Demi menghindari kejaran para musuhnya, Azkara nekat bersembunyi di sebuah rumah salah-satu warga. Tanpa terduga hal itu justru membuatnya berakhir sebagai pengantin setelah dituduh berzina dengan seorang wanita yang bahkan tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Shanum Qoruta Ayun, gadis malang itu seketika dianggap hina lantaran seorang pemuda asing masuk ke dalam kamarnya dalam keadaan bersimbah darah. Tidak peduli sekuat apapun Shanum membela diri, orang-orang di sana tidak ada satu pun yang mempercayainya.
Mungkinkah pernikahan itu berakhir Samawa sebagaimana doa Shanum yang melangit sejak lama? Atau justru menjadi malapetaka sebagaimana keyakinan Azkara yang sudah terlalu sering patah dan lelah dengan takdirnya?
•••••
"Pergilah, jangan buang-buang waktumu untuk laki-laki pendosa sepertiku, Shanum." - Azka Wilantara
___--
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 - Jangan Memancingku
Azka mencium bibirnya tidak sampai satu menit, hanya sekilas sebenarnya. Akan tetapi, hal itu terus terbayang dalam benak Shanum. Sudah begitu banyak yang mereka lewati, buka bersama, makan bahkan sampai taraweh ke Masjid juga sudah.
Akan tetapi, pikiran Shanum terus saja tertuju pada Azkara walau sudah berusaha menghilangkannya. Mungkin ada beberapa hal yang menjadi alasan kenapa ciuman Azkara begitu mengesankan bagi Shanum.
Selain karena dia tidak pernah menjalin hubungan dengan lawan jenis, cara Azka memanfaatkan kesempatan juga amat manis. Sejak siang pria itu seolah tampak sengaja memburunya, hingga setelah selesai shalat magrib pria itu benar-benar membuktikan jika permintaannya tidak bercanda.
Hingga ketika mereka membahas hal penting di ruang tamu bersama keluarganya, Shanum sama sekali tidak fokus. Azkara telah menjelaskan panjang lebar maksud dan tujuannya pada keluarga istrinya.
Walau Azkara dipandang sebelah mata, tapi dia juga masih memiliki etika. Di hadapan sang mertua, Azka dengan kerendahan hati meminta keridhaan untuk membawa Shanum ikut dengannya.
"Kalau Abi kembali pada kalian saja, kalian yang menjalani dan Abi percaya kalian bisa bersikap dewasa ... jadi ambil yang mana baiknya," tutur Kiyai Habsyi menasihati putri dan menantunya ini.
Disaksikan oleh Umi Martika dan Sabila yang menatap rendah ke arah Azkara, mereka seolah tengah membicarakan Azka lewat mata.
"Terima kasih atas kepercayaannya, Abi, saya mantap membawa Shanum ke Jakarta agar_"
"Ehm tunggu, kemana kamu bilang? Jakarta?"
Azka mengangguk, ini adalah kali pertama Umi Martika yang tidak lain ibu mertuanya bicara pada Azkara. Begitu bicara tatapannya juga tetap tak terbaca dan sungguh menyebalkan sebenarnya.
"Ha-ha-ha Jakarta ... kamu yakin mampu menghidupi Shanum? Jakarta loh, itu kota besar," ungkap Umi Martika yang terlihat jelas tengah berusaha mengecilkan Azkara.
"Insya Allah mampu, Umi." Walau hati Azkara benar-benar dongkol, tapi demi menjaga citra sebagai pria lemah lembut dan beretika di hadapan abinya, Azka berusaha bersikap sopan.
Sialnya, walau sudah diperlakukan begitu Umi Martika justru berdecih dan menggeleng pelan. Kiyai Habsyi sampai menegurnya, tapi hal itu sama sekali tidak diindahkan.
"Menurut Umi kalian lebih baik di sini saja, toh masih terjamin juga ... Shanum memang kuliah sampai S2, tapi dia nganggur tahu kamu, Azka? Dan kamu? Aduh ...." Umi Martika memijat pangkal hidungnya, seolah sekhawatir itu Shanum sampai tidak makan di sana. "Bukan bermaksud merendahkan, tapi Umi hanya khawatir kalian berdua tidak makan nantinya," lanjut wanita itu lagi.
Sabila yang mendengar menutup mulutnya, sudah jelas dia menyembunyikan senyum mengejek karena hal ini adalah topik pembicaraan mereka pasca berbuka puasa usai Shanum mengatakan dia akan ikut Azka pulang.
Di mata mereka memang Azkara serendah itu. Tidak tahu kerjanya apa, terlebih lagi sewaktu mengingat mahar 75.000 rupiah super lecek yang Azka keluarkan dari saku celanannya.
Dan, Azka yang mendengar celotehan tong kosong itu ingin tertawa sebenarnya. Khawatir tidak makan? Yang benar saja, kecil bagi Azkara menghidupi seorang istri jika hanya berkenaan dengan biaya.
"Kalau soal itu, Insya Allah saya bisa mengusahakannya ... Abi bilang, selalu ada rezeki untuk pasangan yang menikah selama mereka di jalan Allah," sahut Azka tetap merendah serendah-rendahnya.
"Benar, jangan pernah khawatir soal rezeki ... semua sudah tertakar dan hal itu tidak akan tertukar," timpal Kiyai Habsyi membenarkan pernyataan menantunya.
Jujur saja sebagai suami, Kiyai Habsyi agak sedikit malu dan jengkel menghadapi istrinya yang bicara seenaknya. Sudah ditegur sejak tadi, tapi masih saja.
"Siapa yang tidak tahu soal itu? Anak TK saja tahu, Abi. Akan tetapi, sebagai ibu, Umi hanya khawatir tentang nasib Shanum di sana, apa salahnya?"
Umi Martika berlagak memang khawatir, seolah tidak ikhlas Shanum ikut suami. Padahal, yang terjadi sebenarnya dia bingung andai Shanum pergi maka tidak ada yang bisa dia andalkan untuk melakukan pekerjaan rumah lagi.
Hal ini sudah disepakati Umi Martika dan Sabila, mereka sama-sama tidak ingin Shanum maupun Azkara angkat kaki dari sana.
Karena itulah, Sabila tidak hanya bertopang dagu dan turut memuluskan rencana uminya. "Iya, Abi, lagi pula Kak Shanum baru pulang beberapa bulan lalu ... kita baru sebentar berkumpul masa harus terpisah lagi," timpal Sabila berusaha meyakinkan Abinya untuk menahan kepergian Shanum.
Lagi dan lagi, suara Sabila yang dibuat manja begitu membuat Azkara murka. Dia melayangkan tatapan tajam ke arah wanita itu dan mengepalkan tangannya.
"Keputusan Abi tetap sama, Abi tidak melarang kemanapun Azka mau membawa Shanum ... terlebih lagi Shanum bersedia."
"Abi, coba pikir mereka nanti mau bagaimana? Apa Azka bisa menjamin kehidupan putri kita? Paling juga dibawa ke kontrakan sepetak, apa Abi tidak terlalu kej_"
"Astaghfirullah Martika!! Apa kamu tidak bisa berhenti membahas hal itu? Jaga sedikit bicaramu!!" tegas Kiyai Husain sampai memanggil nama lengkap, disertai istighfar dan hal itu terdengar lucu bagi Azkara.
Dia tidak akan menjelaskan panjang lebar, mau dianggap miskin juga tidak masalah. Dunia tidak harus tahu seberapa besar kekayaan mereka, baik kekayaan Azka pribadi, papa apalagi kakek moyangnya.
.
.
Selesai musyawarah dan didapati keputusan sesuai maunya, Azkara dan Shanum kembali ke kamar. Walau sempat tidak fokus di awal, tapi Shanum tetap menyimak sampai akhir hingga dia merasa bersalah sekaligus malu akan ucapan Umi Martika dan Sabila.
"Mas," panggil Shanum terdengar ragu, dia menatap sendu Azkara yang juga merebahkan tubuh di sebelahnya.
Kebetulan malam sudah agak larut, memang sudah waktunya tidur. Besok ada banyak yang harus mereka lakukan, bukan hanya harus masak sahur lagi, akan tetapi pagi-pagi sekali mereka harus bersiap untuk berangkat ke Jakarta.
"Hem?"
"Aku mau ngomong sesuatu," ucap Shanum mengawali pembicaraan yang membuat Azkara duduk seketika, padahal sambil berbaring juga bisa.
"Ngomong? Ngomong apa?"
Shanum menarik napas dalam-dalam, dia agak sedikit curiga dan sempat khawatir sang istri berubah pikiran.
"Ehm, maafin Umi sama Sabila ya ... aku tahu ucapan mereka pasti menyakitimu." Walau tahu mereka berdua tidak akan pernah melontarkan kata maaf, tapi Shanum tetap bersedia mewakilinya.
"Oh, kupikir apa," ungkap Azkara menghela napas lega selega-leganya.
Jika hanya masalah mereka berdua, jujur saja dia tidak begitu peduli. Begitu tahu apa yang Shanum khawatirkan, pria itu kembali menghempaskan tubuhnya.
"Kamu tidak marah?"
"Tidak," jawab Azkara singkat sembari meletakkan lengan sebagai penutup matanya.
"Serius tidak, Mas?" Shanum memastikan bahkan tak sengaja mengangkat tangan Azka demi menatap mata pria itu.
Tanpa Shanum ketahui jika tindakan sesederhana itu ternyata sama halnya dengan membangunkan singa tidur. Dalam hitungan detik, Azkara menariknya dalam pelukan.
"Tidurlah, ranjangnya kayu dan dinding kamarmu tidak kedap suara ... jangan memancingku lebih dulu, Shanum," bisiknya tepat di dekat telinga sang istri.
"Memangnya kenapa kalau ranjangnya kayu? Tidak nyaman?" tanya wanita itu dengan polosnya, otaknya belum sampai ke sana.
"Bunyi, Sayang!! Kalau sampai kedengaran Abi kita berdua yang malu."
"Astaghfirullah, Mas Azka!!"
.
.
- To Be Continued -