"Bu, ayo pulang!"
Aidan menoleh ke asal sumber suara, matanya memicing menatap pria yang kini telah berdiri di sampingnya, seperti pernah melihatnya.
"Fahmi, akhirnya kamu datang juga, Nak." Wanita paruh baya yang tak lain adalah bu Neny itu beranjak dari tempat duduknya.
"Ini anak saya, kalau begitu kami pamit dan terima kasih tadi sudah menawarkan tu... ."
"Bu, ayo buruan!" potong Fahmi. "Aku masih harus balik ke kantor! Lagian Ibu ada-ada saja pake kehabisan duit segala. Seharusnya minta lebih sama Windy sebelum ke rumah sakit." Ia melirik pria dihadapan ibunya kemudian mengayun langkah meninggalkan keduanya.
"Buruan, Bu!" serunya dengan nada kesal.
Bu Neny pun segera menyusul anaknya itu dengan langkah sedikit lunglai. Melihat itu Aidan merasa prihatin, anaknya terlihat tak begitu peduli. Apalagi nada bicara pada ibunya tadi tak menunjukkan rasa hormat. Miris sekali.
"Oh iya, aku baru ingat. Laki-laki tadi yang beberapa hari lalu aku tabrak," gumam Aidan setelah berhasil mengingat dimana ia pernah bertemu pria itu. Ternyata memang begitu wataknya. Tak heran hari itu ia dimaki-maki meski sudah meminta maaf, pada ibunya sendiri pun seperti itu. Tak ada sopan santunnya.
.
.
.
Sesampainya di toko kue Nayra, Aidan tak langsung menemui Jihan meskipun ia ingin sekali bertemu. Ia hanya memperhatikan wanita itu sebentar yang masih melayani pembeli, kemudian masuk ke dalam menemui kakak sepupunya.
"Om Dokter," panggil Dafa yang sedang bermain bersama Adiva, anak lelaki itu terlihat sangat senang melihat kedatangan Aidan.
Aidan melambaikan tangannya pada Dafa, lalu duduk samping Rian yang sedang mengecek laporan keuangan bengkel di ponselnya.
"Wih, banyak tuh. Boleh pinjam gak buat lamaran?" canda Aidan yang sepintas melihat nominal pendapatan bengkel Rian.
Rian terkekeh. "Memangnya sudah diterima?" tanyanya dan menoleh sekilas menatap Aidan.
"Belum sih." Aidan mengulum senyum. "Tapi apa menurut Mas Rian aku bakal diterima?"
"Ya mana Mas tahu, memangnya Mas peramal." Rian mengangkat bahu.
"Tadi siang Jihan telepon, dia minta dijemput sore ini. Padahal, dia selalunya mau nolak tiap kali aku tawarkan tumpangan pulang."
"Wah, itu tanda-tanda kayaknya." kata Rian.
Aidan tersenyum. "Tanda-tanda aku bakal diterima... ."
"Jadi sekedar teman aja." potong Rian yang sontak membuat senyum Aidan seketika pudar.
Rian tergelak melihat ekspresi Aidan, "Makanya sebelum pergi nanti sama Jihan, sana sholat Dhuha dulu biar keinginan kamu terkabul," candanya.
Aidan memutar bola matanya, " Sholat Hajat, Mas. Lagian mana ada sholat Dhuha udah sore begini."
"Mas kira jatuh cinta bakal buat kamu jadi gak waras, Alhamdulillah kalau masih waras." Rian semakin tergelak. "Tapi ada kemungkinan juga Jihan mau memberikan jawaban atas niat baik kamu. Coba deh pikir, kenapa dia harus membuat kamu repot dengan meminta di jemput. Jarak dari rumah sakit kesini lumayan jauh, padahal dia sudah pindah ke kontrakan yang gak seberapa jauh dari sini."
Senyum Aidan kembali mengembang, tadi ia sama sekali tidak terpikirkan akan hal itu.
Tiba waktunya toko tutup, Aidan segera keluar untuk membantu Jihan beres-beres. Wanita itu cukup terkejut melihat keberadaan Aidan yang tiba-tiba, ia tidak tahu bawah pria itu telah datang dari satu setengah jam yang lalu.
"Kamu tadi minta dijemput, memangnya mau kemana?" tanya Aidan setelah baru saja selesai membantu Jihan.
"Apa Mas Aidan gak keberatan kalau kita ke Taman sebentar?".
Aidan tercengang. Kedua matanya bahkan sampai tak berkedip menatap Jihan. Apa ia tidak salah dengar? Baru saja Jihan memanggilnya dengan sebutan 'Mas Aidan' bukan dokter seperti biasanya. Dan apa tadi katanya? Pergi ke taman? Ah, so sweet nya. Rasanya ia ingin jingkrak-jingkrak saking senangnya.
"Em, maksudnya kita bertiga. Saya, Dafa dan Mas Aidan." ralat Jihan yang mengartikan ekspresi terkejut Aidan mungkin karena mengira ia hanya mengajak pergi berdua.
terus kembali juga tiba tiba...
duh Nur bikin penasaran aja deh
nur lagi bikin teka teki nih kek nyaa☺️☺️
jika tak mau tes DNA, jangan percaya Iren & mau tanggung jawab