Tak perlu menjelaskan pada siapapun tentang dirimu. Karena yang menyukaimu tak butuh itu, dan yang membencimu tak akan mempercayainya.
Dalam hidup aku sudah merasakan begitu banyak kepedihan dan kecewa, namun berharap pada manusia adalah kekecewaan terbesar dan menyakitkan di hidup ini.
Persekongkolan antara mantan suami dan sahabatku, telah menghancurkan hidupku sehancur hancurnya. Batin dan mentalku terbunuh secara berlahan.
Tuhan... salahkah jika aku mendendam?
Yuk, ikuti kisah cerita seorang wanita terdzalimi dengan judul Dendam Terpendam Seorang Istri. Jangan lupa tinggalkan jejak untuk author ya, kasih like, love, vote dan komentarnya.
Semoga kita semua senantiasa diberikan kemudahan dalam setiap ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DTSI 21
"Salwa, apa kamu betah tinggal dengan ibumu?" Suara Wandi terdengar mulai membuka obrolan dengan sang anak.
"Betah, dan senang. Memangnya kenapa ayah nanyain itu?" Sahut Salwa tegas, anak seusianya tapi sudah punya pemikiran yang layaknya orang dewasa. Salwa sudah bisa memahami apa yang terjadi pada orang tuanya dan sudah bisa mengerti bagaimana sikap ayahnya.
"Salwa lebih baik ikut sama ayah saja. Nanti ayah akan belikan sepeda lipat baru dan juga sekolah di tempat nenek, disana banyak temannya dan Salwa juga gak tinggal dirumah jelek begini. Rumah nenek Patmi kan besar dan bagus. Ikut ayah pulang ke rumah nenek ya?" Sambung Wandi yang tengah berusaha mempengaruhi anaknya agar mau ikut dengannya dan tinggal di kampung bersama ibunya. Niatnya agar Salwa bisa menemani ibunya yang sudah tua dan agar bisa membantu ibunya dirumah. Kedatangan Wandi juga ada campur tangan Bu Patmi.
"Gak mau, Salwa mau tinggal di sini saja. Salwa bahagia kok tinggal dirumah ini, meskipun kecil tapi semua sayang sama Salwa. Mama gak pernah jahat ke Salwa, nenek juga sangat menyayangi Salwa, mbak Rina juga perhatian dan sayang Salwa. Semua yang ada disini sayang Salwa." Sahut Salwa polos dan jujur, karena Salwa juga tak suka jika harus tinggal dengan keluarganya Wandi, yang seringkali mengabaikan keberadaannya.
"Kamu jangan keras kepala, Salwa. Sudah syukur ayah mau ngajak kamu. Apa enaknya tinggal dengan ibu kamu yang miskin itu." Wandi sedikit emosi karena Salwa tidak juga mau menuruti keinginannya.
"Maafkan Salwa, ayah. Salwa tetap mau sama mama. Gak papa miskin, tapi mama selalu mencukupi kebutuhan Salwa. Salwa bahagia tinggal di sini." Balas Salwa yang mulai berkaca kaca matanya. Ada perasaan sakit yang menggores ulu hatinya tiap kali berhadapan dengan ayahnya. Sikap Wandi yang selalu saja seenaknya dan acuh akan perasaan sang anak. Membuat Salwa membentengi dirinya untuk dekat dengan sosok ayahnya itu.
"Ayah gak mau tau, pokoknya kamu harus ikut ayah dan tinggal dengan nenek di kampung. Cepat kemasi baju baju kamu dan alat sekolah kamu. Ayah tunggu dan jangan membantah lagi, paham?" Bentak Wandi yang sudah tak tahan lagi dengan penolakan Salwa.
"Jangan bentak bentak anakku!
Siapa kamu, kenapa begitu jahat pada darah dagingmu sendiri?" Ningsih yang sudah tak tahan mendengar suara kasar Wandi yang membentak Salwa, akhirnya keluar dan menatap nyalang ke arah mantan suaminya itu.
"Aku punya hak bawa anakku, dia akan hidup lebih baik jika ikut denganku. Dari pada harus tinggal dengan orang miskin dan lemah kayak kamu. Mau jadi apa anakku nanti, gembel?" Sungut Wandi dengan wajah mengeras, bibirnya mengukir senyum miring penuh cemooh pada Ningsih.
"Setidaknya anakku bahagia dan nyaman bersamaku disini. Dan dia juga tidak kekurangan apapun, masih bisa sekolah dengan kayak. Makan bergizi, masih bisa minum susu seperti biasa dan juga masih sanggup membeli jajan yang dia mau. Setidaknya aku tau bagaimana cara merawat dan menjaga anakku dengan cinta dan kasih sayang sebagai orang tua. Dan aku tidak melupakan tanggung jawabku pada darah dagingku. Lalu, kamu?
Kemana saja kamu selama ini, sepeserpun kamu tak lagi memberikan nafkah untuk Salwa?
Jangankan memberi nafkah, sekedar menelpon menanyakan kabar saja kamu tidak pernah. Jadi jangan bicara soal hak disini, kamu tak memiliki itu pada diri anakku, paham?" Tekan Ningsih yang sudah terlanjur emosi dengan sikap Wandi yang tidak tau malu.
"Aku bukan orang bodoh!
Mana Sudi aku memberikan uang kepada Salwa, sedangkan dia tinggal dengan kamu. Bisa bisa uangnya habis buat kebutuhanmu dan keluarga kamu yang kere ini. Enak saja mau memeras ku, dasar benalu!" Sahut Wandi tak berperasaan, sungguh pikirannya begitu picik dan dangkal.
"Susah ya, ngomong sama orang yang tak punya otak. Anak adalah kewajiban orang tuanya, terutama kamu bapaknya. Tak perduli dia tinggal dengan siapapun, namanya kewajiban ya kewajiban, jadi jangan banyak alasan untuk mengelak dari kewajiban itu, tapi ya maklum sih. Kamu kan banci, dan bukan manusia. Jadi tidak akan paham dengan yang namanya kewajiban!" Seru Ningsih dengan begitu beraninya.
"Kurang ajar, dasar perempuan gila. Jaga mulutmu itu, kalau tidak mau aku bersikap kasar." Bentak Wandi yang langsung murka oleh penghinaan yang dilontarkan oleh Ningsih.
"Aku hanya bicara fakta saja, kalau tidak terima ya itu urusan kamu!" jawab Ningsih dengan ketus dan datar.
"Pergilah, Salwa akan tetap disini. Jangan jadikan anakku pembantu dirumah ibumu, gak rela dan gak iklas aku sebagai ibunya. Jangan kamu pikir, aku tidak tau maksud dan tujuan kamu ingin membawa Salwa. Maaf mas, aku gak sebodoh itu!" Sambung Ningsih dengan wajah penuh kebencian.
"Aku ayahnya, aku berhak bawa Salwa kapanpun aku mau. Kamu jangan menghalangi, karena Salwa akan jauh lebih baik tinggal dengan ibuku. Dan jaga mulut kamu, berhenti punya pikiran buruk tentang keluargaku." Geram Wandi yang sudah benar benar emosi dengan sikap mantan istrinya yang kini jauh berubah. Ningsih begitu berani dan begitu tegas, berbeda dengan Ningsih yang dulu, yang selalu manut dan diam meskipun diperlakukan tidak adil.
"Pergilah, tidak usah ngeyel dan teriak teriak. Apa perlu aku panggilkan warga untuk mengusir kamu?" Balas Ningsih yang masih bersikap dingin dan sinis pada Wandi.
"Salwa, mama mau tanya. Salwa mau ikut ayah atau tetap disini dengan mama?" Sambung Ningsih yang mengalihkan pandangannya pada sang anak yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Salwa mau sama mama, tak mau ikut ayah." Sahut Salwa dengan wajah sendu menatap Ningsih penuh permohonan.
"Kamu dengarkan, mas?
Salwa tidak mau ikut denganmu, jadi pergilah. Jangan buat keributan di rumah orang. Oh iya, kalau tidak mau memberikan nafkah pada anakmu, setidaknya jangan lukai hatinya dengan sikap kasar mu itu. Paham?" Sambung Ningsih yang menatap penuh intimidasi pada mantan suaminya.
"Dasar sombong, awas saja. Aku akan membuatmu menyesal karena sudah merendahkanku di mata anakku sendiri!" Sungut Wandi yang langsung pergi tanpa sedikitpun menyapa sang anak yang menatapnya dengan hati terluka.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
jangan lupa mampir juga di karya aku yang lain.
Novel baru :
#Dendam terpendam seorang istri
Novel Tamat
#Anak yang tak dianggap
#Tentang luka istri kedua
#Tekanan Dari Mantan Suami (Tamat)
#Cinta dalam ikatan Takdir (Tamat)
#Coretan pena Hawa (Tamat)
#Cinta suamiku untuk wanita lain (Tamat)
#Sekar Arumi (Tamat)
#Wanita kedua (Tamat)
#Kasih sayang yang salah (Tamat)
#Cinta berbalut Nafsu ( Tamat )
#Karena warisan Anakku mati di tanganku (Tamat)
#Ayahku lebih memilih wanita Lain (Tamat)
#Saat Cinta Harus Memilih ( Tamat)
#Menjadi Gundik Suami Sendiri [ tamat ]
#Bidadari Salju [ tamat ]
#Ganti istri [Tamat]
#Wanita sebatang kara [Tamat]
#Ternyata aku yang kedua [Tamat]
Peluk sayang dari jauh, semoga kita senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan dalam setiap langkah yang kita jalani.
Haturnuhun sudah baca karya karya Hawa dan jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, komentar dan love nya ya say ❤️
gabung bcm yu
..
follow me ya thx