🏆 Juara 3 YAAW 2024 Periode 2🏆
"Permisi Mas, kalau lagi nggak sibuk, mau jadi pacarku?"
———
Daliya Chandana sudah lama memendam rasa pada sahabatnya, Kevin, selama sepuluh tahun. Sayangnya, Kevin tak menyadari itu dan malah berpacaran dengan Silvi, teman semasa kuliah yang juga musuh bebuyutan Daliya. Silvi yang tidak menyukai kedekatan Daliya dengan Kevin mengajaknya taruhan. Jika Daliya bisa membawa pacarnya saat reuni, ia akan mencium kaki Daliya. Sementara kalau tidak bisa, Daliya harus jadian dengan Rio, mantan pacar Silvi yang masih mengejarnya sampai sekarang. Daliya yang merasa harga dirinya tertantang akhirnya setuju, dan secara random meminta seorang laki-laki tampan menjadi pacarnya. Tak disangka, lelaki yang ia pilih ternyata seorang Direktur baru di perusahaan tempatnya bekerja, Narendra Admaja. Bagaimana kelanjutan kisah mereka?Akankah Daliya berhasil memenangkan taruhan dengan Silvi? Atau malah terjebak dalam cinta segitiga yang lebih rumit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Good Night Babe
Daliya mematut wajahnya di depan cermin toilet kantor. Ia mengusapkan lipstik pada bibirnya agar memberi kesan lebih segar. Tak lupa, Daliya juga mengaplikasikan bedak padat agar minyak-minyak di wajahnya menghilang.
Sebenarnya, merias wajah saat akan pulang kantor bukan hal yang lazim bagi Daliya. Biasanya, Daliya tidak akan peduli seperti apa rupanya setelah keluar dari gedung kantor. Meskipun nantinya ia akan bertemu banyak orang di bus, Daliya tetap cuek-cuek saja. Tapi, hari ini bukan hari yang biasanya. Karena Ren berkata akan mengantarkannya pulang.
"Apa aku berlebihan, ya?" Daliya berpikir sejenak. "Nanti Ren jadi kepedean lagi,"
Daliya beranjak mengambil tisu dari dalam tas dan mulai menghilangkan jejak lipstik di bibirnya. Setelah rona merah itu hilang, ia mengoleskannya lagi, tapi kali ini lebih tipis. Sehingga kalau orang melihat sekilas akan mengira bibirnya merah alami.
"Oke, sempurna," Daliya merapikan ujung kemejanya yang terlipat, kemudian ia keluar dari toilet dengan sikap tenang. Dia tak boleh kelihatan menggebu-gebu menunggu Ren, dia sudah bertekad untuk bersikap jual mahal sebelum memastikan perasaan Ren benar-benar tulus padanya.
Saat langkahnya sampai di pintu utama gedung, Daliya bisa melihat Ren yang berdiri bersandar pada mobilnya. Lelaki itu tampak fokus melihat ponsel dan tidak menyadari kehadiran Daliya. Daliya memilih untuk diam saja sampai lelaki itu sadar sendiri. Seperti janjinya, ia akan bersikap jual mahal pada lelaki itu.
Baru beberapa detik dirinya berdiri di depan pintu masuk, ponselnya berbunyi nyaring. Daliya yang sedang melamun menjadi kaget dan buru-buru mengambil benda pipih itu. Daliya mengernyitkan dahi melihat nama si penelepon.
Ren.
"Halo?" Daliya mengangkatnya ragu-ragu.
"Oh, ternyata masih di sini," terdengar tawa renyah Ren dari seberang telepon. Ia melambaikan tangannya pada Daliya. "Aku kira kamu lupa dan sudah pulang duluan,"
Daliya masih menempelkan ponselnya pada telinga. "Mana mungkin aku lupa? Kamu sudah kirim pesan yang sama sepuluh kali. Handphone ku jadi berisik. Lama-lama aku blokir nomor kamu,"
"Yah, jangan dong," Ren terkekeh, ia merentangkan tangannya untuk menyambut Daliya. Sepertinya dia minta dipeluk. "Tapi, nggak apa-apa sih. Mau kamu blokir pun, aku masih punya seribu satu cara untuk menghubungi kamu,"
"Cih," decak Daliya, kemudian ia mematikan sambungan telepon dan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia berhenti melangkah tepat di depan Ren yang masih merentangkan tangannya, membuat lelaki itu mengerucutkan bibir.
"Peluk dikit masa nggak boleh?"
"Ini masih di area kantor Ren, mau bilang apa sama Pak Satpam?"
"Bilang aja kita pacaran," Ren menjawab enteng, tapi ia segera mengaduh kesakitan karena Daliya mencubit pinggangnya. "Sekarang kan sudah tidak ada orang di kantor. Kamu sendiri yang bilang kalau mau pulang bareng nungguin yang lain pulang dulu," Ren mengeluh sambil membukakan pintu mobilnya untuk Daliya.
"Tentu saja. Aku nggak mau ada gosip-gosip lagi tentang diriku," Daliya masuk ke dalam mobil, menempati kursi di sebelah pengemudi. Ia melanjutkan perkataannya setelah Ren duduk di sebelahnya. "Kamu tahu sendiri kan, aku nggak ngapa-ngapain aja difitnah ada main sama Kepala HRD. Apalagi kalau mereka tahu aku deket sama kamu? Wah, bisa-bisa semua kerja kerasku selama ini dianggap karena privilege semata,"
"Cuekin aja orang begitu," Ren menghidupkan mesin mobilnya dan menginjak gas. "Yang penting kan ada aku dan orang-orang yang tahu tentang kamu yang sebenarnya,"
"Tetap saja," Daliya mengalihkan pandangannya pada pemandangan di luar mobil. "Aku nggak bisa. Aku niat kerja di Jakarta untuk mengadu nasib, jadi bisa dibilang kualitasku adalah sumber uangku. Kalau nama baikku rusak, bisa hancur semuanya,"
"Hm," Ren mengangguk paham. Ia melirik sekilas pada Daliya sambil berdecak kagum. "Kamu itu memang calon istri idaman,"
"Astaga, Ren...," Daliya menghela napas panjang. Hanya mendengar ucapan itu dari Ren saja langsung membuatnya jantungnya bereaksi. "Jangan suka bercanda gitu,"
Karena jantungku nggak kuat deg-degan terus, tambah Daliya di dalam hati.
"Kamu masih menganggap ucapanku itu bercanda?" Ren bertanya dengan nada heran. "Aku serius loh mau menjadikan kamu calon istriku,"
"Ren," Daliya menatap Ren sungguh-sungguh. "Kita sudah bicarakan ini sebelumnya. Aku merasa semuanya terlalu cepat,"
"Astaga," Ren membuang napas berat. "Aku kira aku sudah hampir bisa mendapatkan kamu, tapi ternyata perjalananku masih jauh,"
Daliya menghela napas panjang. Mau bagaimana lagi, Daliya tidak mau mempercayai ucapan Ren begitu saja. Dia harus memastikan dulu kalau laki-laki itu tidak sedang main-main dengannya.
"Sampai," Ren baru membuka suara lagi setelah mobilnya berhenti di depan kostan Daliya. "Besok aku jemput ya?"
"Eh, jangan," tolak Daliya cepat. "Nanti orang-orang kantor bisa tahu,"
"Ya kita berangkatnya lebih pagi dong," protes Ren tetap keukeuh.
"Nggak Ren," Daliya menggeleng tegas. "Resikonya terlalu besar,"
"Oke deh," Ren memanyunkan bibir. "Susah banget ya ngebujuk kamu,"
"Sorry," Daliya tersenyum menyesal, kemudian ia keluar dari mobil itu. Ren menurunkan kaca jendela mobilnya dan melambaikan tangan pada Daliya.
"Good night, sayang,"
"Astaga...," Daliya menghela napas panjang. Dia sudah menyerah berdebat dengan lelaki itu.
Sepeninggal Ren, Daliya melangkah masuk ke kamarnya. Ia bergegas mandi dan berganti baju santai. Kakinya terasa pegal karena memakai heels seharian.
Ting! Ting! Ting! Ting! Ting! Ting!
Terdengar runtutan notifikasi pesan masuk dari ponselnya. Daliya menyambar benda pipih itu dari atas kasur dan melihat siapa yang mengirimkan pesan sebanyak itu.
Pak Narendra
G
O
O
D
N
I
G
H
T
B
A
B
E
❤
"Ya ampun, apa sih?" Daliya tertawa cekikikan. "Kekanak-kanakan banget!" Daliya mengetik pesan balasan dengan cepat.
^^^Daliya^^^
^^^Good night, Pak Direktur 🙏^^^
Tak berselang lama, muncul pesan balasan dari Ren.
Pak Narendra
😡
"Hahahaha!" Daliya tertawa terbahak-bahak, tapi dengan segera ia menutup mulutnya, tersadar kalau mungkin saja suaranya mengganggu penghuni lain. Meski begitu, Daliya tidak bisa menyembunyikan senyumnya.
Aduh, bagaimana ini? Sepertinya Daliya jatuh cinta!
"Udah, udah, stop Daliya. Sekarang tidur, besok ada meeting penting," Daliya mensugesti dirinya sendiri. Soalnya, kalau tidak begitu, bisa-bisa Daliya tidak akan bisa tidur semalaman!
Esoknya, Daliya keluar dari kamarnya dengan terburu-buru karena tetangga kamarnya berkata:
"Mbak Daliya, ada yang nunggu tuh di luar,"
Daliya sudah gugup sekali, karena ia mengira yang menjemput adalah Ren. Dia sudah hampir mengomeli Ren yang tidak mengindahkan ucapannya semalam. Tapi saat sampai di depan gerbang, langkahnya terhenti melihat siapa yang datang.
"Hai," Kevin melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. "Yuk, hari ini aku mau anter kamu ke kantor,"
🙏🫶🫶🫶
punya dendam kah sama Ren
Dali ya 🌹
kocak🌹