Raisha seorang agen rahasia ditugaskan menjaga seorang pegawai kantor bernama Arya dari kemungkinan ancaman pembunuhan Dr. Brain, seorang ilmuwan gila yang terobsesi menguasai negara dan dunia menggunakan alat pengendali pikiran yang terus di upgrade menggunakan energi kecerdasan orang-orang jenius. Temukan keseruan konflik cinta, keluarga, ketegangan dan plot twist mengejutkan dalam novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Here Line, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22 : Menuju Bandara
Di tampilan browser terdapat beberapa cuplikan artikel yang menunjukan beberapa kombinasi enam angka.
Raisha membuka beberapa link lalu meneliti artikel dan jurnal online itu, berusaha menmukan dan memahami enam digit yang mungkin untuk membuka kotak metal itu.
“Kuharap digit yang benar memang bukan angka sembarang yang hanya bisa kita temukan di artikel-artikel ilmiah ini,” gumamnya sambil memusatkan perhatian. “Pasti ada pola di sini yang berhubungan dengan otak atau ilmu pengetahuan.”
Arya, berdiri di belakangnya, tampak gelisah. “Kamu menemukan sesuatu?” tanyanya dengan nada cemas.
Raisha berhenti sejenak sebelum menunjuk layar. “Lihat ini.” Ia memperbesar grafik di layar. “Angka 345589. Ini adalah bagian dari deret Fibonacci. Jika kita memperhatikan lebih jauh, deret Fibonacci sering muncul dalam berbagai penelitian otak terkait pola geometris di korteks visual.”
Arya mengangguk, mencoba mengikuti penjelasan. “Jadi, kamu pikir ini bisa menjadi kombinasi kunci?”
“Mungkin saja. Kakek mungkin memilih deret ini karena keistimewaannya. Banyak hal di alam, termasuk otak manusia, mengikuti pola Fibonacci.”
Dengan hati-hati, Raisha mengambil lup dan pinset lalu mencoba memutar roda kombinasi di kotak metal itu. Ia menyelesaikan beberapa detik, 345589, dengan napas tertahan.
Namun, setelah itu tidak ada suara mekanisme terbuka. Kotak metal itu tetap terkunci rapat.
Raisha membuang napas. “Ini tidak berhasil.”
Arya mengernyit. “Kalau begitu, coba kombinasi lain!”
“Ya.” Raisha membuka tab lain di layar. “Ini, 262144. Itu adalah salah satu hasil dari teori potensiasi jangka panjang, konsep yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana koneksi sinaptik otak diperkuat. Otak manusia menggunakan angka seperti ini untuk menggambarkan perkembangan eksponensial sinapsis.”
Arya menyentuh dagunya, tampak tertarik. “Terdengar masuk akal.”
Raisha memasukkan kombinasi itu ke kotak metal. Namun lagi-lagi, kunci tidak terbuka.
Frustrasi mulai merayap di wajahnya, tetapi ia tidak menyerah. “Oke, ada lagi.”
Ia menggeser halaman ke tabel berikutnya. “412315. Ini adalah rasio panjang gelombang suara yang dipercaya bisa merangsang gelombang otak alfa, biasanya berhubungan dengan konsentrasi dan meditasi.”
Arya tersenyum samar. “Mungkin kotak ini ingin memastikan kita tetap tenang saat mencoba membukanya?”
Raisha tertawa kecil, meski ketegangannya jelas terlihat. Ia memasukkan angka itu dengan hati-hati. Namun, kotak metal itu tetap diam, seperti mengejek upaya mereka.
“Bagaimana dengan ini?” Arya menunjuk artikel lain yang terbuka di layar.
Raisha membaca dengan saksama. “289672. Itu adalah hasil eksperimen neuroplastisitas otak yang berhubungan dengan daya ingat spasial. Kurasa ini juga masuk akal.”
Namun, hasilnya tetap sama. Kotak itu menolak terbuka.
Setelah lebih dari setengah jam mencoba, Raisha akhirnya meletakkan pinset dan lup di meja dengan nada frustrasi. “Semua angka ini memiliki dasar ilmiah, dan masuk akal jika salah satunya menjadi kombinasi kunci. Tapi tidak ada yang berhasil!”
Arya mencoba menghiburnya, meski kekecewaannya juga jelas terlihat. “Mungkin kodenya memang tidak akan pernah ditemukan dengan cara ini.”
Raisha menatap kotak metal di meja dengan pandangan lelah. “Seperti yang kamu bilang, mungkin kode seperti ingin akan terlalu mudah ditebak, dan mungkin kodenya memang sesuatu yang sangat pribadi, mungkin, aku tidak yakin,”
Di ruang pusat informasi NIMBIS, Greg sedang menatap monitor besar yang dipenuhi peta dan laporan situasi dari lapangan. Pegawai-pegawai di ruangan itu sibuk mengetik atau berbicara melalui headset, suasana penuh kesibukan dan ketegangan.
Raisha dan Arya masuk ke ruangan, langkah mereka cepat dan pasti. Greg menoleh, matanya memandang mereka dengan alis terangkat. "Apa yang terjadi?"
Raisha menjelaskan situasinya, mulai dari kegagalan mereka membuka kotak metal hingga dugaan bahwa buku kakeknya yang kini ada di Kalimantan mungkin memegang kunci kombinasi yang mereka cari. Greg mendengarkan dengan serius, meski sesekali ekspresinya tampak skeptis.
"Jadi, kalung ini benar-benar bisa memblok gelombang kendali dari Dr. Brain?" tanya Greg.
Raisha mengangguk. "Ya. Dan kami perlu membuka kombinasi kunci di kotak melatalnya. Kami perlu mempelajari kalung ini untuk membuat teknologi di dalamnya bisa direproduksi. Kami membutuhkan kode yang benar untuk membukanya."
Greg menghela napas panjang. "Kenapa kalian tidak mencari buku lain dengan judul yang sama? Bukankah itu lebih cepat daripada pergi ke Kalimantan?"
Raisha menggeleng. "Buku itu termasuk buku langka, dan kami tidak tahu apakah ada orang lain yang memilikinya. Lagi pula, ada kemungkinan bahwa kode yang kami butuhkan adalah tulisan tangan kakekku di buku itu, kami tidak tahu pasti, sampai kami melihatnya langsung,” terang Raisha sambil meirik ke arah
"Sudah coba menghubungi seseorang di sana?" tanya Greg lagi.
Raisha tersenyum pahit. "Nenekku masih tinggal di sana, tapi penglihatannya tidak begitu baik. Ia tidak bisa banyak membantu."
Greg terdiam, pikirannya bekerja keras. Namun, saat salah satu pegawai melaporkan bahwa semakin banyak orang kehilangan kesadaran dan kendali, termasuk anggota NIMBIS di lapangan, keputusan itu semakin jelas baginya.
Kalau begitu, enapa tidak kita buka paksa saja kotak metal ini? Mungkin kita bisa menemukan cara tanpa harus repot ke Kalimantan."
Arya menggeleng dengan tegas. "Itu terlalu berisiko. Bagian dalamnya bisa rusak. Kita tidak tahu benda atau perangkat apa yang ada di dalamnya."
"Baik," kata Greg akhirnya. "Kalau begitu, segeralah kalian pergi ke Kalimantan. Cepat selesaikan ini dan kembali." Greg menghela napas panjang. "Aku akan mengatur agar kalian menggunakan pesawat jet supersonik NIMBIS. Cepatlah, dan ingat, kalian harus segera kembali dengan hasil."
“Baik!” jawab Arya dan Raisha.
Ada perasaan hangat dalam dada Arya, perasaan hangat yang merubah suasana hatinya kepada Greg yang selama ini terasa begitu kaku dan dingin. Namun perasaan hangat itu segera berubah jadi getaran ketakutan, mengingat benda apa yang akan dia dan Raisha tumpangi.
Greg segera menelepon seseorang dan membicarakan kesiapan pesawat jet.
Arya menoleh ke arah Raisha, wajahnya tegang. Melihat Greg sibuk berbicara melalui telepon untuk mengatur keberangkatan mereka, Arya berbisik pelan :
"Raisha... Aku tidak yakin bisa naik jet supersonik. Aku takut ketinggian dan kecepatan ekstrem."
Raisha menoleh dengan senyum kecil, meski dalam hatinya juga ada rasa khawatir. "Kkita tidak punya pilihan lain, dan kamu harus ikut."
Greg menutup teleponnya dan kembali menghadap mereka. "Pilot dan copilot sudah bersiap di Bandara Soekarno-Hatta. Pergilah sekarang. Aku beri kalian waktu dua jam. Segera buka kotak metal itu, pelajari, tiru, dan produksi sebanyak mungkin. Biaya tidak perlu kalian pikirkan. Laksanakan."
Tanpa banyak bicara lagi, Raisha dan Arya segera meninggalkan ruangan itu. Mereka melesat keluar markas NIMBIS dengan mobil Raisha, menuju bandara Soekarno-Hatta.
TBC
Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di cerita ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Nantikan chapter berikutnya, daaah... !!!