Aldo, seorang mahasiswa pendiam yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya, tiba-tiba terjebak dalam taruhan gila bersama teman-temannya: dalam waktu sebulan, ia harus berhasil mendekati Alia, gadis paling populer di kampus.
Namun, segalanya berubah ketika Alia tanpa sengaja mendengar tentang taruhan itu. Merasa tertantang, Alia mendekati Aldo dan menawarkan kesempatan untuk membuktikan keseriusannya. Melalui proyek sosial kampus yang mereka kerjakan bersama, hubungan mereka perlahan tumbuh, meski ada tekanan dari skripsi yang semakin mendekati tenggat waktu.
Ketika hubungan mereka mulai mendalam, rahasia tentang taruhan terbongkar, membuat Alia merasa dikhianati. Hati Aldo hancur, dan di tengah kesibukan skripsi, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Alia. Dengan perjuangan, permintaan maaf, dan tindakan besar di hari presentasi skripsi Alia, Aldo berusaha membuktikan bahwa perasaannya jauh lebih besar daripada sekadar taruhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pilihan yang Mustahil
Alia berdiri terpaku, melihat Rio terikat di kursi dengan kondisi mengenaskan. Nafasnya tersengal, dadanya terasa sesak. Rendra dan Aldo segera bereaksi, bersiap untuk melawan, tapi sosok pria di depan mereka tidak menunjukkan tanda-tanda gentar. Dia tersenyum puas, menatap mereka seolah sudah memenangkan permainan ini sejak awal.
“Kalian pikir bisa menyelamatkannya dengan mudah?” tanya pria itu sambil tertawa kecil. Suara tawanya bergema di dalam gedung yang tua dan kosong. “Permainan ini baru saja dimulai.”
Alia melangkah maju, meski lututnya terasa lemas. “Apa yang kau inginkan dari kami? Kenapa kau melakukan ini?”
Pria itu memutar-mutar pisau kecil di tangannya, seolah sedang berpikir. “Kenapa, ya? Mungkin karena aku suka bermain-main dengan orang yang mengira mereka punya kendali.” Matanya menatap Alia tajam. “Atau mungkin karena aku ingin melihat seberapa jauh kau akan pergi untuk menyelamatkan seseorang yang kau cintai.”
Perkataannya membuat Alia terdiam. Rasa takut yang menyelimuti hatinya berubah menjadi kemarahan. Dia ingin menerjang pria itu, ingin melakukan sesuatu untuk membebaskan Rio, tapi dia tahu bahwa bertindak gegabah hanya akan memperburuk situasi.
Rendra, yang berdiri di belakang Alia, menyipitkan matanya, penuh kecurigaan. “Apa maumu sebenarnya? Kalau kau mau uang, kita bisa bicara. Kalau ini soal balas dendam, katakan alasanmu.”
Pria itu mendekat dengan tenang, setiap langkahnya terukur. “Aku tidak butuh uang, dan ini bukan soal balas dendam. Ini lebih tentang pilihan.” Dia berhenti tepat di depan Alia, lalu menatap langsung ke matanya. “Kau harus memilih, Alia. Apakah kau akan menyelamatkan Rio… atau teman-temanmu?”
Alia menelan ludah, bingung dengan ucapannya. “Apa maksudmu?”
Pria itu mengeluarkan sebuah remote kecil dari saku jaketnya, lalu menekan sebuah tombol. Seketika, suara ledakan kecil terdengar di luar gedung. Getaran terasa hingga ke lantai tempat mereka berdiri.
“Di luar sana,” ujar pria itu dengan nada santai, “ada bom yang sudah aku aktifkan. Teman-temanmu mungkin bisa melarikan diri sebelum semuanya meledak... atau mereka bisa mencoba menyelamatkan Rio. Pilihan ada di tanganmu, Alia.”
Jantung Alia berdetak lebih cepat. Dia menoleh ke arah Rendra dan Aldo, yang wajahnya sudah berubah tegang. Pilihan itu benar-benar tidak masuk akal. Bagaimana mungkin dia bisa memutuskan siapa yang akan diselamatkan?
“Lo gila!” seru Aldo, marah. “Kita nggak akan main-main dengan permainan lo!”
Pria itu hanya tertawa lagi. “Kalian tidak punya banyak waktu. Bom itu akan meledak dalam lima menit. Jadi... cepatlah buat keputusan.”
Detik-detik yang berlalu terasa seperti siksaan bagi Alia. Rendra, meski masih terlihat marah, mendekati Alia dengan tenang. “Kita harus berpikir cepat,” bisiknya. “Mungkin ada cara untuk mematikan bom itu tanpa harus mengikuti permainannya.”
“Tapi bagaimana kita bisa tahu di mana bom itu?” tanya Alia, panik. “Dan bagaimana dengan Rio?”
Rio masih belum sadar, tubuhnya terkulai lemas di kursi. Luka di tubuhnya terlihat serius, dan jika mereka menunda terlalu lama, mungkin dia tidak akan bertahan hidup. Tapi, jika mereka semua berusaha menyelamatkan Rio, mereka mungkin tidak punya waktu untuk menyelamatkan diri sendiri.
Pria itu menatap arlojinya, seolah menghitung detik. “Tiga menit lagi,” ujarnya dengan nada tenang. “Jadi, apa pilihanmu?”
Rendra menoleh ke Aldo, lalu ke Alia. Wajah mereka semua penuh ketegangan, tapi Rendra tahu bahwa mereka tidak bisa membuang waktu untuk berpikir terlalu lama. “Kita bagi tugas,” ucap Rendra, akhirnya. “Aldo dan gue bakal cari bom itu. Alia, lo coba bangunin Rio dan bawa dia keluar.”
Aldo menatap Rendra dengan ragu. “Lo yakin kita bisa mengatasi bom itu sendirian?”
“Gue nggak tahu,” jawab Rendra jujur. “Tapi kita harus coba.”
Alia ingin menolak rencana itu. Dia tidak ingin terpisah dari mereka, tidak di tengah situasi seperti ini. Tapi dia tahu bahwa mereka harus bertindak cepat, dan tidak ada waktu untuk berdebat.
“Oke,” katanya, meski suaranya terdengar gemetar. “Tapi hati-hati.”
Rendra dan Aldo segera berlari keluar gedung, meninggalkan Alia bersama Rio dan pria misterius itu. Pria itu tampak puas dengan perkembangan situasi, lalu melangkah mundur, membiarkan Alia mendekati Rio.
Dengan tangan gemetar, Alia menggoyangkan tubuh Rio. “Rio, bangun. Kumohon... bangunlah.”
Rio mengerang pelan, matanya perlahan terbuka. “Alia...?” suaranya lemah, hampir tak terdengar.
Alia merasa air mata mengalir di pipinya. “Aku di sini, Rio. Kita harus pergi dari sini, sekarang.”
Rio mencoba bergerak, tapi tubuhnya terlalu lemah. Luka di samping tubuhnya masih berdarah, dan setiap gerakan tampaknya membuatnya kesakitan. “Aku... aku nggak bisa...”
“Jangan bilang begitu,” desak Alia, suaranya penuh rasa putus asa. “Kita akan keluar dari sini, bersama-sama. Kumohon, Rio.”
Namun, sebelum Rio bisa merespons, pria itu kembali berbicara. “Waktu kalian hampir habis, Alia. Kalau kau tidak segera pergi, semuanya akan berakhir di sini.”
Alia menoleh ke arah pria itu dengan mata penuh kebencian. “Kau tidak peduli pada siapa pun, kan? Ini semua hanya permainan bagimu.”
Pria itu mengangkat bahunya. “Mungkin. Tapi siapa bilang permainan ini tidak menyenangkan?”
Tiba-tiba, suara ledakan kecil terdengar dari arah luar gedung. Itu adalah tanda bahwa waktu mereka semakin menipis. Alia merasa napasnya semakin berat, rasa panik mulai menguasai pikirannya. Rendra dan Aldo, apakah mereka berhasil menemukan bom itu? Ataukah mereka sudah terlambat?
“Rio,” Alia berkata, suaranya terdengar gemetar, “aku nggak bisa meninggalkanmu. Aku nggak akan pergi tanpa kamu.”
Rio menatap Alia dengan tatapan penuh rasa bersalah. “Aku... aku nggak mau kamu terluka gara-gara aku, Alia.”
“Aku nggak peduli,” jawab Alia tegas. “Aku nggak akan meninggalkanmu.”
Dia mencoba mengangkat tubuh Rio, meski terasa berat dan menyakitkan. Rio mengerang kesakitan, tapi dia tetap berusaha berdiri dengan bantuan Alia. Mereka berdua bergerak pelan menuju pintu keluar, sementara pria itu hanya menonton dengan senyum licik di wajahnya.
Saat mereka hampir mencapai pintu, Alia merasakan getaran di tanah. Ledakan lain, lebih besar, terdengar di kejauhan. Itu adalah tanda bahwa waktu mereka benar-benar hampir habis.
“Ayo, Rio, kita harus lebih cepat,” desak Alia, menarik lengan Rio dengan sekuat tenaga.
Tiba-tiba, pintu di depan mereka terbuka, dan Rendra serta Aldo muncul, wajah mereka penuh keringat dan kotoran. “Kami berhasil menemukan bomnya,” ujar Rendra, terengah-engah. “Tapi kami nggak bisa mematikannya. Kita harus pergi sekarang!”
Mendengar itu, Alia merasa jantungnya semakin cepat berdetak. Mereka sudah kehabisan waktu. Bom itu akan meledak kapan saja, dan jika mereka tidak segera keluar dari gedung ini, semuanya akan berakhir.
Mereka semua bergerak secepat mungkin, dengan Alia membantu Rio yang masih lemah. Langkah mereka cepat, tapi terasa lambat di tengah rasa panik yang melanda. Ketika mereka hampir mencapai pintu keluar, tiba-tiba suara ledakan besar terdengar dari belakang mereka. Gedung itu mulai runtuh.
“Cepat!” teriak Aldo, menarik Alia dan Rio keluar dari gedung tepat sebelum dinding-dinding itu mulai roboh.
Mereka jatuh ke tanah di luar gedung, napas mereka tersengal. Alia menatap gedung yang kini menjadi puing-puing, sementara suara ledakan terakhir menggema di udara.
Namun, saat mereka mencoba mengatur napas, sosok pria itu tiba-tiba muncul di antara asap dan reruntuhan, masih dengan senyum liciknya. “Kalian selamat... untuk sekarang.”
Alia menatapnya dengan perasaan campur aduk—antara lega dan takut. Tapi sebelum dia bisa mengatakan apa pun, pria itu menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan mereka dengan rasa takut yang belum selesai.
Siapa sebenarnya pria itu, dan kenapa dia terus mengejar mereka? Dan yang lebih penting, apakah mereka benar-benar aman, atau ini hanya awal dari ancaman yang lebih besar?