Cintanya pada almarhumah ibu membuat dendam tersendiri pada ayah kandungnya membuatnya samam sekali tidak percaya akan adanya cinta. Baginya wanita adalah sosok makhluk yang begitu merepotkan dan patut untuk di singkirkan jauh dalam kehidupannya.
Suatu ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis namun sayangnya gadis tersebut adalah kekasih kakaknya. Kakak yang selalu serius dalam segala hal dan kesalah pahaman terjadi hingga akhirnya.........
KONFLIK, Harap SKIP jika tidak biasa dengan KONFLIK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Takut.
Dilan menghabiskan makan malamnya. Dirinya tidak bisa berkutik sedikit pun karena Bang Rama terus menunggunya makan juga menunggunya menghabiskan vitamin.
"Kenapa tidak di habiskan??" Tanya Bang Rama karena Dilan menyudahi acara makannya.
"Eneg, Bang. Dilan nggak kuat lagi." Jawab Dilan mulai menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.
Bang Rama mengambil piring nasi milik Dinar lalu menyuapinya. "Di coba, paksa sedikit. Kalau kamu tidak mau makan pasti badanmu lemas. Si adek juga lama besarnya di perut." Bujuk Bang Rama dengan sabar meskipun Dilan menolaknya.
Dilan terdiam, kedua bola matanya meremang memerah menahan air mata. Mungkin sudah sekuat tenaga namun akhirnya air mata itu tetap ingin lepas dari wadahnya.
Sekali lagi Bang Rama mencoba menyuapinya namun lagi-lagi Dilan menolaknya.
"Dilan nggak mau, tolong jangan paksa Dilan. Kenapa Dilan di lahirkan?? Kenapa Dilan menjadi beban semua orang?? Kenapa Abang tidak membuat Dilan mati??" Ucap Dilan dalam kalutnya perasaannya.
"Ngomong apa kamu ini? Jangan bicara macam-macam..!! Nggak baik." Bang Rama kembali mencoba menyuapi Dilan untuk ketiga kalinya.
Bang Rama meletakan sendoknya lalu mengajak Dilan duduk di teras belakang rumahnya. Sepi, tanpa ada seorang pun berada disana. Hanya ada dirinya dan Dilan saja.
~
Arah pandang mata Bang Rama menatap ke langit luas. Ia menunjuk satu bintang terang di atas sana.
"Sekarang katakan apa inginmu? Abang akan dengarkan..!!"
Dilan menoleh, ia memperhatikan raut wajah Bang Rama lalu kemudian ikut menatap ke arah langit.
"Jika aku bisa terlahir kembali, aku ingin melihat rupa kedua orang tuaku? Jika tidak bisa memilih, tolong jangan berikan aku pada orang yang memungutku." Ucap Dilan lirih. "Jika kata orang masa kecil adalah masa paling membahagiakan, lantas kemana hilangnya masa kecilku?? Jika masa kecil adalah masa termanis, kenapa hanya rasa terpahit yang kurasakan."
Bibir Dilan terdiam sejenak, ia mengatur nafasnya yang terasa berat.
"Apalagi??"
"Rasanya Dilan ingin mati, harus berpura-pura kuat setiap hari ternyata sangat berat, sangat menyakitkan. Dilan sungguh tidak sanggup menjalaninya." Ucap Dilan masih tetap pada pendiriannya untuk menahan tangisnya.
"Manusia memiliki batas kesabaran dan kesanggupan. Kalau kamu ingin menangis, menangis lah dan jangan di tahan. Semakin kamu berusaha menahannya, rasanya akan semakin sakit." Bang Rama menepuk bahunya. "Menangis lah disini, bahu suamimu ini kuat untukmu bersandar."
"Dilan tidak mau, Dilan tidak butuh bahu. Dilan hanya ingin mati..!!" Pekik Dilan.
Terpaksa Bang Rama menarik Dilan ke dalam pelukannya. "Lupakan.. lupakan semua..!! Anak ini adalah anak saya..!! Saya akan menyayangimu dan anak ini dengan sepenuh hati. Biarkan Bang Ge menyangka anak ini adalah anaknya, biarkan dia meratapi kecerobohannya karena 'main perempuan' sampai nanti dia akan menyadari semuanya. Posisikan dirimu sebagai istri saya, lupakan masa lalu, kita buka lembar hidup yang baru. Mereka yang ada disana tidak akan pernah berani mengusikmu lagi..!!"
Sungguh Dilan terhantam rasa terkejut yang teramat sangat. Hatinya terus bertanya-tanya tentang sosok yang ada di hadapannya ini. Ia melepas pelukan tersebut tapi Bang Rama menahannya.
"Apa yang Abang tau dari Dilan???" Dilan pun berontak tak karuan.
"Itu tidak penting."
"Apa?? Cepat jawab, Bang?????" Dilan semakin berontak ingin lepas dari Bang Rama.
"Semuanya, hingga sekecil-kecilnya." Jawab Bang Rama tenang.
"Kenapa Abang tidak bilang?? Apa mau Abang??? Kenapa Abang menikahi Dilan yang memang seorang pel**ur????" Dilan tidak bisa menguasai diri. Ia menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan Bang Rama.
Bang Rama terus menenangkannya, tangannya mengusap punggung Dilan dengan lembut.
Paham Dilan semakin melemah, Bang Rama segera membawanya ke dalam kamar.
:
Dilan sudah mulai lebih tenang meskipun masih ada sisa tangis di wajahnya. Nyaris tak ada kata dari mulutnya. Yang ia rasakan hanya sesak di dada.
"Tidurlah, Abang temani sampai kamu tidur..!!" Kata Bang Rama.
"Apa alasan Abang menikahi Dilan?? Bukankah masih banyak wanita yang melebihi Dilan, bahkan masih gadis."
"Abang bukan type pria yang mempermasalahkan perkara selang****an. Abang lebih memilih janda tapi setia daripada gadis rasa janda. Perlu kamu tau, janda bukanlah predikat hina." Jawab Bang Rama sambil membenahi anak rambut Dilan.
Bang Rama mengambil tissue di meja nakas. Ia mengusap air mata Dinar. "Abang menikahimu bukan untuk membuatmu menangis.
Kedua bola mata Dilan terus menatap wajah Bang Rama tanpa beralih sedikit pun. Hatinya gelisah, tiba-tiba dirinya dilanda ketakutan yang teramat sangat. Dilan takut jika dirinya akan jatuh cinta pada Utusan dari Tuhan di hadapannya ini.
"Kenapa menatap Abang seperti itu?? Apa sekarang sudah mulai jatuh cinta??" Tanya Bang Rama tanpa sungkan.
"Dilan tidak berani berharap lebih." Jawab Dilan.
.
.
.
.