Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3: Manusia Baru
Di malam yang sunyi, saat Ruri sudah terlelap dalam pelukan si kucing hitam, sang kucing memandangi wajahnya yang damai. Batinnya terus berputar.
"Tuhan, tolong berikan aku kekuatan... Aku tidak ingin hanya menjadi bayang-bayang. Sebagai hantu kucing, aku merasa tidak berdaya. Aku ingin lebih dari ini. Aku ingin bisa menghibur dan melindungi Ruri seperti dulu, saat dia menyelamatkanku. Tapi bagaimana aku bisa melakukan itu dalam bentuk ini? Kumohon... biarkan aku berubah, biarkan aku menjadi manusia. Hanya itu yang kuminta. Demi dia."
Kucing itu menunduk, mendekatkan tubuhnya pada Ruri, merasakan kehangatan yang dulu pernah ia rasakan saat masih hidup. Air mata kecil turun dari matanya, menetes di tangan Ruri. Lalu, entah bagaimana, ada kekuatan besar yang merespon doanya. Cahaya lembut muncul dari tubuhnya, perlahan menutupi wujudnya yang kecil.
___
Keesokan paginya, Ruri terbangun dengan kehangatan. Namun, bukan lagi seekor kucing yang ia temukan di pelukannya, melainkan seorang pria tampan dengan rambut hitam berantakan dan tatapan tajam yang menawan. Dengan napas hangat pria itu yang menyentuh kulit halus di lehernya, kemudian bisikan rendah yang membuatnya merinding.
"Meoong…" suara itu bergema lagi di telinga Ruri, kali ini lebih nyata, lebih mendebarkan. Ruri terkejut, jantungnya berdebar lebih kencang.
"Apa yang terjadi?" gumam Ruri dengan bingung.
Namun sebelum Ruri sempat bereaksi lebih jauh, terdengar suara ketukan di pintu. Ruri meloncat bangun, jantungnya berdetak lebih kencang lagi. Dia cepat-cepat berlari ke pintu, melupakan pria tampan yang baru saja mengeong di telinganya. Di depan pintu, seorang ibu-ibu dengan wajah serius berdiri, membawa kantong makanan.
"Ini pesanannya," kata ibu itu sambil menyerahkan kantong tersebut.
Ruri bingung, "Pesanan? Saya tidak memesan apa-apa..."
Ibu itu mengangguk cepat, "Ini pesanan dari nenek pemilik rumah ini. Dia memintaku memastikan kau dirawat dengan baik. Katanya kau cucunya."
"Cucu?" Ruri bertanya, bingung. Nenek pemilik rumah ini memang baik hati, tapi dia jelas bukan cucunya.
Namun, sebelum Ruri bisa menjelaskan lebih lanjut, ibu itu melirik ke dalam rumah, melihat pria tampan yang kini berdiri di belakang Ruri. Matanya melebar. "Ck, ck, jadi begini cara generasi sekarang hidup. Tinggal bersama laki-laki tanpa ikatan. Terlalu bebas!"
Ruri langsung panik, "Bukan, bukan begitu! Dia bukan…"
Namun, ibu itu sudah menggelengkan kepala dengan marah. "Anak-anak zaman sekarang. Tsk, tsk. Tak ada rasa malu lagi." Ibu itu mengumpat sambil berbalik dan pergi sebelum Ruri sempat menjelaskan lebih jauh. Ruri mencoba menyusulnya, namun ibu itu telah menghilang entah ke mana.
Ruri menatap kosong ke arah jalan, panik menyebar di dadanya. "Oh tidak… kalau ini sampai menjadi rumor lagi, aku bisa di-DO!" pikirnya. Tapi kemudian, perhatiannya beralih kembali pada pria di rumahnya.
Dia berbalik, menatap pria itu dengan tajam. "Siapa kamu sebenarnya? Dan apa yang kamu lakukan di rumahku?"
Pria itu tersenyum dengan tenang, seolah tidak terganggu sama sekali oleh kekacauan yang baru saja terjadi. "Aku adalah kucing hitam yang kau peluk tadi malam," jawabnya santai.
Ruri mengerutkan kening, wajahnya dipenuhi kebingungan. "Apa? Kucing hitam? Kamu gila, ya?"
Pria itu mengangguk pelan. "Benar. Aku kucingmu. Kucing yang kau selamatkan dulu."
Ruri merasa kesabarannya diuji. "Dengar, aku tidak tahu siapa kamu atau dari mana kamu datang, tapi kamu jelas gila. Kamu harus pergi dari sini sekarang, atau aku akan memanggil polisi!"
Tapi pria itu tidak bergerak sedikit pun. "Aku tidak akan pergi. Kau butuh bantuanku."
Ruri terdiam. Pria itu tampak begitu yakin dan… ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Ruri merasa aneh. Namun, sebelum dia sempat menanggapi, langkah kaki tiba-tiba terdengar dari luar rumah. Ruri melirik ke pintu, khawatir tetangga lain mungkin akan datang dan melihat mereka. Situasi ini sudah cukup buruk.
"Baiklah, jangan buat keributan!" Ruri mendesah berat, menyerah sementara. "Dan kamu harus menjauhiku!"
Pria itu tersenyum tipis, tampak puas dengan respon Ruri. "Aku kucing yang tenang jadi tidak akan buat keributan. Tapi ke mana pun Ruri pergi, aku akan mengikutimu."
Mendengar jawaban itu, Ruri tercengang. Ekspresinya seperti orang gila.
___
Benar saja, ke mana pun Ruri pergi hari itu, pria misterius itu selalu ada di sisinya. Saat dia pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan, pria itu berjalan dengan tenang di sebelahnya, bertanya tentang segala hal yang terlihat asing baginya. Dia bahkan menanyakan apakah makanan manusia itu enak atau tidak, sesuatu yang membuat Ruri semakin curiga, 'Jangan-jangan dia pasien rumah sakit jiwa kali ya?'
Namun, cobaan hidup yang mesti dihadapinya hari itu tidak selesai sampai di situ saja. Ketika Ruri kembali ke kampus begitu memasuki gerbang, suara-suara cemoohan mulai terdengar lagi dari sekelompok gadis yang dipimpin oleh Sandra.
"Hei, lihat siapa yang datang! Pengkhianat bangsa!" Sandra tertawa keras, suaranya penuh sinisme. "Kau benar-benar tak tahu malu, ya? Mengaku-aku sebagai aktivis, tapi berfoto dengan orang yang memuja penjajah. Betapa memalukan!"
Ruri mengepalkan tangan, mencoba menahan amarah dan sakit hatinya. Dia memutuskan untuk tidak membalas. Tapi kemudian, Sandra melihat pria tampan yang mengikuti Ruri.
"Wow, dari mana kau mendapatkan pangeran tampan ini? Pasti dia belum tahu tentang reputasimu, ya?" Sandra melangkah maju, mencoba mendekati pria itu dengan senyum menggoda.
Namun, tanpa memandang Sandra sedikit pun, pria itu terus berjalan ke arah Ruri. Dia menghampiri Ruri dengan tenang, dan dengan gerakan lembut namun penuh perhatian, dia meraih tangan Ruri. "Kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh perhatian, seolah Ruri adalah orang paling berharga di dunia ini.
Sandra hanya bisa menatap mereka dengan mulut ternganga, cemburu menguasai wajahnya. Ruri, di sisi lain, merasa jantungnya kembali berdetak kencang—bukan karena ketakutan atau cemoohan, tapi karena pria aneh di hadapannya.