Ghea yang sudah menikah selama tiga tahun dengan suaminya, dia tidak pernah mendapatkan sentuhan lembut dari suaminya karena sang suami sibuk dengan kekasihnya, hingga akhirnya dia harus terlibat dengan seorang playboy yang tak lain adalah adik iparnya sendiri.
Gairah keplayboyan Gibran seketika menghilang setelah bertemu Ghea, membuat dia ingin menjadikan Ghea sebagai miliknya.
Padahal sebelum menikah dengan Romi, Ghea lebih dulu dijodohkan dengan Gibran. Tapi Gibran menolak perjodohan itu tanpa ingin tau dulu siapa yang dijodohkan dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DF_14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mendaki Bedua #2
"Gibran, kenapa bengong? "
Kata itu mengagetkan Gibran. Gibran tersadar dari lamunannya. Rupanya yang tadi itu hanya khayalannya saja. Dia pikir dia benar-benar mencium Ghea, membuatnya jadi salah tingkah.
Ghea merebut botol minuman miliknya dari tangan Gibran dan memasukannya kembali ke dalam tas. "Dia itu sedang memikirkan apa?" gumamnya.
Gibran hanya nyengir sambil menggaruk kepala, menyesali kenapa itu semua terjadi dikhayalannya, bukan nyata.
"Kamu ini sedang melamunkan apa sampai tak berhenti melihatku?" Pertanyaan Ghea seolah sedang mengintrogasinya.
"Ah tidak melamunkan apa-apa kok," Gibran menggit bibirnya sendiri masih terbayang bagaimana romantisnya ciuman mereka itu di lamunannya. Dia mencoba mengalihkan pembicaraan, "Sepertinya kamu tidak pernah berolahraga sama sekali! Baru mendaki sebentar aja udah capek!"
Ghea sibuk memijat-mijat lembut kakinya yang mulus itu "Aku tidak punya waktu untuk berolahraga."
"Bukan tidak punya waktu, tapi tidak menyempatkan diri."
"Hmm ..." Ghea pasrah saja.
Gibran tersenyum dan sedikit mencondongkan badannya ke Ghea dan menatapnya dengan nakal "Lebih baik berolahraga bersamaku, aku jamin pasti akan menyenangkan... "
Wajah Ghea seketika langsung memerah. Tanpa ba bi bu Ghea memukul pundak Gibran.
BUUKKK!!
Gibran meringis kesakitan, "Kenapa memukul ku? Kalau tidak mau aku ajak ke tempat fitness ya sudah! Padahal aku tau tempat fitness yang menyenangkan, kamu bisa berolahraga sambil menonton film. " Gibran mengusap-usap pundaknya yang sakit akibat pukulan yang keras dari Ghea.
Ghea jadi malu, mengigit bibir bawahnya, ternyata dia salah pengertian.
Gibran tertawa geli, "Jangan-jangan kamu berpikiran yang tidak-tidak ya!" godanya.
"E-enggak... " Ghea jadi salah tingkah, "Kamu juga! Harusnya bicara yang jelas jangan setengah-setengah!
"Pembicaraan aku belum selesai, tapi kamu sudah main memukulku begitu saja!" Gibran terkekeh, "Aku tidak menyangka kamu berpikiran jorok tentangku. Oh ya ampun aku masih perjaka!" Gibran menyilangkan kedua tangan didadanya sendiri seolah-olah merasa ketakutan.
Ghea tak bisa lagi menahan rasa malunya, dia memilih pergi melanjutkan perjalanannya kembali. Gibran segera mengejarnya.
"Ghea, tunggu!"
Gibran berjalan setengah berlari mengejar Ghea. Akhirnya mereka berjalan beriringan lagi mengikuti jalan setapak.
"Jalan yang kita lalui cocok sekali dibuat syuting, jalannya aman, jalur yang kita lalu begitu landai, dan juga sepertinya banyak yang melewati jalan ini, apalagi pemandangannya sangat menarik." kata Ghea sambil ngosan-ngosan.
Gibran masih sibuk mengabadikan dulu jalur yang mereka lewati dengan sebuah rekaman video, terkadang dia mencuri-curi kesempatan untuk memvideo Ghea.
Ghea membungkukan badannya dan memegang kedua lututnya sambil ngosan-ngosan.
"Hahhh.. hh... aku capek!"
"Sebentar lagi nyampe puncak lho!"
"Tunggu sebentar lagi dong ih!" Ghea benar-benar merasa kelelahan.
"Orang-orang pasti pada menunggu kita di puncak, hhh... pasti mereka mikir ceo mereka ini sangat letoy."
Ghea mendeliki Gibran, "Ternyata kamu lebih mementingkan reputasimu?"
Gibran berbicara dengan bersungguh-sungguh "Tentu saja, aku harus selalu terlihat sempurna, karena itulah pesonaku."
"Tapi sayangnya di gunung ini tidak ada yang akan memperhatikan pesonamu itu, kamu mau tebar pesona ke siapa? Dedaunan?"
Gibran menatap mata Ghea dan mendekatkan jaraknya "Kan ada kamu!"
"Gak lucu!"
Gibran menjongkokan badannya, "Ini sudah sore. Cuacanya agak mendung, bahaya lho kalau sampai hujan, ayo naik!"
Ghea terkejut saat Gibran menawarkan diri untuk menggendongnya, dia langsung menggeleng, "Tidak! Ayo kita jalan lagi!"
Ghea memaksakan diri untuk berjalan lagi padahal kakinya sudah lemas dan sedikit tertatih-tatih, serasa kakinya mau lepas dari tubuhnya.
Gibran hanya menggeleng melihatnya, tanpa basa basi dia menggendong Ghea dengan posisi Bridal Style.
Heppp!!
Ghea terbelalak, dia sangat terkejut karena Gibran menggendongnya secara tiba-tiba, membuat jantungnya hampir mau copot, membiarkan badannya begitu dekat di dada yang bidang itu "Gibran lepaskan!" Ghea mencoba berontak.
"Jangan banyak bergerak, nanti kita jatuh tersungkur ke bawah!" kata Gibran sambil berjalan dengan sedikit cepat menuju puncak.
Perasaan Ghea berkecamuk, begitu sangat gugup, dia tidak ingin Gibran mendengar suara detak jantungnya yang berirama begitu hebat "Cepat lepaskan aku!"
"Kalau aku menunggu kamu berjalan seperti itu, bakal kelamaan. Yang ada kita nyampenya malam. Kamu mau bermalam disini bersamaku?"
Ghea membulatkan matanya saat mendengar itu, dia terpaksa diam. Walau hatinya sedang mendayu-dayu entah kemana.
Badan Ghea yang ramping membuatnya sama sekali tidak terasa berat di pangkuan Gibran. Malah dia berjalan dengan begitu tenang tanpa beban, raut wajahnya tampak santai, tak bergeming sedikit pun.
Sejujurnya bahu yang lebar itu membuat Ghea nyaman berada dipangkuannya sampai dia bergulat dengan hati dan pikirannya diri sendiri.
Ingin rasanya dia mengubah takdirnya berharap mereka bertemu dalam keadaan tanpa terikat dengan ikatan apapun dengan orang lain. Mungkin saja dia juga akan leluasa mengungkapnya seluruh perasaannya dengan ucapan dan bahas tubuhnya.
Gibran menurunkan Ghea setelah hampir sampai ke puncak dengan pelan.
Gibran mencoba mencairkan suasana dengan mengajak Ghea mengobrol lagi "Ngomong-ngomong orang tuamu tinggal dimana?"
"Aku..aku..aku tidak punya orang tua," Ghea malah jadi sedikit canggung.
Gibran mengernyitkan keningnya "Maksudnya?"
"Aku cuma ingat saat aku kecil aku sudah tinggal di panti asuhan milik kedua orang tuamu,"
"Hmm ternyata kamu tinggal disana, aku memang gak pernah ikut kesana lagi, cuma aku ingat saat aku berusia 5 tahun aku pernah kesana."
Ghea menghentikan langkahnya karena dia jadi teringat sesuatu, dia ingat saat dia sedang asik bermain sendirian tiba-tiba ada seorang anak laki-laki menghampirinya bersikap sok akrab dan ikut bermain dengannya.
"Apa mungkin kamu yang... " Ghea tidak meneruskan perkataannya, "Oh mungkin itu bukan kamu,"
"Yang apa? Mmm... apa jangan-jangan kamu yang bermain denganku waktu itu?" Gibran berseru sambil menujukan jari telunjuknya ke Ghea.
Ghea mengangguk, dia tersenyum tipis "Ternyata kamu tidak berubah masih bersikap sok akrab denganku!"
"Wah ternyata kisah kita seperti ada dalam sebuah film atau novel," Gibran tertawa juga, dia berbisik, "Apa jangan-jangan itu tandanya kita berjodoh?"
Ghea menghela nafas, mendeliki Gibran "Tidak mungkin, aku sudah bersuami!"
"Gampang! Tinggalkan saja kakakku dan berkencan denganku, bagaimana? Atau aku akan langsung menikahimu!" Gibran berbicara seperti itu dengan begitu enteng.
Ghea tak menanggapi candaan Gibran, dia meneruskan jalannya kembali. Gibran masih mengikutinya dari belakang.
"Aku akan menunggu jandamu, Ghea! Kamu harus jadi milikku!" teriak Gibran.
Ghea jadi salah tingkah dengan candaan Gibran itu "Sttt... berisik! Nanti kalau kedengeran orang bagaimana? Bercandamu gak lucu!"
Gibran pun terpaksa tutup mulut, dia hanya tersenyum manis menatap Ghea. Ghea selalu saja salah tingkah dibuatnya, seakan membawanya terbang bebas melayang jauh tak tentu arah.
Akhirnya mereka sampai dipuncak, ternyata semua karyawan sudah tiba disana dari tadi. Ghea langsung bereaksi saat melihat Arumi, "Arumi!" Ghea melambaikan tanggannya pada Arumi dan berlari menghampirinya.
"Wah aku tidak menyangka kamu bisa sampai juga ke puncak?" kata Arumi.
Gibran terdiam memperhatikan Ghea yang sedang mengobrol dengan Arumi, "Dia bersikap baik dan ramah pada orang lain, tapi selalu jutek denganku."
"Lu lama amat sih bro, kita sudah nunggu lama lho disini?" tanya Reno.
Semua yang ada disana menatap tajam pada Reno yang berbicara santai kepada Direkturnya itu. Reno tidak mengerti mengapa mereka menatapnya seperti itu.
Gibran menepak pundak Reno, dia tidak ingin kehilangan wibawanya didepan para anak buahnya itu, "Panggil aku Pak Gibran, Pak Gi-Bran!" Gibran menegaskan.
Reno berbisik "Hehehe... lupa gue! Siap Pak Gibran! "
Karena cuacanya agak mendung mereka menikmati sebentar suasana di puncak gunung itu, menghirup udara yang begitu segar, memanjakan mata dengan melihat keindahan di bawah sana. Merasakan spoi-spoi angin yang menyambut kedatangan mereka.
Tapi ternyata Gibran dan Reno lebih memilih memanjakan matanya dengan melihat yang lebih indah dari pemandangan itu, sama-sama memandangi wanita yang dicintainya.
"Nasib kita sama, cinta bertepuk sebelah tangan!" kata Reno sambil memandangi Arumi yang sedang berselfi bersama Ghea.
Begitu juga Gibran, untuk pertama kalinya dia melihat Ghea seceria ini "Sepertinya gue ketularan nasib sial lu, No."
...****************...
...Jangan lupa like, komen, vote dan beri hadiah yah kawan 🙏 😁...
...Dan terimakasih banyak buat yang sudah memberi itu semua, semakin membuat saya semangat! ...
...Mohon maaf belum bisa balas komen satu persatu, tapi saya selalu baca komen dari kalinya. ...
...Jangan lupa simak terus ke bab-bab berikutnya! ...