Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 31 ~
Aku dan Lala tiba di rumah sekitar pukul setengah enam sore. Ku gendong Lala kemudian menarik koper di tangan kiriku, berharap saat pintu gerbang terbuka, netraku langsung di suguhi oleh mobil Arimbi yang terparkir di halaman atau garasi.
Selagi aku memencet bel, jantungku berdetak layaknya laju kendaraan yang melewati jalan tol, cepat tak terkontrol.
Menurutku hari ini adalah hari terburuk sepanjang masa. Baru saja pulang dinas, sudah badan lelah, istri menghilang entah kemana, di tambah urusan dengan Lala nanti.
Aku merasa kesialan datang setiap kali aku pulang dari tugas negara.
Dulu Hana, sekarang Arimbi?
Tak lama setelah memencet bel, pintu gerbang terbuka, Jim seperti kaget melihatku berdiri dengan menggendong Lala.
Saat aku tak mendapati mobil Arimbi di halaman, rasa cemasku kian menjadi. Tapi masih ada harapan sebab pintu garasi tertutup, semoga saja di dalam sana ada mobil Arimbi.
"Pak Bima sudah pulang?" tanya Jimmy ramah.
"Sudah" Sahutku kemudian membenarkan gendongan Lala. "Ibu sudah pulang, Jim?"
"Belum pak"
Dan jantungku makin tak karuan setelah mendengar jawaban Jimmy. Persekian detik kemudian aku merasa kesulitan untuk sekedar menelan ludahku sendiri.
Menghela napas, aku terus berusaha menormalkan detakan jantungku.
"Setelah menutup gerbang, tolong bawa masuk koper saya Jim, letakkan di ruang tengah"
"Siap pak Bima"
"Saya masuk dulu"
Aku melangkah setelah Jimmy mengangguk.
Kini aku lebih ringan membawa Lala sebab tak lagi menggunakan satu tangan untuk menggendongnya.
"Bunda di rumah kan yah?"
"Ayah belum tahu, La. Semoga saja sudah pulang ya"
Lala meresponku dengan anggukan kepala.
Sementara aku, masih di liputi ketakutan yang terus merongrongku.
"Duduk di sini, ayah bantu lepas sepatu Lala" Aku mendudukan Lala di kursi teras, kemudian langsung berjongkok dan melepas sepatu juga kaos kakinya.
"Lala mau masuk, yah" ucapanya setelah kedua sepatunya terlepas.
"Bunda ... Lala sama ayah pulang!"
Hening tak ada jawaban.
"Bun?"
Suara Lala kian jauh, aku yakin dia sudah berada di ruang tengah bahkan sudah sampai di dapur atau menaiki tangga untuk memeriksa kamar Arimbi.
Kepalaku reflek menggeleng. Dengan lesu sekaligus gusar aku melepas sepatuku.
Aku dan Arimbi memang memiliki kebiasaan yang sama. Sepulang kerja, kami selalu duduk di teras sejenak untuk melepas sepatu. Setelah duduk sekitar satu menit, baru kami akan masuk.
Bi, kemana kamu? Putrimu mencarimu!
Dalam dudukku, aku mengulas sesuatu yang terjadi sebelum Arimbi tak ada kabar.
Aku berusaha keras mengingat sesuatu atau barangkali aku membuat kesalahan, tapi nihil.
Setelah ku telusuri, mulai dari semalam kami mengobrol hingga pukul sebelas malam, sampai aku berada di sekolah Lala, tak ku temukan satu kesalahan yang ku buat.
Apa Arimbi benar-benar lelah dengan kondisi kami?
Baik semalam atau kemarin-kemarin kami tak ada masalah apapun, aku menelfonnya setiap malam, dia tidak mengatakan soal kepergiannya.
Mendadak aku kembali merasakan kekhawatiran.
Berbagai prasangka buruk langsung masuk memenuhi isi kepalaku.
Apa dia sengaja pergi dengan pria lain? Atau seseorang menculiknya?
Tidak mungkin.
Aku menggeleng-gelengkan kepala.
Arimbi tak ada musuh, aku juga tak memiliki musuh.
Dugaan sementara, Arimbi sengaja pergi, kalau tidak pergi sendiri, dia pergi dengan seorang pria.
Saka??
Ah aku tak memiliki nomor ponselnya.
"Ayah" Tiba-tiba Lala memanggilku dengan suara khas anak yang nyaris menangis. Aku menoleh menatapnya penuh rasa iba.
"Bunda nggak ada" Dia melangkah menghampiriku dengan mata berkaca-kaca, dan itu membuat hatiku teriris.
"Bunda belum pulang, yah"
"Mungkin sebentar lagi nak"
"Telfon bunda sekarang, tanyakan bunda dimana"
"Tadi ayah sudah telfon pas Lala ke dalam, bunda bilang, Lala suruh mandi dulu, setelah mandi makan"
"Terus bundanya kapan pulang?"
"Ya kalau Lala sudah mandi sama sudah makan"
Lala terdiam, dia seperti tengah mencerna ucapanku.
"Ayo yah, mandiin Lala sekarang" Pintanya setelah tadi diam hampir setengah menit.
"Okay, ayo ayah bantu Lala mandi" Di tengah-tengah langkahku, aku memesan makanan via online.
Aku harus pastikan Lala sudah mandi dan makan, baru setelah itu akan mempersiapkan jawaban bijak kalau-kalau Lala kembali menanyakan bundanya.
Tapi seratus persen, Lala pasti akan kembali bertanya soal Arimbi.
***
Baru saja selesai makan, seperti yang ku duga, dia kembali teringat akan bundanya yang sampai detik ini belum juga Pulang.
Karena aku tak tahu Arimbi kemana dan kapan akan pulang, aku sudah memesan Jimmy untuk berjaga malam ini di rumahku, sementara aku berniat ke rumah mami.
"Yah, kok bunda belum pulang? Ini kan udah malam-malam"
Reflek sepasang mataku menatap jarum jam yang menandakan pukul delapan. Sedari tadi aku menghubungi nomor Arimbi yang masih belum aktif. Aku kembali menelfon Riska dan dia bersedia membantuku menghubungi teman-temannya.
Aku juga menelfon ibu mertuaku, tapi beliau justru menanyakan kabar Arimbi dan Lala. Dari situ aku tahu kalau Arimbi tidak pulang ke rumah orang tuanya.
Saat aku menghubungi rumah sakit tempat Saka bekerja, aku di sambungkan dengannya oleh pegawai resepsionis, ketika panggilan berhasil tersambung, Saka mengatakan kalau dia tak bertemu Arimbi setelah terakhir bertemu di restauran.
Dari situ aku juga tahu kalau Arimbi tidak bersama Saka.
Meski kamu suka kabur saat bicara denganku, tapi ini bukan sifat kamu pergi tanpa kabar, Bi.
"Ayah, bunda kemana?" Putriku sudah mulai jenuh dengan alasan yang ku buat.
"Bunda masih sibuk, sayang"
"Kenapa lama-lama sibuknya, bunda nggak pernah pulang malam-malam, yah"
"Kita tunggu sebentar lagi ya"
Jujur saja hatiku sedih melihat putriku seperti ini. Reaksinya terhadap ucapanku tadi memberi rasa nyeri di dalam sana. Tapi entah kenapa rasa bersalahku terhadapnya jauh lebih menguasai.
Andai aku melihat Arimbi sejak pertama kali dia memasuki rumahku, andai saja aku menerima ketulusannya merawat Lala dari dulu, mungkin ini semua nggak akan terjadi.
Rasa bersalahku membuatku tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi Lala.
Mendesah pelan, ku bawa Lala ke kamarku untuk mengajaknya bicara. Setelah itu akan ku bawa dia ke rumah mami sementara aku akan mencari bundanya. Entah akan ku cari kemana, yang terpenting Lala di rumah mami dulu.
"Maafin ayah ya, La"
Lala membalas tatapanku setelah ku dudukan tubuhnya di sisi ranjang. Aku menempatkan diri dengan berjongkok di hadapan Lala.
"Ayah belum tahu bunda kemana. Tapi ayah janji akan cari bunda sampai ketemu"
"Bunda pergi?" Dua kata yang tersirat sebuah pertanyaan.
"Bunda nggak pergi, nak. Bunda ada acara"
"Lala mau bunda" Tangisnya langsung pecah kemudian memelukku erat.
"Mau bunda, yah!" ulangnya dengan tangis makin menjadi.
"Maafin ayah ya, ayah yang salah"
"Apa ayah marah-marahin bunda lagi?" Anak ini melepaskan diri dari pelukanku.
"Enggak, nak"
"Ayah bohong, ayah pasti marahin bunda, makannya bunda pergi"
"Ayah minta maaf La, tapi ayah nggak marahin bunda. Lala jangan nangis, sekarang kita ke rumah oma, kita cari bunda"
"Lala nggak mau bunda pergi, yah. Lala takut sendirian" Raungnya masih dengan tangisan.
"Lala nggak akan sendirian kok, kan ada ayah, ada oma, ada opa, ada budhe Zara dan budhe Kanes juga, kami sayang sama Lala"
"Tapi Lala maunya bunda, nggak mau yang lain"
"Iya, nanti bunda pulang, bunda nggak akan tinggalin Lala, bunda sudah janji waktu itu kan? Lala ingat janji bunda?"
Lala mengangguk pelan, kemudian aku mengusap pipinya yang basah.
"Lala tunggu disini, ayah ganti baju setelah itu kita ke rumah oma"
"Cari bunda"
"Okay, anak ayah"
Setelah Lala sudah lebih tenang, aku bangkit lalu melangkah ke arah lemari.
Selain kamar mandi yang baru di ganti aromatherapinya, di lemariku juga ada aromatherapi baru yang tergantung.
Wanita itu benar-benar mengurus semuanya. dengan baik dan rapi.
Entah Amarah, kecewa, atau bahagia yang akan ku luapkan ketika dia pulang nanti.
Sungguh dalam lubuk hatiku, aku ingin memeluknya, tapi juga ingin memarahinya habis-habisan.
Bersambung.
Semangat berkarya