Joano dan Luna adalah dua remaja yang hidup berdampingan dengan luka dan trauma masa kecil. Mereka berusaha untuk selalu bergandengan tangan menjalani kehidupan dan berjanji untuk selalu bersama. Namun, seiring berjalannya waktu trauma yang mereka coba untuk atasi bersama itu seolah menjadi bumerang tersendiri saat mereka mulai terlibat perasaan satu sama lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourlukey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
Beberapa bulan kembali berlalu, Luna sudah memasuki bangku SMP.
Saat itu menjadi hari-hari yang berat untuk Luna karena dia kehilangan kucing kesayangannya untuk selamanya. Gadis itu murung setiap hari. Yang dia lakukan sepulang sekolah hanyalah tidur dan merenung. Dia bahkan tidak mau bermain dengan Joano karena kesedihan yang masih dia rasakan.
“Kamu itu sudah besar, jangan menangis bahkan sampai tidak mau makan hanya karena kucing. Kamu mau jatuh sakit terus ngerepotin Mama, Papa? Kami itu sibuk kerja, Luna.” Itu yang Marisa katakan pada Luna saat gadis itu tak berselera makan. Mereka tidak mau Luna merengek hanya karena masalah yang menurut mereka sepele.
Luna semakin sedih, ucapan ibunya itu seperti menabur garam di atas luka. Kepergian kucing kesayangannya membuat Luna kesepian, apalagi orang tuanya yang semakin tidak memedulikannya, membuat gadis itu semakin murung.
Meski saat itu ada Joano yang sering menghiburnya, tetap saja masih ada yang kurang di hidup Luna. Hingga suatu ketika, secara tiba-tiba dia teringat oleh keluarga bahagia yang pernah dilihat di hari kelulusannya. Luna jadi berpikir apakah keluarganya juga akan kembali bahagia jika dia menjadi murid yang pintar? Apakah dia akan disayangi seperti dulu jika dia jadi juara satu? Kalaupun iya, Luna ingin mencoba.
Sejak saat itu, Luna menjadi orang yang ambisius. Keinginannya untuk menjadi nomor satu di sekolah semakin kuat. Dia mulai mengisi hari-harinya di balik meja belajar untuk mempelajari materi yang bahkan belum diajarkan di sekolah. Sering kali dia melewatkan waktu makan bahkan melewatkan jam tidurnya. Karena itu, Luna sering jatuh pingsan karena kelelahan.
Itu semua Luna lakukan untuk mendapatkan nilai yang sempurna. Dia berharap dengan begitu bisa menarik perhatian orang tuanya, berharap mereka bangga terhadapnya sama seperti kedua orang tua murid yang dia lihat di hari kelulusan sekolah dasar, berharap kalau nilai-nilainya mampu memperbaiki keharmonisan keluarga yang beberapa tahun ini merenggang.
Ponsel Luna berdering, satu panggilan masuk. Dari Joano.
Luna meraih ponselnya, menggeser tombol hijau kemudian menempelkan ponsel pintarnya di telinga.
“Halo.”
“Di rumah kan? gue masuk, ya.”
Tanpa menjawab pertanyaan itu, Luna langsung mematikan teleponnya. Lagi pula kalau pun dia menolak, Joano akan tetap masuk ke rumahnya, jadi itu sama saja. Sekiranya itulah yang Luna pikirkan. Gadis itu menaruh ponselnya ke tempat semula, kemudian melanjutkan kesibukannya belajar.
Beberapa menit berlalu, ponsel Luna kembali berdering. Dia menghela napas berat lalu mengangkat telepon itu, menyahut seadanya. “Ada apa lagi?”
“Lama banget turunnya. Gue di ruang makan. Kita makan sebentar, nanti belajar lagi.” Kata Joano di seberang telepon.
“Nggak lapar.”
“Gue lapar. Gue nggak makan kalau lo nggak makan.”
“Ya udah, makan kalau lap,” Sambungan telepon terputus sebelum Luna menyelesaikan ucapannya. Gadis itu kembali menghela napas kasar. Mau tidak mau dia harus keluar dari kamarnya, karena kalau tidak Joano pasti akan menunggu dirinya sampai dia keluar, tidak peduli berapa lama waktu yang dihabiskan.
Luna beranjak dari kamarnya, menuju ruang makan. Di sana Joano sudah menyiapkan segala peralatan makan, lengkap dengan hidangannya. Meski Joano akhir-akhir ini sibuk belajar memasak, tapi Luna tahu kalau itu bukan buatannya. Sahabatnya itu pasti mengambil makanan yang tersedia di rumahnya.
“Lama banget turunnya, udah lapar nih gue.”
Luna menarik kursi lalu duduk di atas sana. Dia mengerutkan dahi, merasa ada yang aneh. Tapi dia menghiraukannya, memilih untuk menyantap makanan yang ada di hadapannya.
“Kalau udah selesai makan, gimana kalau kita main sunda manda?” Joano menawarkan.
Luna menghela napas untuk ke sekian kalinya. “Nggak, aku mau belajar lagi.”
“Ah nggak asyik. Lo udah nggak mau temenan lagi sama gue, ya?”
Luna diam, tidak ingin menimpali perkataan yang akan berakhir dengan perdebatan.
“Kenapa? Main sama gue udah nggak asyik lagi, ya?” Joano bertanya memastikan.
“Bukan gitu.” Sergah Luna cepat.
“Terus?”
Luna meletakkan sendoknya di atas piring kemudian menatap Joano sebal. “Kan udah tahu kalau aku mau belajar.”
“Berarti gue emang udah nggak seru. Ya udah, kalau gitu besok gue nggak main ke tempat lo lagi.”
Luna mendecak lidah melihat Joano merajuk. “Apaan sih, Jo. Kenapa tiba-tiba jadi aneh begini, deh. Bahasanya juga aneh. Lo, gue.”
“Kenapa? Emangnya ada yang salah? Semua orang juga gitu, kan. Lo, gue.”
Luna menatap Joano tidak mengerti. Ya, bahasa kekinian seperti itu memang sudah lumrah digunakan, apalagi untuk anak seusia mereka, di sekolah mereka juga menggunakan kata seperti itu, tapi entah kenapa Luna merasa sebal jika itu keluar dari mulut Joano. Apalagi saat bicara dengannya, Luna sungguh jengkel dibuatnya.
“Katanya lapar, kok nggak dimakan.” Luna tiba-tiba mengganti topik pembicaraan. Sebenarnya bukan karena dia tidak mau diajak bermain, hanya saja prioritas Luna sekarang adalah belajar, karena itu dia tidak ingin ada sesuatu yang mengalihkan perhatiannya.
“Lo nggak capek apa belajar mulu? Tes semester kemarin dapat nilai bagus, lomba kemarin juga dapat juara satu, bulan lalu juga dapat juara satu. Mau dapat juara apa lagi? Kita baru kelas tujuh, Lun.”
“Kamu kan juga belajar terus, apa bedanya sama aku?”
“Gue cuma belajar materi yang udah diajarin. Gue masih main game, gue masih istirahat, masih ketemu teman sekolah. Sementara lo, lo cuma ngabisin waktu lo buat belajar dan belajar. Gue tahu niat lo baik, tapi lo nggak bisa maksain diri lo sampai kayak gini. Lo nggak kasihan sama punggung gue apa, setiap bulan gendong lo mulu ke UKS gara-gara pingsan kecapean. Minggu ini lo udah dua kali pingsan, lo mau pingsan setiap hari? Kalau lo nggak mau ngasihani diri lo sendiri, lo nggak mau ngasihani punggung gue apa?” Joano mengomel panjang lebar.
Luna diam. Joano benar, jika dia tidak bisa mengasihani dirinya sendiri maka dia harus mengasihani orang lain. Dia tidak boleh bersikap egois karena ambisinya. Mengesampingkan orang lain tanpa peduli perasaan mereka. Bagaimana pun juga keinginannya bukan tanggung jawab orang lain, dunia mereka tidak berputar untuk memenuhi ekspektasinya.
Luna tahu apa maksud perkataan Joano. Sahabatnya itu sangat peduli padanya, dia hanya tidak ingin melihat dirinya mengabaikan kesehatannya lagi, tidak ingin melihat dirinya jatuh pingsan lagi.
“Iya, nanti aku tetap makan, tetap tidur biar nggak pingsan lagi.” Kata Luna pada akhirnya.
Joano menghela napas lega. Dia meneguk setengah gelas air di hadapannya kemudian menatap Luna dalam-dalam. Sepertinya dia masih kurang puas mendengar jawaban gadis itu. “Bukan cuma itu. Istirahat yang gue maksud nggak cuma pas lo tidur doang, tapi juga bermain, nonton film, ketemu teman atau melakukan hal-hal lain yang lo suka. Lo tahu nggak, kalau itu semua juga bisa mengurangi stres karena banyak belajar. Nggak semua tentang bermain itu buruk, Lun. Gue pernah dengar kalau bertemu teman juga termasuk belajar. Belajar mengenali orang, belajar mengenali situasi dan lainnya. Ini itu juga termasuk belajar dalam,” Joano berpikir sejenak, kemudian melanjutkan perkataannya. “melatih kemampuan sosial seseorang.”
Luna menelan suapan terakhir di mulutnya lalu berkata, “Iya, nanti kita main sunda manda.”
Raut wajah Joano kontan semringah. Remaja itu lantas cepat-cepat menghabiskan makanannya sebelum Luna berubah pikiran.
Petak permainan sunda manda telah dibuat. Joano menang suwit di babak pertama permainan. Beberapa kali dia memainkan bagiannya dengan sangat bagus, hingga tiba-tiba saat ia melempar, koinnya menggelinding mendekati garis. Joano hendak menyerahkan permainan itu pada Luna, tapi saat melihat gadis itu lengah mengamati, Joano dengan usil menggeser koinnya ke tengah petak. Namun sial, niat buruknya itu segera diketahui Luna.
“Mau curang kan, lo?” Luna bertanya sebal. Kata ‘gue’ dan ‘lo’ yang awalnya ingin dihindari Luna saat berbicara dengan Joano pun akhirnya dia gunakan begitu melihat sahabatnya bertingkah menyebalkan.
Joano menoleh ke arah Luna dengan tatapan tidak mengerti. “Apa? Gue curang? Nggak! Orang gue cuma mau geser koinnya terus gue mau ngasih permainannya ke lo.” Joano membuat alasan.
Tapi sayang, Luna tidak bisa dibohongi. Gadis itu tahu kalau Joano akan bermain curang. Dia kemudian mendorong Joano keluar dari petak dan mengambil alih permainan, melempar koin kemudian memainkan bagiannya sebaik mungkin.
Diam-diam Joano tersenyum tipis. Sedari tadi, dia memang sengaja membuat Luna jengkel. Mulai dari merajuk tidak mau makan, mengaku kesal karena harus menggendong Luna setiap gadis itu jatuh pingsan, menggunakan bahasa yang tidak biasanya mereka gunakan, hingga mengusili Luna dengan bermain curang. Itu semua adalah sekumpulan rencana yang memang sengaja Joano buat supaya Luna kembali melakukan kesehariannya sebagaimana mestinya. Tidak hanya duduk dibalik meja belajar. Joano ingin Luna kembali menemukan semangat hidupnya seperti dulu lagi.
Meski terdengar konyol dan sepele, namun kenyataannya Luna mulai bisa menyeimbangkan kehidupannya antara belajar, istirahat dan bermain. Meski terkadang kebiasaan lamanya masih terbawa, tapi gadis itu sudah tidak pernah lagi jatuh pingsan di sekolah. Dia tetap bisa berprestasi meski jam belajarnya tidak sepadat dulu. Luna juga kembali riang, kembali bersosialisasi dengan teman-temannya meski impian utamanya untuk membuat keluarganya kembali harmonis belum tercapai.
Waktu melesat begitu cepat. Joano dan Luna sudah duduk di bangku kelas dua belas. Mereka tumbuh menjadi remaja yang bisa diandalkan satu sama lain. Mereka saling menguatkan, saling menjaga dan saling melengkapi.