Arumi harus menelan kekecewaan setelah mendapati kabar yang disampaikan oleh Narendra, sepupu jauh calon suaminya, bahwa Vino tidak dapat melangsungkan pernikahan dengannya tanpa alasan yang jelas.
Dimas, sang ayah yang tidak ingin menanggung malu atas batalnya pernikahan putrinya, meminta Narendra, selaku keluarga dari pihak Vino untuk bertanggung jawab dengan menikahi Arumi setelah memastikan pria itu tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun.
Arumi dan Narendra tentu menolak, tetapi Dimas tetap pada pendiriannya untuk menikahkan keduanya hingga pernikahan yang tidak diinginkan pun terjadi.
Akankah kisah rumah tangga tanpa cinta antara Arumi dan Narendra berakhir bahagia atau justru sebaliknya?
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada calon suami Arumi hingga membatalkan pernikahan secara sepihak?
Penasaran kisah selanjutnya?
yuk, ikuti terus ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadya Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30
“Boleh saya tahu bukti apa saja yang mas Satria dan suami saya miliki?” tanya Arumi dengan ragu.
Pertanyaan itu mewakili ketiga orang yang juga turut penasaran, tetapi ragu untuk bertanya sebab khawatir hal itu terlalu sensitif.
Satria memandang Arumi dengan intens. “Boleh, tapi kalau saya boleh saran, lebih baik Anda melihatnya terlebih dulu dan barulah nanti yang lainnya, sebab saya khawatir Anda kurang setuju.”
Arumi mengangguk, meminta izin kepada kedua mertuanya untuk menepi bersama Satria. Tidak jauh, hanya saja sedikit berjarak agar Satria bisa leluasa memberi tahu Arumi.
Awalnya Arumi terlihat biasa saja, meneliti setiap bukti berupa foto yang diperlihatkan oleh Satria. Di sana beberapa kali Vino tertangkap CCTV tengah memantau tempat kerja Arumi dan juga pertemuan antara keduanya yang membuat Arumi menjadi risi pada Vino sebab pria itu terus menerus menemui dirinya. Namun, perubahan ekspresi wajah wanita itu kentara sekali ketika bertemu dengan satu foto yang di mana diambil ketika dirinya pulang terlambat dan tiba-tiba kembali menjumpai pria itu. Ingatan Arumi seakan ditarik ke waktu itu.
Hari itu adalah hari ketiga setelah Vino menyatakan perasaannya, tetapi berujung ditolak oleh Arumi. Arumi yang masih betah sendiri tidak ingin memasukkan pria manapun untuk mengisi hari-harinya terlebih pria itu tidak ia kenal sama sekali.
Awalnya Arumi menganggap Vino hanyalah pria iseng yang mencoba menggodanya seperti beberapa pria yang pernah ia jumpai. Namun, ternyata Vino tidak berhenti setelah ditolak, pria itu justru lebih nekat lagi dari sebelumnya.
Terakhir yang Arumi ingat ketika malam itu bertemu dengan Vino, pria itu menghentikan langkah kakinya dan menyemprotkan sesuatu ke depan wajahnya secara mendadak, membuat Arumi yang kala itu tidak bisa menghindarinya dan berujung ia kehilangan kesadaran.
Foto terakhir yang diperlihatkan oleh Satria yaitu ketika Vino membopong Arumi dan membawanya ke sebuah mobil yang tidak jauh dari tempat mereka.
Satria sengaja tidak memperlihatkan video terakhir yang ia dapatkan karena khawatir bosnya akan marah besar padanya sebab itu memang masih menjadi rahasia untuk keduanya.
“Jadi kita akan melaporkan tindakan Vino yang pernah menculikku?” tanya Arumi pelan.
“Benar, dan juga alasan pria itu melakukan semuanya,” tandas Satria.
Akhirnya Arumi memperbolehkan Satria memberitahu mertua serta iparnya mengenai tindakan Vino pada dirinya. Ekspresi wajah mereka tidak terlalu jauh dengan Arumi setelah melihat foto berikut rekaman CCTV. Awalnya mereka biasa saja, tetapi kemudian berubah menjadi terkejut setelah Vino membius dan membawa Arumi yang sedang tidak sadarkan diri.
“Jadi, sebenarnya Vino tidak benar-benar ingin mendekati Nona Arumi, melainkan karena taruhan dengan teman-temannya.” Satria juga memperlihatkan video pengakuan Vino ketika dirinya berhasil mendapatkan mobil sport dari teman-temannya.
Semakin tersayat lah hati Arumi ketika mendapatkan kebenaran yang selama ini ia pertanyakan.
Dewi merengkuh dan mengusap pelan lengan Arumi dari samping. “Sudah, jangan diingat-ingat lagi.”
“Arumi masih nggak nyangka, Ma. Apa salah Arumi sampai mereka tega sama Arumi. Arumi nggak kenal sama mereka, bukankah hal wajar kalau Arumi langsung menghindar dan menolak mereka semua,” ungkap Arumi dengan terisak.
“Kamu tenang, ya, Sayang. Biarkan setelah ini suamimu yang bertindak,” ucap Dewi.
Semua larut dalam duka lara Arumi. Tidak ada yang menyangka, jika kejadian kecil atas penolakan Arumi, bisa berubah menjadi hal yang sangat fatal seperti ini.
Arumi wanita polos yang tidak pernah berpacaran, ia hanya ingin selalu fokus pada keluarganya agar mereka bisa hidup berkecukupan. Namun, wanita itu tidak menyangka, jika sikapnya yang demikian membuat orang lain menjadi benci dan dendam pada dirinya.
***
Dimas, Tari, dan Ari, kini tengah dalam perjalanan menuju rumah besan mereka. Di jalan, Tari tidak henti-hentinya bergumam agar mereka segera sampai di rumah sang besan.
“Sudah, lah, Bu. Kamu ini kenapa, sih, kok, gelisah begitu?” tanya Dimas menatap malas istrinya yang sedari tadi sibuk berkomentar dengan jalanan yang sedang macet-macetnya.
“Ibu pengen cepet-cepet sampai, Yah. Entah kenapa perasaan ibu dari semalam nggak enak terus,” ungkap Tari.
Tatapannya tampak celingukan, melihat banyaknya kendaraan yang saling menunggu untuk melaju.
“Ibu ini ada-ada saja. Kak Arumi pasti baik-baik saja, Bu, kan di sana juga ada kak Naren yang bakalan melindungi kak Arumi. Mungkin Ibu gelisah karena nggak sabar pengen berkunjung ke rumah besan,” pungkas Ari.
“Begitu, ya, Ar. Tapi hati ibu–”
“Tenang, Bu. Setelah ini kita sampai,” pungkas Dimas memotong ucapan istrinya.
Tari akhirnya pasrah akan perasaannya. Tidak peduli seberapa besar kekhawatirannya, tetapi wanita itu hanya bisa terdiam karena tidak memiliki kuasa untuk meminta sopir agar melaju cepat menyusuri jalanan yang cukup ramai siang ini. Wanita itu hanya berharap semoga angkot yang mereka naiki bisa segera sampai di rumah besan mereka.
Selang lima menit kemudian, angkot yang mereka tumpangi berhenti di sebuah gerbang masuk area perumahan kelas atas yang sangat besar dan mewah. Ketiga orang itu turun kemudian membayar angkot yang mereka naiki.
“Bener mereka tinggal di sini, Yah?” tanya Tari pada sang suami.
Dimas kembali mencocokkan alamat yang tertera di dalam pesan yang pernah dikirimkan oleh Bagas. Pria itu mengangguk lantas mengajak anak serta istrinya untuk menghampiri pos satpam yang ada di sana.
“Kalau dari alamat yang dikirim Pak Bagas, sih, bener, Bu. Ayo, kita ke pos satpam dulu.”
Selesai bertanya kepada satpam, mereka segera kembali melanjutkan perjalanan dengan menggunakan ojek sebab jalan menuju ke rumah besannya masih terlalu jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki.
Tiba di rumah dengan alamat yang sama, mereka kembali dibuat melongo sebab rumah itu terlihat sangat besar. Tari bahkan sampai menggelengkan kepalanya.
“Gini, kok, dibilang gubuk, ya, Yah,” kelakar Tari disambut kekehan sang suami dan Ari.
“Mungkin ini gubuknya orang kaya, Bu,” celetuk Ari.
Setelah puas mengagumi rumah mewah itu, dengan segera Tari mengajak mereka untuk segera masuk karena sudah tidak sabar untuk bertemu dengan besan mereka.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam, maaf, cari siapa, ya?” Bi Eni—asisten rumah tangga—yang baru saja membuang sampah di depan lewat pintu samping tidak sengaja melihat mereka bertiga kemudian segera menghampirinya.
“Kami mencari besan, Bu. Pak Bagas,” jawab Tari.
“Oh, Tuan Bagas, mari silakan masuk, kebetulan beliau ada di rumah,” ucap Bi Eni sembari mempersilakan tamu majikannya masuk ke rumah.
Ketiga orang itu lantas masuk setelah Bi Eni membukakan pintu utama. Dimas dan Tari saling berpandangan ketika melihat putrinya menangis dipelukan mertuanya. Perasaan mereka bercampur menjadi satu, terlebih Tari yang sebelumnya memang memiliki firasat tidak enak di hatinya.
“Ya, ampun, Arumi … kamu kenapa nangis, Nak?” Tari bergegas menghampiri mereka yang masih berada di ruang tamu, bahkan wanita itu sampai lupa mengucapkan salam untuk semuanya.
“Ayah, Ibu?” Arumi kaget ketika melihat kedatangan keluarganya, wanita itu segera mengusap kasar wajahnya yang basah kemudian beranjak menghampiri mereka bertiga.
“Besan, ada apa ini? Kenapa Arumi?” tanya Dimas khawatir.
“Besan, mari silakan duduk dulu,” ucap Bagas.
Dimas, Tari, dan Ari pun menurut, setelah bi Eni kembali dengan menghidangkan minuman serta kudapannya, Bagas pun mulai bercerita. Ia menceritakan mulai awal kejadian hingga saat ini, dan alasan mengapa Arumi bisa sampai menangis sesenggukan seperti sekarang.
“Jadi begitu, ya, Besan. Lalu mantu kita bagaimana?” tanya Dimas.
“Kami akan membebaskan Naren dan juga melaporkan tindakan Vino ke polisi!” jawab Bagas mantap.