Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Post Power Syndrome
Alfi menghela nafas lega, pria itu menghampiri Aghnia yang berjongkok tak jauh darinya.
"Mbak nggak papakan?" Alfi menepuk pundak Aghnia.
Gadis itu mendongak, terkejut mendapati Alfi di depannya.
"Pak Alfi"
"Aghnia"
Ucap mereka bersamaan.
"Kamu, sedang apa disini?" Tanya Alfi memandang penampilan Aghnia yang berantakan.
Aghnia menggeleng, ia berdiri merapikan rambut panjangnya yang berantakan.
"Trimakasih sudah membantu" ucap Aghnia seraya menunduk enggan menatap wajah Alfi.
"Ayo saya antar pulang" ajak Alfi.
"Nggak perlu, saya bisa pulang sendiri" tolak Aghnia, gadis itu berjalan menjauhi Alfi.
Alfi menyugar rambutnya, menghela nafas kasar, ia mengikuti setiap langkah mahasiswi bimbingannya itu.
"Pak Alfi nggak perlu ikutin saya, saya bisa pulang sendiri" teriak Aghnia tanpa membalikkan badannya.
Alfi pun berjalan mendahului dan menghadang Aghnia, matanya menatap Aghnia dengan tajam.
"Baiklah! Aku tak akan peduli jika sampai preman itu menghampirimu lagi. Pilih lah, kuantarkan pulang sampai ke rumahmu atau kamu mau dibuat mainan para preman dan dibuang begitu saja ke jurang", tawar Alfi, menunggu sejenak lantas berlalu meninggalkan Aghnia ke arah mobilnya tanpa sepatah pun kata.
"Bangsat!", umpat Aghnia melihat tingkah Alfi yang menyebalkan. Ia ingin dibujuk, dimengerti, dan dilindungi, bukan ditolong dan ditelantarkan seperti ini.
Mobil Alfi keluar dari area parkir dan menghampiri Aghnia.
"Sudah memilih?", tanya Alfi yang membuka jendela tanpa keluar dari mobil. Aghnia masih tertegun melihat tingkah penolongnya yang tengil ini.
"Ya sudah", ujar Alfi yang menutup kaca mobil dan mulai melaju pelan.
"Hei! Gila!", Aghnia menggebrak mobil Alfi karena merasa belum diberi kesempatan bicara sudah ditinggalkan.
Gadis itu pun membuka pintu samping belakang kemudi dan duduk bersedekap. Alfi tak berkomentar sedikit pun dan melajukan mobilnya. Sepanjang perjalanan mereka tidak berbincang sama sekali, hingga tiba di depan gerbang kampus.
"Kamu tinggal di alamat mana?", singkat Alfi.
"Ngga usah, saya turun di sini. Saya bisa jalan sendiri. Terimakasih ", ujar Aghnia lantas turun dan bergegas pergi tanpa menoleh ke belakang. Alfi memperhatikan gadis itu lantas menggeleng dan melajukan mobilnya ke rumah.
Keesokan pagi, Aghnia datang menjumpai Alfi di ruang dosen. Saat hendak bicara, Alfi mengangkat tangannya agar Aghnia tidak bicara. Pria itu merapikan laptopnya dan berkemas.
"Kamu ikut saya", ujar Alfi lantas melangkah meninggalkan ruang dosen. Aghnia merasa heran, namun tetap berjalan membuntutinya.
"Apa monster ini marah kepadaku karena semalam? Tapi kan memang dia layak diperlakukan seperti itu?", batin Aghnia, kesal dengan perlakuan Alfi. Namun hati kecilnya mulai tertarik kepada Alfi yang jelas telah menyelamatkan dirinya semalam.
Mereka pun tiba di kantin kampus dan Alfi memesan minuman, lantas membawanya ke galeri.
"Mana hasilmu?", ujar Alfi, wajahnya tak peduli dengan apapun yang terjadi tadi malam kepada Aghnia. Gadis itu pun menyerahkan belasan lembar kertas kepada Alfi.
"Ini, questionnaire kamu sebagian salah. Karena kamu sudah mengambil sebagian data, maka kamu harus mengulanginya setelah membenahi questionnaire", koreksi Alfi seraya mencorat coret laporan Aghnia.
"Mulai dari awal?", protes Aghnia yang merasa sudah bersusah payah meluangkan waktu, tenaga, dan biaya, bahkan dia malah dicabuli Malik yang sudah ia percaya dan cinta.
"Apa masalahnya? Kesalahan kamu memulai sebelum kusetujui", heran Alfi.
"Tapi pak", Aghnia hendak membela diri, namun tak punya argumen untuk menyangkal ucapan Alfi.
"Sudah lah, bawa pergi laporanmu!", ketus Alfi yang sibuk meminum kopinya, tak peduli dengan mimik wajah Aghnia.
"Jahat!", dengus Aghnia lantas pergi meninggalkan Alfi. Ia memang mendengar beberapa hari kemarin, bahwa Alfi diturunkan jabatannya, dari wakil dekan menjadi dosen biasa.
"Apa karena itu dia seketus ini kepadaku?", gumam Aghnia, merasa tidak seharusnya Alfi melampiaskan kekesalannya kepadanya. Namun apa daya, dirinya hanya mahasiswi biasa, bukan siapa-siapa Alfi.
Aghnia memilih pergi ke perpustakaan untuk merevisi questionnaire miliknya, enggan pulang ke kontrakan karena Risti belum kembali.
"Duh, aku harus diskusi dengan siapa dong?", benak Aghnia merasa frustasi. Ia sudah coba menepis pikirannya yang dilecehkan Malik semalam, namun masalah nampaknya tak mau memberi jeda sejenak pun kepadanya.
Gadis itu memilih kembali ke galeri, duduk di hadapan Alfi, membuat Alfi melotot menatap dirinya.
"Ada apa lagi?" Tanya Alfi.
"Tolong bantu saya revisi pak" ucap Aghnia tanpa malu dan ragu. Gadis itu seperti sedang menantang maut.
"Apa otakmu bermasalah?", sentak Alfi cukup kencang, membuat beberapa orang yang berada di galeri memandang mereka sembari meng-ghibah.
"Apa masalahnya?", Aghnia yang tak suka dibentak pun balik bertanya.
"Tugasmu melakukan revisi, bukan mengikutkanku untuk terus memikirkan bebanmu!", suara Alfi tidak keras, namun begitu tegas.
"Karena sudah tidak jadi wakil dekan kah? Bapak lantas melampiaskan kekesalan dengan membentak saya?", tohok Aghnia yang kini jadi tontonan banyak pasang mata.
"Itu bukan urusanmu. Enyah lah!", usir Alfi yang kembali duduk, nampak mencoba menenangkan emosinya sendiri. Namun Aghnia malah duduk di depannya tanpa berkata apapun juga, membuka questionnaire yang tadi dicoret Alfi.
"Kamu!", Alfi tak bisa melanjutkan perkataan karena Aghnia pun tidak mengusiknya dengan jawaban, hanya duduk di hadapannya, membuat Alfi tak berkutik.
Entah kenapa, Aghnia punya inspirasi saat menatap wajah Alfi yang tampan, seolah keberanian itu muncul begitu saja, tak ada rasa takut atau segan dan mengubah questionnaire sesuai keinginan Alfi.
Saat Alfi hendak pergi, Aghnia sudah menyelesaikan revisinya.
"Sudah selesai pak. Bisa tolong diperiksa?", tahan Aghnia, menyerahkan lembar yang direvisinya dengan tulisan tangan.
"Apanya yang selesai? Lihat tulisan kamu seperti sarang semut!", tolak Alfi seraya melangkah pergi meninggalkan gelas kosongnya.
"Pak, tunggu!", Aghnia mengejar Alfi hingga ke parkiran.
"Ayo lah pak, tolong periksa. Ini sudah saya perbaiki. Kalau kesulitan, saya bisa bacakan", desak Aghnia.
"Tunggu sampai jadwal bimbingan berikutnya", tolak Alfi seraya membuka pintu mobil, namun Aghnia enggan menyerah dan malah membuka pintu samping kemudi.
"Kamu! Apa kamu tuli ha?", hardik Alfi tak bisa lagi menahan emosinya hingga berteriak.
"Sabar pak, sabar. Bapak semakin ganteng kalau sedang marah, jadi tolong bantu saya agar cepat lulus kuliah", rayu Aghnia. Ia telah membuang jauh rasa takutnya kepada Alfi. Kalau pun harus ganti dosen pembimbing, ia sudah mempersiapkan diri.
"Sinting! Keluar dari mobilku!", usir Alfi.
"Saya janji, akan temani bapak ngobrol, membuang stres karena turun jabatan. Tapi tolong bantu saya memeriksa questionnaire saya. Please", pinta Aghnia, menunjukkan senyum tercantiknya. Entah kenapa, hati Alfi tergelitik mendengar ucapan Aghnia.
Alfi memang cerdas, tampan dan berwibawa. Namun sifat perfeksionisnya, membuat dirinya dijauhi banyak rekan sejawatnya. Saat kini ia terpuruk karena post power syndrome, tak ada satu pun yang bersedia menjadi temannya. Saat ini, Aghnia lah, gadis sinting yang malah mendekatinya, tak terlihat gentar sama sekali dengan amukannya.