Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
•Sepahit Kopi Hitam•
Liam turun dari mobilnya dengan perlahan, langkahnya terasa berat saat dia mendekati bagian depan mobil yang kini ringsek akibat benturan. Cahaya siang hari yang terang memperlihatkan dengan jelas goresan dan penyok pada bempernya.
Ia menghela napas dalam-dalam, merasakan campuran antara lelah dan kesal menyusup di hatinya. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel dari saku celana, menghubungi bengkel untuk meminta bantuan.
"Ya, mobil saya butuh derek... saya akan kirimkan lokasinya," ujarnya singkat kepada petugas bengkel, menahan kekesalan yang tersisa.
Setelah menutup panggilan, Liam menarik napas panjang lagi, seakan mencari ketenangan yang sulit ia temukan. Setelah mengirim lokasi, Ia membuka aplikasi transportasi daring, memesan taksi menuju sebuah kafe yang sering ia kunjungi ketika ingin menenangkan diri.
Setelah menunggu beberapa menit, taksi pun tiba. Liam masuk tanpa banyak kata, memilih duduk diam sambil memandang keluar jendela, membiarkan angin siang berhembus pelan melalui celah jendela taksi yang terbuka sedikit.
...~~~...
...•Maison de Luxe•...
Taxi berhenti, Liam segera membayar dan turun. Ia melangkah tegas dan masuk ke dalam cafe mewah nan elegan. Meja dekat jendela adalah pilihannya, ia lalu duduk dan memanggil pelayan, mulai memesan minuman.
Tak lama minumannya datang, dengan gerakan pelan Liam mengangkat cangkir dan meneguknya.
Liam hampir tidak menyadari betapa lelah dan mabuk pikirannya, ia terhuyung di antara kecemasan, amarah, dan rasa sakit yang terus mengusik.
Seteguk kopi hitam itu tak banyak membantu, kegetiran rasanya justru mengingatkan pada perasaan-perasaan yang selama ini ia coba pendam. Kepalanya berat, dan pandangannya sedikit kabur, ia menyandarkan bahu, wajahnya menengadah memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya.
Tak lama kemudian, seorang pria dengan senyum lebar muncul di hadapannya.
"Liam? Lama sekali tak bertemu," suara itu menyapa dengan kehangatan yang familier. Liam membuka mata dan mendapati wajah sahabat lamanya, Raka, berdiri dengan tangan terulur.
"Raka… wow, lama sekali," balas Liam, bibirnya membentuk senyum tipis. Dia mengangguk pelan saat Raka meminta izin untuk duduk di depannya, dan Liam pun dengan senang hati mengangguk.
Raka duduk dengan santai, tetapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan keprihatinan ketika melihat kondisi Liam yang terlihat lebih letih dan kusut dibanding yang ia bayangkan.
"Jadi, bagaimana kabarmu sebenarnya, Li? Sudah lama kita tidak ngobrol seperti ini," tanya Raka.
Liam mengangkat bahunya, lalu menghela napas panjang.
"Aku… ya begitulah, hidup ini sulit. Terlalu banyak yang harus ditanggung," jawabnya lirih, menghindari tatapan Raka.
Raka menatapnya dalam-dalam, lalu berkata dengan nada yang lebih pelan,
"Aku tahu, Li. Sejak dulu, kau selalu begitu, terlalu keras pada dirimu sendiri. Aku dengar masalah yang sedang kau hadapi belakangan ini cukup berat, apalagi soal spekulasi hubunganmu dan Alina."
Liam menunduk, memandang cangkir kopinya dengan kosong. Rasa pahit di lidahnya seakan mencerminkan isi hatinya.
"Aku... mungkin memang selalu salah. Kau tahu, Raka, aku sering merasa kalau aku ini hanya berputar-putar di dalam lingkaran trauma yang tidak pernah selesai."
Raka mengangguk penuh pengertian.
"Dan kenapa kau bilang begitu? Kau tahu aku selalu bersedia untuk mendengar," ujar Raka, mendorong Liam agar lebih terbuka.
Liam menarik napas dalam, matanya tampak sayu dan lelah.
"Aku... aku selalu merasa kalau wanita-wanita yang aku cintai hanya memanfaatkanku, hanya ingin sesuatu dariku. Setiap kali aku membuka hati, mereka menghancurkannya. Aku pernah hampir... hancur karenanya. Satu wanita, Raka, aku mencintainya, tapi dia meninggalkanku untuk mantan kekasihnya, bahkan hamil oleh pria itu. Setelahnya, setiap kali aku mencoba tulus pada wanita lain, mereka… mereka semua sama saja."
Raka menatapnya dengan prihatin, memahami betapa luka itu masih menganga dalam hati sahabatnya.
"Itu berat, Li. Aku tak bisa membayangkan betapa sulitnya itu buatmu."
Liam mengangguk pelan, menggigit bibirnya seolah menahan perih.
"Itulah kenapa aku tak bisa mempercayai Alina, atau siapa pun. Setiap kali aku mencoba, rasa takut itu menghantui. Aku takut jika akhirnya semua hanya akan membuatku terluka lagi."
Raka menghela napas, lalu menggenggam tangan Liam dengan erat.
"Dengar, Li, aku tahu semua ini terasa sulit dan membingungkan. Tapi… kadang, hanya dengan memberi diri kita kesempatan untuk percaya lagi, kita bisa benar-benar terbebas dari masa lalu. Mungkin Alina bukan seperti mereka yang lain."
Liam terdiam, menatap sahabatnya dengan sorot mata ragu. Ada ketakutan yang mengakar, menghalangi setiap upaya untuk percaya pada orang lain, bahkan pada Alina. Tapi di balik itu, terselip keinginan untuk merasakan cinta yang tulus dan mendalam, tanpa rasa takut dan keraguan.
"Entahlah," Liam akhirnya berkata, suaranya hampir berbisik.
"Aku tak tahu apakah aku sanggup. Kadang aku berpikir… mungkin lebih baik aku tetap sendiri, aman dalam jarak dan tembok yang kubangun ini."
Raka menghela napas dalam, lalu menatapnya dengan penuh empati.
"Liam, kau tahu aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Tapi, coba pikirkan ini, apa hidup seperti itu yang benar-benar kau inginkan? Apa kau benar-benar bahagia dengan tembok yang kau bangun?"
Liam hanya bisa diam dan menggeleng lalu merenungi pertanyaan itu dalam hati.
...~~~...
Alina duduk berselonjor di atas sofa, kembali tenggelam dalam suasana tenang membaca bukunya.
Dan ketika terdengar suara bell berbunyi, Ia bangkit perlahan, merasa sedikit terganggu karena tidak mengharapkan tamu pada saat ini.
Alina membuka pintu, ia terpaku sejenak. Di hadapannya berdiri seorang wanita berambut blonde sebahu, mengenakan pakaian modis dengan sentuhan glamor. Mata Alina terbelalak ketika akhirnya ia mengenali sosok itu, sosok sepupunya yang lama tinggal di luar negri.
"Clara?" serunya dengan nada terkejut.
“Alina! Ya ampun, sudah lama tak bertemu, aku merindukanmu, Al" Clara membalas dengan suara ceria, membuka lengannya lebar untuk memeluk sepupunya.
Mereka pun berpelukan erat, sebuah reuni yang lama tertunda di antara keduanya. Setelah melepaskan pelukan, Alina mempersilakan Clara masuk ke dalam rumah, mempersilakannya duduk di ruang tamu.
"Kau tidak pernah bilang kau akan datang!" kata Alina dengan mata berbinar, sedikit heran tapi bahagia melihat Clara.
"Memang rencana dadakan," jawab Clara sambil tertawa kecil.
"Aku hanya merasa perlu mengunjungimu. Apalagi setelah mendengar kabar-kabar yang beredar tentang… kehidupan barumu."
Alina tersenyum tipis, meski ada sedikit kekhawatiran di matanya.
"Ah, begitu, ya? Memang akhir-akhir ini banyak yang terjadi. Tapi, kau tak usah khawatir. Aku baik-baik saja," katanya, mencoba menutupi kekalutannya.
Clara meraih tangan Alina, menatapnya dengan wajah simpatik.
"Aku turut prihatin mendengar apa yang kau alami. Aku tahu menikah bukanlah hal yang mudah, apalagi dengan pria seperti… Liam."
Alina tersenyum lemah, sedikit tersentuh oleh perhatian sepupunya.
"Terima kasih, Clara. Kadang… memang terasa berat, tapi aku masih berusaha."
Clara mengangguk penuh pengertian, lalu memandang sekeliling ruangan, tampak menilai setiap detail kecil yang ada. Setelah beberapa saat, ia kembali menatap Alina dengan senyum yang sedikit berbeda, ada kesan penasaran di matanya.
"Oh ya," Clara berkata, mencoba terdengar santai.
"Ngomong-ngomong, di mana suamimu? Liam ada di rumah, kan?"
Alina menangkap nada tertentu dalam pertanyaan Clara. Entah kenapa, instingnya memberi isyarat untuk berhati-hati.
"Oh, Liam sedang keluar. Ada urusan yang harus ia selesaikan. Jadi, aku sendirian di rumah saat ini." jawab Alina dengan senyum senang.
Sesaat Clara terlihat kecewa, meski berusaha menyembunyikannya.
"Oh, begitu…" gumamnya,
"Sayang sekali, aku ingin bertemu dengannya. Aku sudah lama tidak berjumpa dengan pria yang begitu… menarik sepertinya."
Alina mengerutkan dahi, merasa curiga dan penasaran, apa sepupunya ini pernah bertemu Liam sebelumnya? Ia lalu tersenyum tipis, matanya mengawasi Clara dengan teliti.
"Dia memang sosok yang menarik, tapi mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu," katanya dengan nada yang tak sepenuhnya hangat.
"Bagaimana denganmu, Clara? Ada cerita baru dalam hidupmu?"
Clara tertawa kecil, menatap Alina dengan penuh antusias. Mereka pun melanjutkan obrolan hangat itu, meskipun di balik percakapan mereka, Alina tetap waspada pada maksud tersembunyi yang seolah tersirat di balik setiap ucapan Clara.
ayo la firaun, ad yg halal gk usah lgi mikiri msa lalu yg gitu2 az. mncoba mengenal alina psti sangt menyenangkn krna dy wanita yg cerdas. semakin k sini alina akn mnunjukn sikp humoris ny dn liam akn mnunjukkn sikap lembut walau pn msih datar.
haaa, liam dengar tu ap kta raka. smga raka, kau memg sahabt yg tulus y raka. cuci trus otak liam biar dia meroboh degn sendiriny benteng tinggi yg ud dy bangun.
doble up kk😄
gitu dong alina, gk usah sikit2 nangis
sok cuek, sok perhatian. liam liam, awas kau y 😏
lanjut thor.