Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Andi dan aku duduk di dalam mobil yang masih terparkir di depan kantor polisi, sama-sama diam, mencerna isi pesan terakhir dari Dion. Langit sudah mulai gelap, dan lampu jalan menyala satu per satu, menambah suasana yang mencekam.
“Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, Andi,” kataku akhirnya, suaraku gemetar. “Aku tak ingin dia menyakiti keluargaku.”
Andi menghela napas panjang, matanya masih terfokus ke depan, seakan-akan sedang menimbang-nimbang keputusan besar. “Kirana, kau tahu ini jelas jebakan, kan?”
Aku mengangguk, tapi di dalam diriku, ada ketakutan yang sulit kuabaikan. “Tapi bagaimana kalau dia serius? Kalau aku tidak menurutinya, dia bisa saja melakukan sesuatu yang buruk pada keluargaku.”
Andi menatapku dengan serius. “Aku mengerti, tapi kau tidak boleh terperangkap oleh ketakutannya. Kita bisa melibatkan polisi untuk menjaga keluargamu. Jangan biarkan Dion mengendalikanmu dengan cara ini.”
Aku menggigit bibir, mencoba menahan gejolak emosi yang makin menguat. “Tapi Andi… apa yang terjadi jika kita laporkan, dan dia malah semakin mengamuk? Dia bukan tipe orang yang mundur begitu saja.”
Wajah Andi mengeras, dan dia mengangguk. “Justru karena itu, kita harus ambil tindakan sekarang, bukan nanti.”
Aku menatapnya dalam-dalam, berusaha mencari kepercayaan diri yang seakan lenyap dariku. “Kalau begitu, apa rencanamu?”
Andi tersenyum kecil, tapi ekspresi di wajahnya tetap serius. “Pertama, kita laporkan semua ini pada polisi. Kedua, aku akan memastikan keluargamu dijaga oleh pihak berwajib. Dan ketiga…” Dia berhenti, seolah-olah rencana itu hanya separuh terbentuk di dalam benaknya.
“Apa?” tanyaku, menahan napas.
“Kirana, aku tahu ini akan terdengar gila, tapi kita harus membuatnya percaya bahwa kau datang sendirian. Kita akan lakukan semuanya, tapi dengan pengawasan. Kita pancing dia.”
Mendengar kata-katanya, dadaku serasa mencelos. “Kau… kau serius? Kau ingin aku menemuinya?”
“Tidak sepenuhnya sendiri. Kita bisa menggunakan teknologi—mikrofon, alat pelacak. Tim polisi akan mengawasi dari jarak dekat. Dengan begitu, kalau Dion mencoba sesuatu, kita bisa segera menangkapnya.”
Gagasan itu membuat jantungku berdetak lebih cepat. “Andi… bagaimana kalau dia tahu?”
Andi menggenggam kedua tanganku, dan menatapku dalam-dalam. “Kirana, aku tak akan membiarkanmu dalam bahaya. Tapi kau tahu, inilah kesempatan terbaik untuk menghentikannya. Jika kau setuju, kita bisa segera mulai.”
Aku terdiam, merasakan perasaan bimbang yang berkecamuk. Bayangan wajah Dion terus menghantui pikiranku, namun tatapan Andi memberiku keyakinan yang perlahan menguat.
“Baiklah, aku setuju,” kataku dengan suara tegas yang bahkan mengejutkanku sendiri.
Dalam waktu singkat, kami sudah berada di ruang penyidik, menjelaskan situasi dan menunjukkan bukti-bukti ancaman Dion. Polisi menyimak dengan serius, mencatat segala detail, sementara aku mencoba meredakan rasa gugup yang terus bergejolak di dalam diri.
“Jadi, Anda yakin ingin menjalankan rencana ini?” tanya seorang perwira polisi, memandangku dengan ragu. “Risikonya besar, Bu Kirana. Meski kami akan mengawasi, tetap ada kemungkinan tak terduga.”
Aku menelan ludah, lalu mengangguk. “Ya, saya siap. Saya hanya ingin ini berakhir.”
Setelah itu, mereka menyiapkan mikrofon kecil yang disembunyikan di balik kerah bajuku, serta alat pelacak yang bisa diakses melalui aplikasi di ponsel Andi. Rasanya seperti sedang dalam adegan film detektif, namun ketegangan yang kurasakan nyata.
“Kami akan berada dalam jarak yang aman, tapi pastikan untuk tidak melakukan gerakan yang bisa memancing reaksi tak terduga darinya,” kata salah satu petugas dengan tegas.
Andi mengangguk. “Kami mengerti.”
Dengan hati yang penuh kecemasan, aku berjalan keluar dari kantor polisi bersama Andi. Malam semakin larut, dan udara terasa semakin dingin. Perasaan takut mulai menguasai, tapi kehadiran Andi di sampingku memberi sedikit ketenangan.
“Jadi, ke mana kita akan pergi?” tanyaku, mencoba menahan suara gemetar.
“Tempat yang dia maksud biasanya di mana?” tanya Andi.
Aku berpikir sejenak, ingatan membawa kembali kenangan-kenangan masa lalu dengan Dion. “Dia menyebutkan sebuah gedung kosong di pinggir kota.
Andi mengangguk. “Baiklah, kita akan ke sana.”
Kami berkendara menuju gedung tua yang tampak semakin menakutkan dalam kegelapan. Gedung itu kosong dan sudah lama tak terawat, terlihat menyeramkan dengan jendela-jendela yang menganga seperti mata yang memandang tanpa perasaan.
Sesampainya di sana, Andi menghentikan mobilnya di jarak yang cukup jauh. “Aku akan menunggu di mobil. Tim polisi sudah memantau. Ingat, kita terus terhubung,” katanya sambil menatapku dalam-dalam, seolah memberi kekuatan terakhir.
Aku mengangguk, lalu keluar dari mobil, melangkah perlahan menuju gedung. Langkahku terasa berat, setiap langkah seakan mengantarku lebih dekat pada bayangan Dion yang menyeramkan.
Ketika aku masuk ke dalam gedung, suasana hening menyelimuti, hanya suara derit kayu yang pecah oleh langkah kakiku. Jantungku berdetak cepat, telingaku mendengar setiap detak seakan bersaing dengan keheningan ruangan.
“Kirana…” suara Dion terdengar di kejauhan, bergema di dalam gedung kosong itu.
Aku membeku, mencoba tetap tenang meski rasa takut hampir membuatku ingin melarikan diri. “Aku… aku di sini, Dion.”
Langkah-langkahnya semakin mendekat, dan bayangannya mulai tampak dari balik tiang besar di depan. Wajahnya terlihat lebih gelap daripada yang pernah kulihat sebelumnya, dengan sorot mata yang tajam penuh kemarahan.
“Kau pikir bisa meninggalkanku begitu saja, Kirana?” Suaranya dingin, penuh kebencian yang nyaris tak tersamar.
“Aku hanya ingin hidup tenang, Dion. Aku… aku sudah lelah,” jawabku, mencoba menjaga suaraku tetap stabil.
Dia mendekat, matanya menyipit, memperhatikan setiap gerak-gerikku. “Tenang? Kau ingin hidup tenang? Setelah semua yang terjadi, kau masih berpikir bisa lari dariku?”
Aku menahan napas, mencoba mengingat instruksi polisi. “Aku hanya ingin kebebasanku kembali. Tolong, Dion, biarkan aku pergi.”
Dia tertawa, tawa yang terdengar dingin dan menakutkan. “Kau sungguh naif, Kirana. Kau pikir aku akan membiarkanmu begitu saja?”
Tiba-tiba, dia merogoh sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah benda kecil berkilat di bawah cahaya lampu yang remang. Sebuah pisau.
Aku merasa tubuhku menegang, napasku tertahan. Namun aku harus tetap tenang, mengingat apa yang dikatakan polisi—jangan memicu reaksinya.
“Dion… tolong, jangan lakukan ini. Kita bisa bicara baik-baik,” suaraku terdengar bergetar meski aku berusaha tetap tenang.
Dia tersenyum sinis. “Bicara baik-baik? Setelah kau mengkhianatiku dengan pria itu? Kau pikir aku tak tahu apa yang kalian rencanakan?”
Aku menggeleng, panik mulai menguasai. “Dion, ini bukan tentang Andi. Ini tentang kita, tentang semua kesalahan yang pernah kita buat.”
Namun, Dion tak menghiraukan kata-kataku. Dia semakin mendekat, dengan tatapan yang semakin gila. “Kirana, kau akan ikut denganku, suka atau tidak. Kau milikku.”
Tiba-tiba, aku mendengar suara di earphone kecil yang disematkan polisi, suara salah satu petugas. “Bu Kirana, tenang. Kami sudah di posisi. Terus tarik perhatiannya, kami akan segera masuk.”
Aku berusaha menenangkan diri, meski di dalam, seluruh tubuhku gemetar. “Dion, kumohon… biarkan aku pergi.”
Namun, saat langkahnya semakin mendekat, tiba-tiba ada suara berisik di belakangku—suara langkah kaki lain yang bergerak cepat. Dion berhenti, matanya menyipit, menyadari kehadiran orang lain.
Sebelum aku sempat bereaksi, tangan Dion mencengkeram lenganku dengan kuat. “Kau berani menjebakku, Kirana?”
Aku mencoba melepaskan diri, tapi genggamannya semakin kuat. “Dion, lepaskan! Kau tak akan lolos!”
Namun, pada saat itu juga, pintu gedung terbuka lebar. Beberapa polisi segera memasuki ruangan, mengarahkan senjata ke arah Dion.
“Lepaskan wanita itu!"