Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.
Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang dan bahagia
Kian dan Keira menghabiskan waktu dengan menatap kembang api yang berpendar di langit malam, cahayanya menyelinap di antara bangunan-bangunan yang meniru di kartun Disney. Senyum mereka terlukis dalam keheningan, seolah hanya bintang dan malam yang menjadi saksi kebahagiaan kecil yang akhirnya bisa mereka rasakan. Dari kejauhan, Shintaro, memperhatikan mereka. Sesekali ia mengangkat ponselnya, menangkap momen-momen kebersamaan mereka dalam potret diam-diam.
“Akhirnya, lu bisa bahagia, Ian,” bisik Shintaro sambil tersenyum lega. Ada haru di hatinya melihat Kian, yang sudah lama meredam perasaannya sejak sahabat lamanya, Gema, tiada. Ia mengirimkan foto-foto itu pada seseorang.
Di tempat lain, ponsel Devin bergetar. Kakek Kian itu membuka pesan yang masuk, memandang foto-foto yang dikirimkan Shintaro dengan senyum tipis namun penuh makna. Di dalam hatinya, ada kebahagiaan yang membuncah. Tak pernah ia melihat cucunya sebahagia ini sejak kematian Gema, sahabat yang begitu berarti bagi Kian.
“Akhirnya, lu bisa tersenyum lebar kayak gini lagi, Ian,” gumamnya. Ia mengambil foto dirinya bersama sahabatnya, Norman, dan tersenyum penuh haru. “Rencana kita lancar, Man. Coba lu bisa lihat ini, pasti lu bakal senang banget,” ucap Devin pelan, mengenang sosok yang sudah pergi.
---
Seminggu berlalu dengan cepat. Kian dan Keira kini duduk di dalam mobil yang melaju kembali ke Indonesia, meninggalkan kenangan Jepang di belakang mereka. Meski masih ingin berlama-lama, Kian tak punya pilihan selain pulang saat kakeknya, Devin, mendesak dengan alasan yang tak begitu jelas. Deren, pamannya yang tak terpaut jauh usia, menyetir di depan, memperhatikan jalan dengan serius.
“Bang Der, kenapa kita disuruh pulang sih? Ada masalah ya?” tanya Kian sambil menatap keluar jendela, berusaha menebak alasan sebenarnya.
“Kurang tahu, Ian. Entar lu tanya aja sendiri ke Papa atau Bang George,” jawab Deren tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.
Tiba-tiba Kian melihat seseorang di kursi depan samping Deren, seorang wanita berkulit seputih salju, manis, dan tampak tertidur pulas. “Bang, samping lu siapa sih?” Kian maju sedikit untuk memastikan. “Pacar lu ya? Cantik bener.”
“Aw!” seru Kian saat tangan Keira mencubitnya dari samping. Tatapannya tajam penuh peringatan.
“Maaf, Kak. Aku cuman muji doang kok,” ucap Kian sambil terkekeh kecil.
Deren tertawa melihat interaksi mereka. “Iya, Ian. Dia pacar gue. Kenalin langsung deh nanti.” Deren menepuk pundak kekasihnya dengan lembut. “Mel, bangun sebentar ya,”
Wanita itu perlahan membuka mata dan menoleh ke arah Deren dengan wajah mengantuk. “Hmm? Ada apa, Der?”
“Kenalan sama keponakan aku, Mel,” kata Deren.
Imelda, wanita itu, terperanjat dan langsung menoleh ke belakang, sedikit terkejut melihat Kian dan Keira yang tersenyum padanya. “Aduh, maaf ya, aku ketiduran. Aku Imelda.” Ia mengulurkan tangan dengan sopan.
Kian menyambut uluran tangan itu dengan ramah. “Dari cara ngomong, kepribadian, sampai wajah, Kak Imel ini yang paling cocok buat Bang Deren deh.”
Deren tampak terharu, “Alhamdulillah ya Allah!”
“Seneng amat kamu, Der?” tanya Imelda dengan ekspresi bingung.
“Ya seneng lah! Setelah sekian banyak cewek yang aku kenalin, cuma kamu yang dia bilang cocok,” kata Deren sambil terkekeh.
Kian ikut tertawa. “Soalnya mantan-mantan abang banyak yang aneh. Ada yang suka main mistis lah, ada yang judes banget, macem-macem deh. So far, Kak Imel yang paling cocok.”
“Namanya juga nyari jodoh, Ian,” kata Deren sambil menghela napas. “Yang penting sekarang gua udah ketemu yang pas! Yes!”
Sepanjang perjalanan, mereka tertawa dan bercanda, membuat suasana menjadi lebih ringan dan hangat. Ketika mereka tiba di rumah, Keira dengan sigap menarik tangan Imelda masuk ke dalam, meninggalkan Kian dan Deren yang masih sibuk dengan koper-koper mereka.
“Eh, lu mau kemana aja, ninggalin gue bawa semua koper?” protes Kian.
Deren tertawa puas. “Lu bawa sendiri lah, lu bini lu. Gue mau ketemu emak-bapak dulu.”
“Yah, bagi dua lah bang, berat ini!” keluh Kian sambil menarik koper ke dalam rumah.
Di dalam, Grace menunggu dengan penuh harap. Melihat Keira masuk bersama Imelda, ia langsung bertanya, “Abang mana, Keira?”
“Dibelakang, Nek,” jawab Keira sambil mencium tangan Grace dan Devin yang duduk disofa. Ia dan Imelda pun duduk disebelah Devin, menunggu kekasih mereka.
“Assalamualaikum! Deren si keren dan ganteng ini pulang!” teriak Deren memasuki rumah.
“Walaikumsalam, nggak usah teriak-teriak dek,” omel Grace.
“Hehe, maaf-maaf,” Deren mengecup pipi Grace dan duduk ditengah-tengah orang tuanya.
“Cucu gua mana Der?” tanya Devin. “Lama bener,”
“Di-”
Tak lama, terdengar suara dari arah pintu, “Assalamualaikum! I’m back, baby!” Kian muncul dengan dua koper besar di tangannya, terlihat sedikit kelelahan.
Mendengar suara Kian, Tasya, adiknya yang sudah tak sabar, berlari dari lantai dua. “Abang!” Dengan lompatan antusias, ia melompat ke arah Kian.
Hap! Kian dengan sigap menangkap Tasya, memeluknya erat. “Duh, hati-hati dong, Tasya. Masih aja manja kamu.”
“Ya, namanya juga kangen, Bang. Kenapa lama banget sih di Jepang?” protes Tasya.
Grace menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Kalau jalan hati-hati, Tasya. Nanti kalau jatuh nangis,” ucapnya, lembut menasihati.
“Hehe, iya, Nek,” balas Tasya sambil tertawa. “Tapi kan aku kangen banget sama Abang!”
Kian tertawa dan menurunkan Tasya. Namun, dengan nada bercanda, ia bertanya, “Sekarang, coba abang tanya. Kenapa kamu nggak ngerjain PR?”
Mata Tasya langsung membesar. “Ee…”
Kian mengangkat alisnya, “Ayo jawab, atau nggak, abang kelitikin!” serunya, langsung menggelitik Tasya yang langsung meledak tertawa, menggeliat-geliat tak berdaya.
“Bang, ampun bang! Hahaha, geli!” teriak Tasya sambil terus tertawa.
Grace pun ikut tersenyum, “Kian, jangan begitu, nanti sakit punggung Tasya.”
“Baik, Nek, baik,” kata Kian sambil duduk di samping neneknya, yang langsung merangkulnya erat.
“Nenek kangen banget sama kamu, Ian.”
Sambil tertawa, Deren ikut menggoda, “Mentang-mentang cucu kesayangan, anak bungsu nggak dipeluk nih?”
Grace mengelus kepala Deren. “Iya-iya, mama kangen juga kok sama kamu,” katanya lembut.
Devin yang duduk di sudut sofa pura-pura merengut. “Aku nggak dipeluk juga nih?”
“Ngapain? Pergi sana peluk ikan di danau,” goda Grace sambil menatap suaminya.
“Jadi aku boleh mancing, nih?” Devin langsung tersenyum penuh harap.
Grace menatapnya tajam, membuat Devin langsung terdiam.
Semua pun tertawa, mencairkan suasana hangat di rumah itu. Tepat di saat itu, Kian memperhatikan Keira, istrinya itu tampak bahagia. Hati Kian menghangat, senang rasanya melihat Keira bisa tertawa bahagia seperti itu.