Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Mas Radit melangkah masuk ke rumah, tubuhnya lelah setelah seharian bekerja. Ia disambut oleh Dewi dan Yuni, istri pertama dan keduanya, dengan senyuman yang terkesan manis.
"Selamat datang, Mas," sapa Dewi, matanya berbinar-binar.
"Mas, lelah ya? Mau minum apa?" tanya Yuni, dengan suara lembut.
Mas Radit mengangguk, ia merasa sedikit lelah. Ia duduk di sofa ruang tamu, mencoba untuk rileks. Dewi dan Yuni duduk di sampingnya, menunggu Mas Radit untuk berbicara.
"Ada apa ini? Kalian kok kelihatan senang banget?" tanya Mas Radit, sedikit heran.
"Mas, kamu tahu kan kalau Amarah sering keluar rumah?" tanya Dewi, suaranya sedikit berbisik.
Mas Radit mengerutkan kening, "Ya, dia kan memang sering keluar untuk mencari pekerjaan."
"Mas, kami sudah sering melihatnya bermesraan dengan pria lain," kata Yuni, dengan nada mengejek.
Mas Radit terdiam, ia sedikit tidak percaya. Ia mengenal Amarah, istri ketiganya, sebagai wanita yang baik dan setia.
"Mas, kami tidak berbohong. Kami sudah berulang kali melihatnya. Mereka berpelukan, berciuman, dan bahkan..." kata Dewi, menghentikan kalimatnya dengan sengaja.
Mas Radit mulai merasa tidak nyaman, ia mulai curiga. Meskipun ia sedikit tidak percaya, namun karena terus digoda oleh Dewi dan Yuni, ia pun mulai terpengaruh.
"Kalian yakin?" tanya Mas Radit, suaranya sedikit meninggi.
"Mas, kami tidak mungkin berbohong. Kami sudah melihatnya dengan mata kepala sendiri," kata Yuni, suaranya tegas.
Mas Radit terdiam, kemarahan mulai menguasai dirinya. Ia merasa dikhianati oleh Amarah, wanita yang ia cintai.
"Keparat! Sialan!" teriak Mas Radit, suaranya bergetar. "Biarkan dia pergi!"
Dewi dan Yuni tersenyum licik, mereka bahagia karena Amarah sudah diusir dari rumah. Mereka berhasil menyingkirkan Amarah, saingan mereka dalam memperebutkan perhatian Mas Radit.
******
Ketika Mas Radit mengingat momen-momen indah bersama Amarah, perasaannya dipenuhi dengan kerinduan dan penyesalan yang mendalam. Setiap kenangan yang muncul di benaknya seakan menghidupkan kembali perasaan hangat yang pernah ia rasakan. Ia teringat saat-saat ketika Amarah dengan penuh kasih menyiapkan sarapan untuknya, senyum manisnya yang selalu menyapa di pagi hari, dan bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama di teras sambil berbincang-bincang ringan.
Mas Radit merasakan getaran manis saat mengingat tawa Amarah yang ceria, bagaimana suaranya bisa mengusir semua kepenatan setelah seharian bekerja. Momen-momen sederhana seperti berpelukan di sore hari atau saling berbagi cerita sebelum tidur kini terasa sangat berharga. Ia merasa seolah kehilangan bagian dari dirinya yang dulu begitu hidup dan berwarna saat bersama Amarah.
Namun, di balik semua kenangan indah itu, ada rasa sakit yang menyertai. Mas Radit merasa menyesal telah mempercayai Dewi dan Yuni, yang berhasil menanamkan keraguan dalam benaknya. Ia mulai menyadari bahwa semua kebahagiaan yang pernah ia rasakan bersama Amarah kini tergantikan oleh kesedihan dan penyesalan. Setiap kali ia teringat pada momen-momen bahagia itu, hatinya terasa berat, seolah ada sebuah jurang yang terbuka lebar antara dirinya dan Amarah.
Dengan setiap kenangan yang melintas, Mas Radit merasakan gelombang emosi yang bercampur aduk—kerinduan, penyesalan, dan rasa bersalah. Ia menyadari bahwa keputusan yang diambilnya mungkin telah menghancurkan cinta yang tulus dan berharga. Dalam kesunyian malam yang panjang, Mas Radit berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari tahu kebenaran dan memperbaiki kesalahannya, berharap masih ada kesempatan untuk mengembalikan kebahagiaan yang pernah mereka miliki.
Mas Radit berusaha untuk menyingkirkan bayangan Amarah dari pikirannya. Ia mencoba fokus pada pekerjaan, pada obrolan dengan Dewi dan Yuni, bahkan pada tawa mereka yang terkesan dibuat-buat. Namun, bayangan Amarah tetap saja muncul, seperti hantu yang tak terusir.
Sosok Amarah yang begitu lembut melayaninya, senyumnya yang tulus, dan caranya memasak makanan kesukaannya, semua itu berputar-putar dalam kepalanya. "Ah, tidak mungkin dia selingkuh," gumamnya dalam hati. "Dia wanita baik, setia, dan penyayang."
Mas Radit teringat kembali bagaimana Amarah selalu mendukungnya, menenangkannya saat ia sedang dilanda masalah. Amarah selalu ada untuknya, tanpa mengeluh.
"Apakah Dewi dan Yuni berbohong padaku?" tanyanya dalam hati. "Tidak mungkin mereka berbohong," katanya lagi, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Namun, keraguan itu tetap menghantuinya. Rasa tidak percaya dan rasa bersalah mulai bercampur aduk dalam dirinya.
Mas Radit terbaring di tempat tidur, matanya terpejam. Namun, tidur tak kunjung datang. Bayangan Amarah terus menghantuinya, membuatnya gelisah.
"Kenapa aku harus percaya mereka?" gumamnya dalam hati. "Apakah aku salah menilai Amarah?"
Semalaman suntuk, Mas Radit susah tidur. Ia terombang-ambing dalam lautan keraguan dan penyesalan. Ia merasa telah membuat kesalahan besar dengan mengusir Amarah dari rumah.
Ia merindukan sentuhan lembut Amarah, senyumnya yang menenangkan, dan kasih sayangnya yang tulus. Mas Radit menyadari, bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya.
*******
Sinar mentari pagi menyinari kamar Mas Radit, membangunkannya dari tidurnya yang tak nyenyak. Ia menguap, tubuhnya masih terasa lelah karena semalaman dihantui bayangan Amarah. Ia meraih ponselnya, berharap menemukan sedikit ketenangan dalam membaca berita atau berselancar di media sosial.
Namun, saat membuka aplikasi pesan, matanya langsung tertuju pada sebuah pesan dari Amarah. Mas Radit mengerutkan kening, jantungnya berdegup kencang. Ia ragu untuk membuka pesan itu, tapi rasa penasaran mengalahkan keraguannya.
"Mas, suatu hari nanti kebenaran akan terungkap. Aku dijebak," begitu isi pesan singkat dari Amarah.
Mas Radit terdiam, membaca pesan itu berulang kali. Kalimat itu membuatnya tersentak, memicu kembali keraguan yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam. Apakah Dewi dan Yuni benar-benar berbohong?
"Tidak mungkin," gumamnya dalam hati. "Mereka sahabatku, istriku. Mereka tidak mungkin berbohong."
Namun, sebuah rasa tidak yakin mulai menggerogoti hatinya. Ia teringat pada tatapan mata Amarah saat ia meninggalkan rumah, tatapan yang penuh dengan kesedihan dan kekecewaan.
Mas Radit merasa gelisah. Ia tidak ingin menghadapi kenyataan bahwa ia mungkin telah membuat kesalahan besar. Ia tidak ingin mengakui bahwa ia telah mengusir wanita yang dicintainya hanya karena termakan oleh fitnah.
Dengan tangan gemetar, ia langsung mematikan ponselnya dan memblokir nomor Amarah. Ia merasa takut untuk menghadapi Amarah, takut untuk mendengar penjelasannya.
"Aku tidak mau tahu," gumamnya dalam hati. "Aku tidak mau mendengarnya."
Mas Radit mencoba untuk melupakan pesan Amarah, mencoba untuk kembali ke kehidupan normalnya. Namun, bayangan Amarah dan pesan singkatnya terus menghantuinya, mengingatkannya pada kesalahan besar yang telah ia perbuat.
******
Aroma harum masakan Dewi memenuhi ruang makan, mencoba mengusir kesedihan yang masih menyelimuti hati Mas Radit. Namun, setiap suapan yang masuk ke mulutnya terasa hambar, tak seperti biasanya. Mas Radit teringat masakan Amarah, masakan yang selalu membuatnya merasa hangat dan nyaman.
"Mas, kenapa makannya sedikit? Tidak enak ya masaknya?" tanya Dewi dengan nada khawatir.
"Enggak, kok. Enak, kok," jawab Mas Radit sambil berusaha tersenyum. Namun, senyumnya terasa hambar, tak sampai ke matanya.
Mas Radit terdiam, pikirannya melayang ke masa lalu. Ia teringat saat-saat ketika Amarah dengan penuh kasih menyiapkan sarapan untuknya. Setiap pagi, Amarah selalu menyajikan menu yang berbeda, dengan penuh cinta dan penuh perhatian.
"Ah, masakan Amarah memang lebih enak," gumamnya dalam hati.
Mas Radit merasa bingung. Di satu sisi, ia membenci Amarah yang dikatakan sudah berselingkuh dengan laki-laki lain. Namun, di sisi lain, ia juga mengingat semua kebaikan Amarah.
Amarah selalu sabar dan pengertian, selalu ada untuknya dalam suka dan duka. Amarah selalu mendukungnya, menenangkannya saat ia sedang dilanda masalah.
"Apakah aku telah salah menilai Amarah?" tanya Mas Radit dalam hati, suaranya bergetar.
Mas Radit mencoba untuk fokus pada sarapannya, mencoba untuk menenangkan pikirannya. Namun, bayangan Amarah dan rasa bersalah terus menghantuinya.
"Aku harus mencari tahu kebenarannya," gumamnya dalam hati. "Aku harus bertemu Amarah dan meminta maaf atas kesalahanku."