Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.
Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hah?!
Matahari sudah terbenam, menyelimuti langit dengan warna keunguan, dan Devin beserta keluarganya duduk bersama di ruang tengah, berbincang dan tertawa. Malam itu terasa hangat, seperti tidak ada yang perlu mereka khawatirkan—setidaknya untuk sesaat.
Namun, tiba-tiba Devin berdiri dan melirik ke arah Keira. "Keira, ikut kakek sebentar, ya," katanya, matanya menyiratkan keseriusan yang jarang terlihat.
Keira menoleh dengan heran, tetapi mengangguk. “Yaudah, ayo, Kek.”
Namun, saat ia bangkit, Kian segera menahan tangannya, seperti tidak rela. "Kenapa nggak di sini aja, Kek? Ngobrolnya?"
Devin menatap Kian dengan pandangan tidak ingin di ganggu, mulutnya terbuka, ingin berbicara. Namun, justru Keira yang lebih dulu menjawab, berusaha lembut. “Mungkin ada yang kakek mau omongin, yang cuma aku sama kakek tau, Ian. Lepasin tangan aku, ya.”
Wajah Kian berubah seketika, penuh rasa tidak rela. “Tetep aja, aku i—”
“Kiandra,” panggil Grace dengan lembut namun tegas.
Kian terdiam, menghela napas, dan akhirnya melepaskan tangan Keira. Ia tidak bisa menentang neneknya yang selama ini selalu dihormatinya.
Devin pun mengajak Keira menuju lantai dua, meninggalkan Kian yang masih terlihat ragu. Mereka melangkah ke dalam ruang kerja Devin yang dipenuhi rak-rak penuh buku dan file, aroma kayu mahoni yang khas tercium samar.
Devin duduk di sofa dengan ekspresi yang tak biasa—serius, bahkan sedikit muram. Ia menepuk bagian di sampingnya. “Duduk sini, Ra,” pintanya.
Keira merasakan jantungnya berdebar-debar. Biasanya kakeknya santai, penuh tawa, tetapi kali ini ada sesuatu yang membuat suasana berubah tegang.
“Sebenernya, kakek mau ngomongin apa?” tanya Keira dengan nada tak sabar, berusaha menenangkan kegelisahannya.
Devin menarik napas panjang sebelum berbicara, seolah sedang memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Keinan Group lagi goyah, Ra. Harga saham turun, banyak investor yang tarik duit mereka.”
Keira terperanjat. “Kok bisa, Kek? Apa mereka nggak percaya sama aku?” Ada nada terluka dalam suaranya.
Devin menatap Keira dengan penuh kasih sayang, namun tidak bisa mengabaikan realitas yang ada. “Itu mungkin salah satunya. Para investor ragu kamu bisa bikin perusahaan tetap stabil. Kakek juga yakin, ada yang menghasut mereka.”
Keira terdiam, pikirannya mulai memutar kemungkinan-kemungkinan. “Apa Papa punya musuh?” tebaknya.
“Pasti,” jawab Devin dengan nada getir. “Norman selalu bilang, semakin besar kekuasaan, semakin besar juga musuhnya. Keinan Group sudah masuk jajaran perusahaan top di negeri ini, pasti banyak yang iri, banyak yang mau jatohin.”
Keira menggigit bibirnya, tidak yakin apakah ia benar-benar siap untuk menjalani peran sebesar itu.
Devin menatapnya dengan tenang. “Ada beberapa cara untuk menyelamatkan Keinan Group dari krisis ini, Ra. Tapi kakek pikir, cara yang paling mungkin sekarang adalah kamu memberikan kendali perusahaan kepada Kian.”
Keira terdiam. Kata-kata ayahnya kembali terngiang, “Jangan pernah percaya sama siapa pun di dunia bisnis.” bukannya tidak percaya pada suaminya, tapi ia tidak mau perusahaan-perusahaan yang sudah di buat ayahnya susah payah hancur.
“Yakin kek?”
“Kakek ngerti kok,” ucap Devin lembut, mencoba menenangkan. “Tapi keputusan ini cuma sementara. Emang kelakuan Kian kayak anjing, tapi kakek percaya, walaupun masih muda, Kian punya potensi.”
Keira menunduk, tampak merenung. “Maaf ya, Kek. Aku mungkin butuh waktu untuk mikir dulu.”
Devin mengangguk pengertian, memberikan waktu yang Keira butuhkan.
Tok, tok, tok.
Suara ketukan di pintu memecah keheningan. “Masuk,” jawab Devin.
George, orang kepercayaan Norman, masuk ke dalam dengan wajah serius. Di belakangnya, tampak Kian yang langsung memandang Keira dengan penuh rasa ingin tahu.
“Nungguin lama, Kek,” keluh Kian dengan nada setengah bercanda. “Udah kayak nunggu pergantian era, nih.”
Devin hanya menghela napas, merasa enggan berdebat. "Iya, iya, ini juga udah selesai kok."
George pun segera menyampaikan kabar, “Om, nilai saham perusahaan mulai naik lagi.”
“Hah?” Devin terkejut. “Kok bisa?”
“LY Group. Mereka beli sepuluh persen saham dari tiap perusahaan yang ada di bawah Keinan Group,” jelas George. “Mereka juga ngajak ketemuan buat bahas kerja sama.”
Devin tampak bingung sekaligus takjub. “Seriusan? Kapan ketemuan?”
“Besok, jam 12 siang,” jawab George singkat.
Devin mengangguk, berpikir sejenak. “Baik. Saya juga ikut. Ra, Ian, kalian berdua ikut, ya.”
Keira dan Kian hanya bisa mengangguk, walaupun mereka belum sepenuhnya paham apa yang sebenarnya terjadi.
Keesokan harinya
Devin, George, Kian, dan Keira sudah duduk di kafe yang sudah disepakati, menunggu pemilik LY Group datang. Setengah jam berlalu, tetapi tak ada tanda-tanda kehadiran mereka.
Kian mulai menghela napas panjang, menidurkan kepalanya di atas meja dan menatap es kopi Americano yang mulai tak dingin lagi. “Kek, berapa lama lagi sih?”
“Sabar, Ian. Mungkin mereka masih di jalan,” sahut George, mencoba menenangkan.
“Ya Allah, ini sih sibuk banget. Presiden aja kalah sibuknya,” celetuk Kian, membuat Keira terkekeh.
“Jangan gitu, Ian,” tegur Keira lembut.
Namun, belum sempat Kian melanjutkan keluhannya, pintu kafe terbuka, disertai bunyi bel kecil yang menggema. Dua pria muda dengan jas rapi masuk, melangkah cepat ke arah meja mereka.
Salah satu pria itu menunduk dalam-dalam. “Maafkan kami atas keterlambatan ini, Pak Devin,” ucapnya.
Devin yang awalnya hanya tersenyum sopan mendadak berubah ekspresinya. Matanya berbinar melihat pria muda di depannya. “Keenan!” Serunya penuh kebahagiaan, langsung memeluk pria muda itu dengan erat.
“Akhirnya, kamu pulang juga, Nan,” bisik Devin dengan nada penuh emosi.
Keira, Kian, dan George memandang dengan bingung, tidak menyangka akan melihat reaksi sebesar itu dari Devin. Setelah beberapa saat, Devin pun melepaskan pelukannya, merangkul pria muda itu sambil tersenyum lebar.
“Maaf ya, belum sempat ngenalin dia ke kalian. Kenalin, ini Muhammad Keenan Ganendra,” ucap Devin bangga.
Keira mengerutkan dahi. “Ganendra? Nama belakangnya sama kayak aku?”
Devin menatap Keira, wajahnya serius. “Iya, Ra. Dia… abang kamu.”
"Hah?!”