Di tengah malam yang sunyi di Jakarta, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Dua belas remaja—Aisyah, Delisha, Gathan, Jasmine, Arka, Azzam, Queensha, Abib, Nafisah, Nizam, Seno, dan Masagena—terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 17
Setelah berhasil bertahan di dalam gedung tua yang dihantui keheningan, Aisyah dan Delisha merasa jantung mereka masih berdegup kencang, terperangkap dalam bayang-bayang. Dinding yang retak dan berlumut di sekeliling mereka tampak menyimpan cerita kelam dari masa lalu. Jendela-jendela pecah memancarkan sinar remang-remang dari luar, dan setiap desis angin membawa aroma busuk yang menyengat. Suara gemuruh di kejauhan menambah suasana mencekam, seolah-olah kota ini sendiri merintih.
Aisyah menegakkan punggungnya, kekhawatiran membayangi wajahnya yang lelah. "Kita perlu merencanakan pelarian," katanya, suara tegasnya berusaha mengatasi rasa takut yang menggelayut.
Delisha mengangguk, meski matanya tidak lepas dari bayangan di luar. Ketika dia melongok ke luar jendela, keterkejutan menerpa wajahnya. "Aisyah... lihat ini," ucapnya dengan suara bergetar. "Ada yang berbeda di antara mereka."
Di luar, antara kumpulan zombie yang merayap perlahan, satu sosok berdiri mencolok. Zombie itu lebih tinggi dan kekar, kulitnya berlubang-lubang, menunjukkan bekas luka eksperimen yang mengerikan. Gerakannya lincah, seperti predator yang siap memangsa. Ia berlari lebih cepat daripada yang lain, seolah-olah memiliki tujuan dan kesadaran.
"Ini bukan zombie biasa! Mereka mungkin sudah berevolusi atau... dimodifikasi!" Delisha berteriak, tangannya mencengkeram pinggiran jendela, matanya melebar penuh ketakutan. Jantungnya berdegup kencang, seolah berusaha melawan rasa panik yang menggelora.
Aisyah merasa perutnya berkontraksi, jiwanya merinding saat mendengar deskripsi Delisha. "Apa yang sebenarnya terjadi di luar sana?" pikirnya, "Apakah ini semua bagian dari eksperimen gila yang tidak pernah kita ketahui?"
"Aku tidak ingin menghadapi sesuatu yang lebih dari sekadar zombie, apalagi jika mereka adalah hasil modifikasi!" pikir Aisyah, tangannya bergetar. "Kami harus keluar sebelum semuanya terlambat!"
Delisha menggigit bibir bawahnya, bibirnya bergetar saat menyaksikan zombie itu bergerak lincah, menghindari rekan-rekannya yang lebih lamban. "Aisyah, kita harus cepat! Jika mereka bisa memodifikasi zombie, siapa tahu apa yang mereka lakukan kepada manusia?"
Aisyah mengangguk, merasakan peluh dingin mengalir di tengkuknya. "Kita tidak bisa bertahan di sini lebih lama lagi. Kita harus menuju pintu keluar dan menemukan tempat aman!"
Dengan langkah mantap, Aisyah berbalik dan bergegas ke pintu, ekspresi ketegangan menghiasi wajahnya. "Ayo, Delisha! Kita tidak punya banyak waktu!" Dia menarik tangan Delisha, berusaha mengeluarkannya dari ketakutan yang melumpuhkan.
Namun, saat mereka melangkah menuju pintu keluar, suara langkah kaki cepat tiba-tiba menggema di sepanjang koridor. Aisyah dan Delisha saling memandang, mata mereka berbicara dalam ketakutan yang tidak terucapkan. Zombie yang Delisha lihat sebelumnya kini meluncur cepat, seolah terbangun dari mimpi buruk.
"Dia tidak mungkin..." pikir Delisha, napasnya terasa berat. "Kami tidak bisa melawan sesuatu yang secepat itu!"
Mereka terjebak dalam ketegangan, suara langkah kaki mendekat dengan kekuatan tak terhindarkan. Kecemasan melanda pikiran Aisyah. "Kita harus segera membuat keputusan! Berlari atau melawan?" tanyanya, napasnya tercekat.
Delisha bergetar, merasakan darahnya membeku. "Kita tidak bisa melawan! Kita harus pergi sekarang!" Dia mulai berlari ke arah pintu, otaknya berputar-putar dengan ide untuk menghindari zombie itu.
Tapi saat mereka mencapai pintu, zombie itu mendekat dengan kecepatan luar biasa, dan Aisyah merasakan ketakutan menjalari seluruh tubuhnya. "Delisha, cepat!" serunya, mendorong pintu dengan sekuat tenaga.
Dalam sekejap, pilihan mereka terjepit—apakah mereka akan melawan monster modifikasi itu atau terjun ke dalam kegelapan yang menunggu di luar gedung tua? Detak jantung mereka berpacu, dan saat pintu hampir terbuka, suara geraman seram terdengar mendekat.
******
Gathan dan Jasmine terengah-engah, tubuh mereka berkeringat dan napas mereka memburu setelah berlari tanpa henti. Rumah terpencil tempat mereka berlindung tampak sunyi, tetapi kegelapan yang melingkupi menyimpan ketidakpastian. Lampu redup menggantung di langit-langit, memberikan sedikit penerangan pada ruangan yang dipenuhi wajah-wajah tegang. Di sudut, seorang pria tua duduk di kursi kayu tua, tubuhnya membungkuk di bawah beban masa lalu. Rambutnya yang putih dan tipis berkibar pelan terkena angin dari jendela yang setengah terbuka.
Pria itu menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan garis-garis kelelahan dan penyesalan. Saat dia mulai berbicara, suasana hening menebal, seolah-olah setiap kata yang keluar dari mulutnya membawa kepingan rahasia yang menakutkan.
"Kalian datang di saat yang salah...," katanya perlahan, matanya berkaca-kaca menatap lantai kayu yang berderit. Gathan menoleh pada Jasmine, alisnya berkerut seolah menuntut penjelasan lebih lanjut. "Apa maksudmu?" Gathan bertanya, suara tajamnya memecah keheningan.
Pria tua itu mengangkat kepalanya, sorot matanya kosong dan hampa. "Aku pernah bekerja di fasilitas penelitian di kota ini," katanya, suaranya penuh dengan penyesalan.
Jasmine tersentak, merasa dadanya tercekam oleh rasa penasaran yang menggelora. "Fasilitas penelitian?" pikirnya, tangannya meremas ujung jaketnya tanpa sadar.
"Kami dulu mengembangkan virus yang awalnya dirancang untuk mengendalikan perilaku manusia," lanjutnya, suaranya serak, seolah tiap kata menarik beban dari hatinya. "Tapi ada kebocoran... sesuatu yang tidak pernah kami antisipasi. Virus itu bermutasi dengan cara yang tak terbayangkan."
Gathan menggertakkan giginya, tubuhnya tegang saat ia mendekat. "Apa yang kau katakan?" desaknya. Matanya membelalak ketika pria tua itu menatapnya, sorot matanya menyiratkan kengerian yang mendalam. "Virus itu... mereka bukan hanya zombie sekarang. Mereka berevolusi menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar mayat hidup," bisiknya, suaranya bergetar. "Mereka sekarang berburu... dengan akal. Makhluk yang jauh lebih mematikan."
Jasmine mengerutkan kening, perutnya menggeliat karena rasa takut yang menjalar. "Lebih mematikan? Bagaimana mungkin?" pikirnya. "Seberapa jauh bencana ini akan berkembang?"
"Sial!" Gathan memukul dinding dengan kepalan tangan, emosinya meluap. "Kalian tahu ini bisa terjadi dan kalian tetap biarkan?!"
Pria tua itu hanya menggeleng, matanya dipenuhi penyesalan yang dalam. "Kami tidak pernah tahu... tidak pernah membayangkan... bahwa ini semua bisa terjadi." Napasnya memburu, seolah-olah setiap kata menghantam dadanya dengan beban penyesalan yang tak tertanggungkan.
"Ini lebih buruk dari yang aku duga...," pikir Gathan. "Ini bukan hanya tentang selamat dari zombie biasa. Kami menghadapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya." Dia menatap Jasmine, matanya dipenuhi kecemasan. "Apa yang harus kami lakukan sekarang?"
Jasmine menggigit bibirnya, berusaha keras menenangkan pikirannya yang terus berputar. "Jika mereka berevolusi, kita harus menemukan cara lain untuk bertahan hidup," pikirnya, rasa takut merayap di setiap sudut otaknya.
Ketika Gathan hendak menanyakan lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara geraman dari luar jendela. Suara itu rendah, menggelegar, seolah-olah sesuatu yang besar dan berbahaya berada sangat dekat.
Gathan membekukan langkahnya, matanya melebar saat suara geraman itu semakin jelas. "Kita harus pergi sekarang," bisiknya pelan namun tegas, matanya bergerak cepat menilai setiap sudut ruangan.
Namun, tepat saat mereka hendak bergerak, terdengar dentuman keras dari jendela. Kaca bergetar, membuat semua orang di ruangan itu terdiam. Jasmine membekap mulutnya, napasnya tertahan dalam dada. Jantung Gathan berpacu, perasaannya terhimpit oleh waktu yang semakin sempit.
"Zombie sudah di ambang pintu," bisik Jasmine dengan suara gemetar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Mereka tahu waktu semakin sedikit, dan pilihan mereka semakin terbatas.
Dentuman itu terdengar lagi, kali ini lebih keras, seperti sesuatu berusaha merobohkan pintu. "Tidak ada waktu!" Gathan berteriak. Mata semua orang terpaku pada pintu—dan mereka tahu bahwa apa pun yang menunggu di luar bukan hanya zombie biasa.