SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.
Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
Malam itu, langit di atas SMA Rimba Sakti gelap gulita, hanya diterangi oleh kilatan cahaya dari Balai Seni Rupa yang terbakar. Api melahap setiap inci dinding yang dulunya penuh dengan lukisan dan karya seni siswa. Asap tebal membubung tinggi, mengaburkan pandangan dan membuat udara terasa berat dengan kepulan hitam. Suara alarm kebakaran menggema, membangunkan seluruh kawasan desa yang biasanya tenang.
Di tengah kekacauan, salah seorang siswi kelas 12 tampak terjebak di dalam ruangan. Dia sedang sibuk mengolah kanvasnya ketika alarm mulai berbunyi. Cahayanya yang redup seolah mengisyaratkan sesuatu yang salah. Dengan panik, ia mencoba menyelamatkan lukisannya sambil berusaha mencari jalan keluar, tapi asap mulai memenuhi ruangannya, membuat setiap langkah semakin berat.
...—o0o—...
Keesokan paginya, Arga Adiwijaya berjalan menuju sekolah dengan langkah santai. Namun, saat ia mendekati Balai Seni Rupa, pandangannya tertuju pada kerumunan orang yang memenuhi area di depan gedung. Pola garis polisi sudah dipasang, sementara sirene mobil polisi masih terdengar samar. Arga merasa jantungnya berdetak kencang, mengingat insiden penculikan yang baru saja terpecahkan sebulan lalu. Sekarang, kebakaran ini tampaknya menambah deretan kejadian tak terduga di sekolahnya.
Di tengah kerumunan, Arga melihat sosok yang sudah dikenalnya—Jihan Almaira, ketua OSIS SMA Rimba Sakti dari kelas 12 MIPA 1. Jihan tampak lelah dan cemas, memandang gedung seni yang telah hancur dilahap api. Arga mendekati Jihan dengan penuh rasa ingin tahu.
"Mbak Jihan, iki ono opo (Ini ada apa)?" tanya Arga, berusaha menahan rasa khawatirnya.
Jihan menoleh dan memberikan senyum yang dipaksakan. "Arga, ada kebakaran semalam. Korbannya Ria Astini dari kelas 12 MIPA 3. Aku baru tahu tentang ini pagi ini."
Arga mengernyitkan dahi. "Tunggu dulu, Mbak Ria? Tapi, kan—"
Jihan melanjutkan dengan nada yang agak lesu. "Aku baru balik dari Jepang minggu lalu habis kunjungan resmi sama delegasi Palang Merah Jepang selama sebulan. Kevin juga cerita ke aku tentang kejadian penculikan bulan lalu. Dia kebingungan antara kasus itu sama jadwal latihan pencak silat. Dia bolak-balik ke kantor polisi cari informasi, tapi ndak pernah ada hasil. Untung aja penculiknya udah ditangkap. Aku juga kaget penculiknya Pak Ruslan.”
Arga merasa ada yang tidak beres. "Jadi, Kevin itu sibuk sama jadwal dia yang padat?"
"Iya, dia sekarang ada lomba pencak silat di Surabaya, jadi dapat dispensasi hari ini," jawab Jihan kemudian melanjutkan. "Sekarang, sebagai ketua OSIS, aku harus ikut terlihat dalam penyelidikan ini. Aku harap kebakaran ini cuman kecelakaan dan bukan sesuatu yang disengaja. Ria ndak pantas ngalamin hal begini."
Arga mengamati Balai Seni Rupa yang hancur dengan tatapan penuh curiga. "Aku juga berharap gak ada lagi kejadian-kejadian mengganggu di sekolah ini."
Jihan mengangguk, wajahnya menunjukkan kecemasan mendalam. "Sekarang tugas kita untuk memastikan bahwa semua ini benar-benar kecelakaan. Kita tidak bisa membiarkan spekulasi berkembang tanpa adanya kejelasan. Oh iya, kayaknya kelas bakalan dimulai habis istirahat pertama. Semua guru lagi dimintai keterangan sama polisi, jadi sekarang jam kosong sampai istirahat."
Arga mengangguk lalu melihat ke arah Balai Seni Rupa yang kini dikelilingi oleh tim penyelidik dengan tatapan kosong. Dalam hatinya, ia merasa ada yang tidak beres. Entahlah, walaupun Jihan berharap itu hanya kecelakaan, instingnya berkata kalau itu bukan hanya kecelakaan.
“Duluan, Mbak,” pamit Arga yang diangguki Jihan.
Saat Arga berbalik untuk meninggalkan lokasi, pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran. Suara sirene dan kerumunan di depan Balai Seni Rupa masih terdengar samar di telinganya. Sementara itu, Jihan kembali fokus pada situasi yang ada, berusaha mengumpulkan informasi sebanyak mungkin untuk melaporkan kepada pihak berwenang.
Dengan pandangan yang penuh tekad, wajah Arga kembali menatap balai seni rupa yang hangus, merasa bahwa kali ini mereka mungkin menghadapi sesuatu yang lebih gelap daripada sekadar kebakaran biasa. Saat ia melangkah pergi, keinginan untuk mengungkap kebenaran semakin menguat di hatinya.
Ia membuka ponselnya dan mengetik sesuatu di sana.
...‘TEMAN BARU NIH’...
Kumpul di perpus
...—o0o—...
Arga, Nadya, Dimas, Rian, dan Aisyah berkumpul di perpustakaan yang kini justru menjadi markas mereka untuk diskusi. Mengetahui bahwa guru-guru sibuk dengan urusan kebakaran itu dan pelajaran yang kosong sampai waktu istirahat, lebih baik untuk berkumpul dan mendiskusikan apa yang sudah terjadi pada Balai Seni Rupa itu. Seperti biasanya, perpustakaan terlihat sepi. Mereka semua berkumpul di tempat biasa, terlihat serius—mengingat situasi yang baru saja terjadi.
“Jadi, kita semua tahu ada kebakaran besar semalam,” ujar Arga, membuka pertemuan. “Tapi kita perlu tahu lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi di balai seni.”
Nadya, yang duduk di samping Aisyah dengan laptopnya, mengetik dengan cepat. “Aku udah cek beberapa berita lokal, tapi belum ada yang beritain kejadian ini.”
Rian, yang dikenal dengan kemampuannya untuk mengumpulkan informasi dari gosip dan percakapan sehari-hari, mulai mengatakan. “Aku punya sesuatu yang mungkin berguna. Aku dengar dari beberapa orang di sekolah, katanya Ria Astini sebenarnya udah disuruh pulang sama satpam kemarin sore.”
Semua mata tertuju pada Rian. “Disuruh pulang?” tanya Aisyah. “Tapi kenapa dia tetap di sekolah?”
“Benar,” Rian mengangguk. “Waktu itu udah maghrib, dan gak ada kelas tambahan seni. Jadi, siswa boleh pulang. Tapi Mbak Ria milih untuk tetap di sekolah dan ngelanjutin lukisannya.”
Dimas mengernyitkan dahi. “Jadi, dia sengaja tinggal di sekolah walaupun udah ada peringatan buat pulang? Itu agak mencurigakan.”
“Iya,” lanjut Rian. “Satu hal lagi yang aku dapat, beberapa siswa bilang kalau Mbak Ria itu orang yang detail banget kalau soal ngelukis. Sering ngeliat Mbak Ria yang benar-benar serius ngelukis, seolah gak peduli sama waktu.”
Arga memandang temannya dengan serius. “Kita harus cari tau lebih lanjut tentang apa yang terjadi setelah Mbak Ria mutusin buat tetap di sekolah.”
Nadya mengangguk. “Kita juga perlu cari tau siapa yang terakhir kali lihat Mbak Ria dan apa yang mereka tau tentang aktivitasnya semalam.”
“Gimana kalau kita mulai dari cari saksi di sekitar area balai seni?” usul Aisyah. “Mungkin ada yang lihat sesuatu yang gak biasa.”
“Setuju,” kata Rian. “Kita juga perlu periksa rekaman CCTV kalau ada. Kita harus dapatin gambaran yang lebih jelas tentang apa yang terjadi sebelum kebakaran itu mulai.”
Aisyah mencatat dengan cepat di buku catatannya. "Intinya, kita punya dua informasi penting. Ria disuruh pulang, dan dia milih untuk tetap di sekolah. Ini bisa berarti dia mungkin gak merasa aman atau ada sesuatu yang buat dia tetap ada di tempat itu."
Dimas pun mengusulkan, “Ayo bagi tugas aja. Aku sama Rian akan akses rekaman CCTV dan ngobrol sama satpam sekolah. Nadya sama Aisyah coba cari saksi dan mencari tahu lebih banyak tentang kebiasaan Ria.”
Nadya mengangguk setuju, “Oke. Arga, kamu sendiri mau ikut siapa?” tanyanya.
Semua memandang Arga yang sedari tadi hanya diam tanpa mengatakan apapun. Bahkan Rian, Aisyah, dan Nadya baru sadar kalau yang memberi usul untuk bagi tugas tadi bukanlah Arga melainkan Dimas. Laki-laki itu terus mengerutkan dahinya dengan tatapan berpikir keras di meja.
Rian langsung mengetuk-ngetuk meja, “bos?”
Arga spontan tersadar dan menoleh pada Rian bingung. “Jangan panggil begitu,” tolaknya mengingat Rian memanggilnya ‘bos’ tadi. “Kalian lakuin aja usulan Dimas tadi. Aku punya sesuatu yang harus aku cari tahu,” lanjutnya dengan dahi yang kembali mengerut penuh selidik.
“Sendiri?” tanya Nadya tak yakin.
“Iya, sendiri,” jawab Arga spontan.
Saat pertemuan berakhir, mereka semua merasa lebih siap untuk menyelidiki kasus ini. Ini akan menjadi kasus kedua mereka yang awalnya dipertemukan secara tidak sengaja justru merambat menjadi kelompok detektif amatir. Dengan tekad untuk mengungkap kebenaran di balik kebakaran dan kematian Ria Astini, mereka bersiap pada tugas masing-masing.
Kelimanya keluar dari perpustakaan—berjalan seolah tak terjadi apapun dan memberitahu bahwa pertemuan mereka berlima hanya sekedar bersenda gurau layaknya seorang teman dari kelas yang berbeda.
Arga, dalam perjalanan keluar, merasakan beratnya tanggung jawab yang ada di pundaknya. Ia terhenti ketika keempat temannya masih berjalan santai meninggalkannya di belakang. Ia memandang ke arah Balai Seni Rupa yang hangus itu dari jauh, matanya menatap dengan yakin ke sana—bertekad untuk mengungkap misteri yang mengelilinginya dan memastikan bahwa keadilan untuk Ria terwujud.
...—o0o—...