“Aku menghamilinya, Arini. Nuri hamil. Maaf aku selingkuh dengannya. Aku harus menikahinya, Rin. Aku minta kamu tanda tangani surat persetujuan ini.”
Bak tersambar petir di siang hari. Tubuh Arini menegang setelah mendengar pengakuan dari Heru, suaminya, kalau suaminya selingkuh, dan selingkuhannya sedang hamil. Terlebih selingkuhannya adalah sahabatnya.
"Oke, aku kabulkan!"
Dengan perasaan hancur Arini menandatangani surat persetujuan suaminya menikah lagi.
Selang dua hari suaminya menikahi Nuri. Arini dengan anggunnya datang ke pesta pernikahan Suaminya. Namun, ia tak sendiri. Ia bersama Raka, sahabatnya yang tak lain pemilik perusahaan di mana Suami Arini bekerja.
"Kenapa kamu datang ke sini dengan Pak Raka? Apa maksud dari semua ini?" tanya Heru.
"Masalah? Kamu saja bisa begini, kenapa aku tidak? Ingat kamu yang memulainya, Mas!" jawabnya dengan sinis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua
Arini baru saja sampai di rumahnya sore ini, rasa penat dan lelah merajai tubuhnya. Dari pagi banyak tamu yang datang untuk berkonsultasi di kantornya. Kantor konselingnya semakin ramai, sampai jadwal Arini begitu padat.
Arini melempar tasnya ke sofa yang ada di ruang tengah, lalu ia melepas outernya, melemparnya ke arah sofa sampai menutupi tasnya. Arini langsung ke dapur, karena dia merasa haus sekali, apalagi dari pagi sampai sore dia bicara terus dengan beberapa kliennya. Terdengar suara mobil Heru masuk ke pekarangan rumah. Arini mengembuskan napasnya kasar, ia mulai pusing lagi karena pasti Heru akan membujuknya lagi, supaya Heru bisa menikahi selingkuhannya yang katanya sedang hamil.
Nuri, selingkuhan Heru sekaligus sahabat baik Arini saat dulu kuliah. Tidak menyangka sahabat dan suaminya melakukan hal sekeji itu pada dirinya. Maklum saja Nuri dan Heru satu kantor, berada satu Divisi, tak heran jika mereka sering bersama hingga timbul pikiran jahat untuk selingkuh.
“Sayang ....” Heru masuk ke dalam rumahnya, masih sama seperti dulu saat pernikahannya baik-baik saja. Selalu memanggil sayang saat pulang kerja.
Namun kali ini, tidak ada efek di hati Arini. Panggilan sayang Heru pada Arini hanya drama saja, supaya rumah tangganya terlihat baik-baik.
“Kamu dipanggil kok gak nyahut?” protes Heru.
“Nyahut, kamu saja gak dengar!” jawab Arini ketus.
“Kau bisa temani aku malam ini?” tanya Heru sambil mendekati Arini yang sedang mengambil gelas.
“Aku sibuk, kenapa tidak dengan selingkuhan kamu saja?” jawab Arini ketus.
“Pak Raka ada acara, Putranya ulang tahun ke lima tahun, apa kau tak mau datang? Pak Raka yang meminta aku mengajak kamu, bukannya kamu berteman dekat dengan dia dan mendiang istrinya?” ucap Heru.
“Iya, Raka dan Almarhumah Asti teman dekat aku, memang harus gitu kalau mereka teman akrabku, aku datang juga? Gak usah juga gak apa-apa kok? Bilang saja Arini banyak pekerjaan, pasti Raka tahu,” ucap Arini.
“Rin ... jangan gitu, dong? Ini permintaan Pak Raka sendiri aku harus ajak kamu? Kamu mau aku ini dicap karyawan yang gak baik di depan Pak Raka? Dia minta ajak kamu saja, aku gak nurutin?”
Arini mengembuskan napasnya kasar, lalu ia mengambil gelas, dan mengisinya dengan air putih. Ia teguk air putih di dalam gelas sampai tandas untuk membasahi tenggorokkannya yang sudah sangat kering.
“Bilang Raka, aku sibuk, pasti dia tahu! Kamu sama teman sekantor kamu saja, yang sedang hamil anakmu?” sindir Arini.
“Mana mungkin aku sama Nuri ke sananya? Ya dia ke sana juga, tapi gak mungkin kita menunjukkan berduaan gitu?” ucap Heru.
“Kenapa gak mungkin? Biar saja orang sekantor tahu kamu selingkuh dengan dia, dan kamu akan mendapatkan bogem mentah dari Raka, gak gitu juga sih, kamu dipecat Raka, dan dia pasti memberikan kamu sanksi berat, bisa-bisa kamu diblacklist dari perusahaan mana pun, supaya kamu tidak diterima di perusahaan mana pun?” ucap Arini.
“Arini ... kalau semua orang tahu, kariermu juga yang kena imbasnya, Sayang? Aku ini demi menjaga semuanya, agar semuanya baik-baik saja. Karierku, juga kariermu,” jelas Heru.
Arini hanya diam. Benar apa yang Heru bilang, kalau semua tahu pasti semuanya akan berantakan. Apalagi dirinya seorang konselor pernikahan, apa kata semua orang, kalau tahu pernikahan dirinya cacat, karena Heru selingkuh dengan sahabatnya sampai sahabatnya hamil.
Ponsel Arini berdering di dalam tas. Ia segera mengambil tas yang ada di sofa ruang tengah, dan mengambil ponselnya. Terlihat nama Raka di layar ponselnya. Ya, Raka temannya yang tak lain pemilik perusahaan di mana Heru bekerja. Sudah Arini tebak, pasti Raka akan memberitahu dirinya untuk ikut dengan Heru nanti malam.
“Ya, Ka ... Ada apa?” tanya Arini.
“Rin, nanti malam datang, ya? Ke pesta ulang tahu Juna,” jawab Raka.
“Kamu ini, ngadain pesta ulang tahun untuk anakmu kok malam-malam, Ka?”
“Ya ini kan untuk orang kantor, besok kan weekend, jadi besok baru acara untuk Juna dan teman-temannya. Oh ya, ini Juna mau bicara.”
“Tanta Rin ... datang ya nanti malam?”
“Iya, Sayang ... Tante akan datang, kamu minta hadiah apa dari Tante?”
“Apa saja, pokoknya kalau dari Tante, Juna pasti suka,” jawabnya.
“Baiklah anak ganteng, tunggu Tante di rumah, ya?”
Arini mematikan ponselnya, lalu membuangnya ke atas sofa. Tidak mungkin Arini menolak permintaan Juna. Ia sudah anggap Juna seperti keponakannya sendiri. Sejak Asti meninggal, Arini memang sudah dekat dengan Juna. Terkadang Arini sengaja mengunjungi rumah Raka untuk bertemu dengan Juna, apalagi Juna ditinggal ibunya usia satu tahun.
“Jadi kamu ikut?”
“Ya, karena Juna yang memintaku!”
“Oke, ayok kita mandi, Sayang? Sudah lama kita gak pernah Quality Time begitu, mumpung masih sore. Aku kangen.”
Heru mendekati Arini, mencumbu ceruk leher istrinya itu. Arini memejamkan matanya, namun hatinya bergejolak. Antara benci dan rindu sentuhan suaminya.
“I love you, Arini,” bisik Heru dengan masih mengendus ceruk leher Arini, dengan begitu dalam. Tangannya sudah menyentuh bagian dada Arini, segera Arini tepis, dan mejauh tubuhnya dari Heru.
“Jangan sentuh aku lagi!” pekik Arini dengan menyeka air matanya.
“Kamu gak kangen, Sayang? Aku kangen, sudah satu minggu, Arini,” ucap Heru.
“Aku bilang, jangan sentuh aku lagi mulai sekarang!”
“Rin, kamu ini masih istriku. Oke aku sudah melakukan kesalahan besar dalam hidupku, aku mohon kebesaran hatimu, Sayang? Aku khilaf, aku juga ingin bertanggung jawab, karena ada anak di dalam rahimnya,” ucap Heru.
“Khilaf? Khilaf itu sekali, Mas! Gak berkali-kali sampai hamil! Persetan dengan tanggung jawab!”
Arini pergi meninggalkan Heru. Ia masuk ke dalam kamar dan mengunci kamarnya. Sudah satu minggu memang Arini tidak tidur sekamar lagi dengan Heru. Setelah masuk kamar, Arini langsung mengunci pintu kamarnya, dan tidak mengizinkan Heru untuk masuk ke dalam kamarnya.
^^^
Arini datang bersama Heru ke pesta ulang tahun anak Raka. Sebetulnya Raka hanya mengadakan syukuran untuk putranya yang besok akan berulang tahun ke lima tahun dengan mengundang orang kantor untuk makan malam bersama, itu inti acaranya.
Namun, di tengah perjalanan, Heru membelokkan mobilnya ke sebuah apartemen. Arini tahu Heru mau apa ke apartemen. Jelas akan menjemput Nuri supaya berangkat bersama.
“Mau apa ke sini?” tanya Arini.
“Jemput Nuri, kasihan dia harus berangkat sendiri, apalagi dia sedang hamil,” jawab Heru tanpa berdosa.
“Aku naik taksi saja!”
“Gak usah macam-macam, Rin!”
“Ya sudah gak usah jemput dia!”
“Arini, dia sedang hamil anakku! Kalau dia kenapa-napa gimana? Lagian orang gak akan curiga, toh semua tahu Nuri sabahatmu?”
“Mantan sahabat! Dan kamu pun akan jadi mantan suami!”
“Kau tidak usah macam-macam, Arini! Nasib kariermu yang akan jadi taruhannya, kalau kita berpisah!” ancam Heru.
Arini terdiam, ia tidak mau ribut lagi. Biar saja Nuri ikut mobilnya meskipun Arini sangat marah.
“Sabar, Arini. Belum saatnya,” batin Arini.
Heru kembali masuk dengan menggandeng tangan Nuri mesra. Arini menatapnya dengan hati yang tercabik. Ingin rasanya Arini memaki dua manusia durjana itu.
“Eh ada Arin, maaf ya aku ikut Heru juga,” ucap Nuri.
“Masuk!” ucap Arini ketus.
“Sayang ... aku mau di depan, di belakang mual, anakmu ini yang mau,” ucap Nuri manja.
“Rin, bisa tukar posisi?” ucap Heru.
“Gak!”
“Arini!” bentak Heru.
“Gak!”
“Dia sedang hamil anakku, Rin! Tolong mengalah!”
“Yakin anak kamu yang dia kandung? Gak mau diselidiki dulu? Siapa tahu sebelum sama kamu tidur dengan laki-laki lain? Ingat kata dokter waktu itu, kan? Yang gak subur siapa? Aku atau kamu?” ucap Arini.
Arini lalu keluar, ia pindah duduk di belakang. Rasanya benar-benar dunia mau kiamat melihat suaminya lebih mementingka selingkuhannya. Lebih-lebih selingkuhannya itu tidak tahu diri.
“Rin, anak ini butuh nama ayah di akta kelahirannya, jadi aku minta tolong setujui kami menikah secara sah!” pinta Nuri.
“Tidak akan, Nuri!” jawab Arini.