"Kak Zavin kenapa menciumku?"
"Kamu lupa, kalau kamu bukan adik kandungku, Viola."
Zavin dan Viola dipertemukan dalam kasus penculikan saat Zavin berusia 9 tahun dan Viola berusia 5 tahun. Hingga akhirnya Viola menjadi adik angkat Zavin.
Setelah 15 tahun berlalu, tak disangka Zavin jatuh cinta pada Viola. Dia sangat posesif dan berusaha menjauhkan Viola dari pacar toxic-nya. Namun, hubungan keduanya semakin renggang setelah Viola menemukan ayah kandungnya.
Apakah akhirnya Zavin bisa mendapatkan cinta Viola dan mengubah status mereka dari kakak-adik menjadi suami-istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
"Masih tidur? Ya sudah, sekarang kamu mandi," kata Zeva sambil tersenyum. Ia terus menatap putrinya yang berdiri di hadapannya. Ia masih tidak bisa membayangkan jika nanti Viola akan pergi meninggalkannya.
Viola hanya menganggukkan kepalanya. Setelah mamanya pergi, dia segera menutup pintunya lagi dan masuk ke dalam kamar mandi. "Kak Zavin, cepat keluar." Viola menarik Zavin yang masih duduk santai di atas kloset yang tertutup.
Zavin menggelengkan kepalanya tanpa bergerak sedikit pun karena tarikan Viola.
"Mau apa lagi?" tanya Viola. Ia melipat kedua tangannya di depan da da sambil menggembungkan pipinya menatap Zavin.
"Mandi bareng." Zavin berdiri dan menarik Viola ke bawah shower. Ia menghidupkan shower itu hingga membuat tubuh mereka berdua basah.
Viola menatap piyamanya yang basah. Lalu mendekap dirinya sendiri karena piyama itu kini menjadi tembus pandang. "Kak Zavin! Aku bilang sama Mama loh!"
Saat Viola akan keluar dari kamar mandi, Zavin menahan tangannya. Ia justru memeluk Viola dan membiarkan shower itu terus membasahi tubuh mereka berdua.
Zavin menatap dalam kedua mata Viola. Beberapa detik kemudian, ia mendekatkan wajahnya dan mencium lembut bibir yang basah itu.
Awalnya Viola tak bereaksi tapi lama kelamaan ia menikmati setiap pagutan itu. Ada desiran di dalam tubuhnya yang sulit ia artikan. Ia seolah terbawa Zavin terbang tinggi, bahkan ia tidak melarang Zavin saat menyentuh tubuhnya.
Zavin melepas satu per satu piyama Viola. Perlahan ciuman itu semakin turun ke bawah dan menyapu leher Viola.
Viola semakin mendongak. Lututnya terasa lemas merasakan sentuhan dari Zavin. Ia berpegangan erat pada bahu Zavin agar tidak terjatuh.
"Kak Zavin, jangan!" Viola menggigit bibir bawahnya karena rasa geli itu menjalar di seluruh tubuhnya saat bibir Zavin bermain di dadanya. Napasnya semakin terasa berat, ingin ia menolak tapi tubuhnya merespon dengan sempurna. Ia seperti ingin merasakannya lagi dan lagi.
Zavin melepas hisapannya. Ia menatap wajah Viola dengan napas yang memburu. "Maaf, aku kembali ke kamar dulu." Zavin keluar dari kamar mandi dan menutup pintu itu lagi.
Viola hanya termenung di bawah guyuran shower. Mengapa rasanya ia ingin sekali melakukan lebih dari itu.
...***...
Setelah selesai sarapan, Zavin menatap Viola dengan pandangan yang penuh arti. "Viola, biar aku yang antar kamu."
Viola hampir menjawab, tapi Arvin lebih dulu berbicara dan menyela percakapan. "Zavin, kamu ke tempat Om Shaka dulu. Ada berkas yang perlu kamu ambil. Biar Viola Papa yang antar."
Viola tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Papa, aku bawa motor sendiri aja. Papa kan pasti sibuk," katanya lembut, mencoba menolak dengan halus.
Arvin menatap putrinya dengan sorot mata khawatir. Di satu sisi, ia tidak ingin Viola pergi sendirian. Tapi di sisi lain, membiarkan Zavin mengantar Viola juga membuatnya merasa cemas. Ucapan Victor terus menghantui pikirannya.
"Aku berangkat dulu, Pa," kata Viola yang membuyarkan lamunan Arvin.
Arvin menghela napas panjang. "Hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi Papa."
Viola tersenyum, lalu berpamitan dengan mamanya sebelum keluar rumah. Ia memasang helmnya, menaiki motor, dan dalam hitungan detik, motor itu melaju meninggalkan halaman rumah.
Di dalam rumah, suasana berubah hening. Zavin, yang masih berdiri sambil mengenakan jasnya, merasa tatapan papanya begitu tajam menatapnya.
"Zavin, apa kamu punya perasaan sama Viola?" tanya Arvin dengan serius.
Zavin tak ragu mengangguk. "Sudah lama, Pa. Aku cinta sama Viola, karena sejak awal aku sudah menganggapnya lebih dari sekadar adik."
"Jadi, itu sebabnya kamu membantu Viola mencari orang tua kandungnya? Apa kamu juga yang menceritakan masa lalunya sampai dia bisa mengingat semuanya?" tanya Arvin.
Zavin kembali mengangguk, kali ini lebih pelan. Ada ketegangan yang mulai menyelimuti percakapan itu.
"Zavin, kamu tahu kan kalau Mama sayang sekali sama Vio? Mama nggak mau dia pergi dari rumah ini," kata Zeva sambil menatap Zavin.
"Aku tahu, Ma," jawab Zavin. "Tapi aku benar-benar cinta sama Viola, dan aku ingin menikahinya. Kalau aku menikahi Viola, dia tetap akan jadi bagian dari keluarga kita."
Zeva menghela napas panjang, seolah mencoba menenangkan diri. "Bukan itu yang Mama inginkan, Vin. Mama ingin kalian tetap jadi saudara, bukan saling jatuh cinta. Kalian seharusnya memiliki pasangan masing-masing suatu hari nanti."
"Maaf, Ma, tapi perasaanku ke Viola tidak bisa diubah. Aku benar-benar cinta sama dia," balas Zavin dengan yakin.
"Baiklah, Zavin. Tapi kamu harus tahu batasannya. Jangan mempengaruhi Viola. Biarkan dia yang memutuskan jalannya sendiri. Ingat, Victor bukan orang sembarangan. Dia berbahaya. Papa nggak tenang kalau harus membiarkan Viola kembali ke keluarganya yang asli."
Arvin kemudian melirik jam di pergelangan tangannya, mengingat berbagai masalah di perusahaannya yang masih belum selesai. "Sekarang, cepat pergi ke tempat Om Shaka. Papa sudah minta bantuannya."
"Iya, Pa," jawab Zavin singkat, lalu keluar dari rumah. Ketika ia masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin, pikirannya masih dipenuhi oleh Viola. Dia bergumam sendiri, "Kenapa tidak bisa dibuat simpel aja? Kalau aku menikah sama Viola, aku bisa melindunginya lebih dekat, bahkan di rumahnya sendiri."
***
Viola menghentikan motornya dengan tiba-tiba di depan gerbang kampus, matanya tajam menatap ke arah mobil hitam yang sejak tadi terus membuntutinya dari kejauhan. Ia turun dari motornya dan berjalan mendekati mobil tersebut. Deru mesin mobil yang terdengar halus seolah menyembunyikan apa yang ada di balik kaca gelapnya.
Viola mengetuk kaca mobil itu beberapa kali. Beberapa detik kemudian, kaca mobil itu turun, ada dua pria berpakaian rapi yang duduk di dalam. Ekspresi mereka datar, tidak menunjukkan niat jahat, tetapi Viola tahu betul siapa yang menyuruh mereka.
"Kalian disuruh Pak Victor untuk mengikutiku?" tanya Viola tanpa basa-basi.
Salah satu dari pria itu mengangguk hormat. "Iya, Nona. Kami diperintahkan untuk memastikan keselamatan Nona."
Viola mendengus kecil, seolah merasa lelah dengan perlakuan berlebihan itu. "Kalian tidak disuruh menculikku, kan?"
"Tidak, Nona," jawab pria itu dengan tenang.
Viola menyipitkan matanya, menatap mereka satu per satu. "Awas kalau tiba-tiba kalian menculikku lagi," katanya mengancam.
Kemudian Viola berbalik, menuntun motornya masuk ke area kampus, dan memarkirnya di tempat yang biasa.
"Sekarang aku hidup seperti putri mahkota, ada bodyguard yang mengikuti ke mana-mana," gumamnya pelan sambil berjalan menuju gedung fakultas.
"Ada satu hal yang harus aku selesaikan. Aku tidak akan termakan lagi oleh buaya," gumamnya dalam hati saat melihat Dika yang melambaikan tangan ke arahnya.
Thanks Mbak Puput
Ditunggu karya selanjutnya ❤️
perjuangan cinta mereka berbuah manis...
Semoga cepat menghasilkan ya, Zavin
semoga cepat diberi momongan ya ..
udah hak Zavin...
😆😆😆
Siapa ya yang berniat jahat ke Viola?