Alyssa tak pernah menyangka, kunjungannya ke rumah mertua justru menjadi momen paling menyakitkan dalam hidupnya. Di hadapan keluarga dan wanita lain yang ternyata calon istri baru sang suami, Reza, ia dijatuhi talak satu. Dalam hitungan menit, Alyssa resmi menjadi janda.
Alasan perceraian itu lebih menusuk lagi—Reza merasa Alyssa tidak lagi menarik karena tubuhnya yang membesar dan tak terawat. Padahal, di balik perubahan fisiknya, ada alasan yang sebenarnya adalah kesepakatan mereka berdua. Namun Reza menolak memahami. Ia tetap memilih pergi.
Kini, Alyssa harus menata hidup dari serpihan luka yang ditinggalkan. Mampukah ia bangkit dari keterpurukan dan menemukan kembali harga dirinya? Ikuti kisah perjuangan Alyssa dalam menghadapi kenyataan pahit dan menemukan jati dirinya yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saras Wati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 - Karena Kamu Gendut!
“Alyssa!”
Suara pria menggema di dalam rumah mewah yang luas dan dingin. Nada tinggi yang memanggil itu dipenuhi amarah yang nyaris tak tertahankan.
“Iya, Mas. Sabar sebentar,” jawab Alyssa dari arah dapur, suaranya lembut dan sedikit tergesa.
Namun kesabaran pria itu sudah habis. Ia bangkit dari sofa dan melangkah cepat menuju dapur. Dari jarak beberapa meter, tubuh sang istri sudah tampak. Baginya, tubuh berisi Alyssa terasa mengganggu. Besar. Penuh lemak. Menyebalkan untuk dipandang.
“Dipanggil bukannya datang malah enak-enakan di dapur!” hardiknya, tajam.
Alyssa langsung membalikkan badan. Wajah chubby-nya basah oleh keringat. Kulitnya kusam, penuh flek hitam. Namun di tengah semua itu, ia tetap tersenyum, tulus seperti biasanya.
“Maaf, Mas. Aku masih masak. Ada apa, ya?” tanyanya lembut.
Alyssa mencintai Reza sepenuh hati. Meski sering dihina, selama Reza tetap di sisinya, ia tak pernah mempermasalahkan perlakuan buruk suaminya. Bagi Alyssa, kesetiaan adalah segalanya.
“Kita ke rumah Mama hari ini. Satu jam lagi berangkat. Dandan yang bener! Jangan kayak penjual ikan di pasar!” Reza meludah kata-katanya dengan jijik sebelum pergi meninggalkan dapur.
Alyssa hanya mengangguk. Senyumnya tetap terukir, meski hatinya perih. Ia sudah terbiasa. Hinaan dari Reza tak lagi mengejutkan—ia bahkan meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah bentuk perhatian. Sebuah nasihat. Betapa naif.
Jika ada yang bertanya, kenapa masih bertahan? Jawabannya selalu sama: karena cinta.
Tiga tahun pernikahan mereka belum juga dikaruniai anak. Bukan karena tidak bisa hamil—Alyssa pernah mengandung, namun kehilangan janinnya karena kondisi tubuh yang lemah. Sejak itu, ia trauma dan memilih menggunakan KB sementara. Reza awalnya setuju. Tapi kini, semuanya berubah.
Selama setahun terakhir, berat badan Alyssa naik drastis. Dulu ia langsing, cantik, penuh pesona. Kini, semuanya seperti sirna. Daster menjadi pakaian andalannya, dan cermin jadi musuh diam-diam yang ia hindari.
Selesai memasak, Alyssa mandi, lalu menuju walk-in closet. Ia memilih dress maroon selutut yang dulu pernah membuat Reza memujinya. Dengan penuh harap, ia duduk di meja rias, merias wajah seadanya: cushion, alis, eyeliner, dan lipstik nude. Rambut panjangnya yang masih sama indahnya seperti dulu, dibiarkan tergerai.
Selesai berdandan, ia keluar kamar, menghampiri Reza yang duduk di ruang keluarga.
“Mas, aku udah siap,” ucap Alyssa sambil tersenyum kecil.
Reza hanya melirik sekilas, lalu berdiri dan berjalan mendahuluinya. Alyssa tetap mengikuti, namun langkahnya terhenti ketika ia memberanikan diri bertanya, “Mas, gimana penampilanku? Bagus, nggak?”
Reza menoleh dengan sinis. “Apa yang mau dinilai? Dress itu kayak daster kampung. Kamu jelek, dan akan tetap jelek, karena kamu gendut. Paham?”
Alyssa terdiam. Senyumnya runtuh seketika. Ia menatap kosong, menahan luka yang baru saja ditorehkan. Dengan napas tertahan, ia berjalan menyusul Reza keluar rumah.
Sepanjang perjalanan menuju rumah mertua, Reza tak mengajak bicara. Alyssa mencoba mencairkan suasana.
“Mas, Mama mau ngomong apa, ya, kira-kira?”
Reza menjawab dingin, “Bukan kita. Tapi kamu. Mama mau ngomong sama kamu. Nanti juga tahu sendiri. Sekarang diem. Jangan ganggu konsentrasiku.”
Alyssa hanya mengangguk, menatap keluar jendela, membiarkan pemandangan jalan ibu kota mengalihkan pikirannya yang mulai tak tenang.
Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di rumah keluarga Reza—rumah besar bercat putih, dikelilingi taman hijau yang rapi. Reza turun duluan tanpa menunggu. Alyssa mengejarnya, tertatih karena langkahnya yang lebih lambat.
Saat masuk ke ruang tamu, Alyssa melihat banyak orang sudah berkumpul. Adik-adik Reza ada di sana, dan seorang wanita muda cantik tengah berbincang hangat dengan ibu mertua Alyssa.
“Ma...” sapa Alyssa pelan.
Sang mertua menoleh dengan tatapan tajam, menelusuri tubuh Alyssa dari atas hingga bawah tanpa menyembunyikan rasa jijik.
“Cih, cocok jadi penjual daging di pasar,” gumamnya, cukup keras untuk terdengar.
Namun Alyssa tetap mendekat dan mencium tangan mertuanya, mencoba tetap hormat.
“Maaf ya, Ma. Alyssa jarang main ke sini. Mama sehat?”
Tak ada balasan ramah. Hanya tatapan dingin dan suara ketus.
“Sudah, nggak usah basa-basi. Nggak ada yang berharap kamu datang. Sekarang dengerin baik-baik,” ucap ibu Reza sambil memperbaiki posisi duduk.
“Alyssa, saya ingin Reza menikah lagi. Dia akan saya nikahkan dengan anak teman saya. Ini Clara.”
Wanita cantik di sebelahnya tersenyum. Alyssa mematung.
Jantungnya berdetak tak karuan. Tangannya gemetar. Dunia seperti berhenti berputar.
Benarkah yang ia dengar barusan?
Tubuh Alyssa terasa lemas. Dan untuk pertama kalinya... ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana.