Narecha memilih untuk melarikan diri dari kehidupannya penuh akan kebohongan dan penderitaan
Lima tahun berselang, Narecha terpaksa kembali pada kehidupan sebelumnya, meninggalkan berjuta kenangan indah yang dia ukir ditempat barunya.
Apakah Narecha sanggup bertahan dengan kehidupannya yang penuh dengan intrik?
Di tengah masalah besar yang terjadi padanya, datang laki-laki dari masa lalunya yang memaksa masuk lagi dalam kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ssintia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resmi
...••••...
Tidak disangka-sangka, status Echa hari ini telah berubah menjadi istri seseorang. Iya, kalian tidak salah membaca jika Echa sudah menikah Jumat pagi ini.
Setelah pembahasan pertama kalinya satu bulan yang lalu, rupanya Pram benar-benar merealisasikan rencananya akan pernikahan keduanya.
Tidak ada acara mewah, malah pernikahan itu terkesan sederhana. Alih-alih menyewa gedung dan mengadakan pesta yang meriah, pernikahan itu dilangsungkan di belakang rumah Pram yang begitu luasnya.
Tapi meskipun begitu, suasana yang tercipta malah terasa lebih intens dan setiap momentumnya terekam dengan jelas oleh kedua mempelai.
Tentu saja hal tersebut sudah disepakati oleh kedua pengantin.
Echa sendiri tidak masalah akan hal itu. Karena jujur saja, Echa tidak memiliki wedding dream sebagaimana wanita kebanyakan.
Ya karena memang sebelumnya Echa tidak pernah berpikir jika dia akan menikah, dengan Pram pula.
Dan hingga saat ini pun Echa masih dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar akan situasi yang tengah dialaminya saat ini.
"Kakak, selamat menempuh hidup yang baru," Lania datang dan langsung berhambur memeluk Echa dengan erat.
Untung saja baju yang Echa kenakan berupa gaun simple tapi tidak melupakan kesan elegan berwarna hitam ditubuhnya membuatnya tidak kesusahan untuk bergerak dan membalas pelukan Lania.
Lania melepaskan pelukannya, "Kakak," rengeknya dengan bibir melengkung membuat Echa tersenyum karena dia tahu apa yang terjadi pada gadis didepannya ini.
"Udah dong, kan kamu udah janji engga nangis lagi." Ujar Echa dengan lembut.
"Sedih aku tuh, masa baru sebentar kakak udah pindah, padahal kakak itu satu-satunya tetangga yang bisa akrab sama aku," adu Lania dengan menahan tangisnya.
Satu minggu sebelum pernikahannya, Echa memberi tahu Lania sekaligus mengundangnya untuk datang.
Dan tidak Echa sangka sangka Lania malah menangis setelah mendengarnya. Tadinya Echa hampir berburuk sangka terhadap reaksi yang Lania tunjukkan.
Tapi setelah Lania menjelaskan jika dia akan kehilangan tetangga kesayangannya membuat Echa tidak habis pikir. Echa kira ada apa sampai Lania menangis sesenggukan sepeti itu.
"Kan kakak udah bilang, meskipun sudah pindah kita tetap bisa main kok."
"Harus itu mah,"
Lania pergi setelah berbicara cukup lama dengan Echa untuk berbaur bersama tamu yang lain. Ya meskipun tidak banyak yang datang dikarenakan acaranya yang cukup mendadak hingga tidak bisa mengundang banyak orang.
Echa saja hanya mengundang Lania, Beca, Laluna dan juga Mita yang sayangnya tidak bisa hadir dikarenakan anaknya yang tengah dirawat di rumah sakit.
Beca dan Laluna yang kali ini datang menghampiri Echa yang tengah duduk di bangku melingkar.
Karena memang tidak ada pelaminan ataupun sejenisnya. Hanya ada bangku-bangku melingkar yang sudah ditata rapi dengan berbagai jenis makanan diatasnya.
"Sialan lo, benar-benar udah jadi istri orang!" Beca memukul bahu Echa dengan gemas.
Bagaimana tidak, Beca dan Laluna baru diberitahu rencana pernikahan Echa dua hari yang lalu. Di mana keduanya sama-sama tengah berada diluar kota.
Tapi dikarenakan yang menikah itu Echa, Beca dan Laluna memilih pulang meskipun dengan hati yang bersungut-sungut karena sungguh, Echa begitu kejam memberitahukan hal sepenting itu saat tinggal menghitung jam.
"Ya emang iya udah jadi istri orang," ujar Echa dengan santainya membuat tatapan Beca semakin tajam.
"Udah sih, ini hari bahagianya Echa Lo jangan ngerusuh." Laluna menarik tangan Beca untuk duduk disampingnya.
"Hish, paling bisa Lo buat gue ngga jadi marah." Beca memasukkan satu potong puding semangka kedalam mulutnya dengan satu kali suapan membuat Echa dan Laluna kompak menggelengkan kepala.
"Pram itu beneran om Lo kan?" tanya Beca dengan penasaran karena memang selama ini meskipun ketiganya dekat, tapi Echa tidak pernah menceritakan keluarganya sedikitpun.
"Om angkat lebih tepatnya." Echa ikut memakan puding karena perutnya sudah lapar. Hari ini dia belum makan sedikitpun dikarenakan rasanya untuk membuka mulut saja malas.
"Gimana ceritanya kalian bisa menikah?"
Echa menganggukkan kepalanya perlahan, "Ya karena udah takdir." Jawabnya dengan santai membuat Beca berdecak tapi tidak lagi meneruskan pertanyaannya karena tahu jika hal itu akan percuma.
"Stt suami Lo datang tuh," Beca menyenggol tangan Echa membuat wanita itu hanya mengangkat bahunya, kalau memang Pram datang memangnya dia harus apa.
Pram menarik kursi yang berada disamping Echa dan mendekatkan posisi duduk keduanya.
"Sudah makan?" Pram tahu jika istrinya itu belum makan apapun dari pagi. Sudah dipaksa beberapa kali pun Echa tetap menolaknya hingga akhirnya Pram mengalah.
Tapi tidak untuk kali ini, Pram harus memastikan jika ada makanan yang masuk kedalam perut istrinya.
"Ini makan puding," Echa menunjukkan piring didepannya yang sudah berkurang isinya.
"Mana kenyang kalau hanya itu baby." Protes Pram membuat Echa tersenyum kecil.
"Sebentar lagi acaranya udahan kan? nanti aja sekalian aku lagi pengen makan soto." Beritahu Echa membuat Pram menganggukkan kepalanya dan langsung berdiri meninggalkan Echa yang tidak ingin tahu akan kemana pria yang sudah berstatus sebagai suaminya itu pergi.
Tidak disangka-sangka jika Pram berbicara pada orang-orang jika acaranya telah selesai membuat Echa kelabakan.
Apa-apaan pria itu, bagaimana bisa berlaku tidak sopan seperti itu, meskipun mereka pemilik acara tapi tetap saja rasanya tidak sopan.
Hingga tidak lama kemudian orang-orang sudah menghilang menyisakan keduanya.
Jangan kalian bertanya tentang keluarga Echa, mereka datang tapi hanya saat akad nikah saja. Dan setelahnya mereka kembali menghilang tanpa berbicara apapun.
Tidak masalah, Echa senang mereka datang meskipun hanya sekedar memperlihatkan wajahnya saja.
"Mas kenapa tiba-tiba bubarin sih, padahal kan tinggal nunggu satu jam lagi." Echa memukul tangan Pram dengan gemas ketika pria itu berjalan kearahnya.
"Tidak apa-apa, mereka mengerti jika kita memerlukan waktu untuk berduaan." Ujar Pram dengan santainya membuat Echa menghela nafas pasrah.
Pram itu sungguh tidak bisa ditebak akan tindakan yang diambilnya.
"Ayo makan." Pram menarik tangan Echa perlahan dan menggenggam tangan itu dalam tautannya.
"Kenapa keluar mas, aku bisa masak dulu." Echa menahan kakinya ketika Pram akan membawanya keluar dari area rumah.
"Tidak perlu, saya sudah siapkan di restoran terdekat." Pram kembali meneruskan langkahnya membuat Echa yang tangannya masih digenggam mengikuti langkahnya.
...••••...