Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.
Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayang Bayang Mimpi
Rafael berlari kencang di tengah kegelapan. Nafasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang, seolah siap melompat keluar dari dadanya. Di belakangnya, terdengar suara langkah yang berat dan mengerikan, seakan sesuatu yang tidak manusiawi sedang mengejarnya.
Di mana-mana hanya ada kegelapan, seolah dunia di sekitarnya telah lenyap. Hanya dia dan... sosok itu. Sosok mengerikan yang terus mendekat, tanpa suara, tanpa wujud yang jelas, namun Rafael bisa merasakannya—topeng itu. Topeng yang dia buang, yang seharusnya tidak ada di sini.
Tiba-tiba, bayangan sosok itu muncul, melayang di udara, mendekat dengan cepat. Topeng itu kini tergantung di hadapannya, tersenyum lebar, dengan mata kosong yang dalam dan menakutkan. Udara di sekitarnya terasa berat, seolah topeng itu sedang menghisap semua napas dari paru-parunya.
Rafael mencoba berteriak, tapi suaranya tidak keluar. Topeng itu semakin mendekat, bisikan-bisikan mengerikan mulai terdengar di telinganya. “Kau tidak bisa lari… Kau milikku…”
Rafael tersentak mundur, kakinya tersandung sesuatu yang tidak terlihat. Dia jatuh ke tanah yang dingin dan keras. Ketika dia menoleh, topeng itu sudah menempel di wajahnya, menghisap semua cahaya di sekitarnya, membuat tubuhnya kaku dan membeku.
Rafael teriak sekuat tenaga—teriak dalam diam yang menyayat hatinya. Topeng itu semakin menguasainya, semakin menggerogoti dirinya...
Dan tiba-tiba semuanya gelap.
“Huaaahhhh!!!”
Rafael terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya berkeringat dingin. Dia langsung bangkit dari ranjang rumah sakit, histeris dan penuh ketakutan. Nafasnya tersengal-sengal, dan matanya penuh dengan ketakutan yang tidak bisa dia kendalikan. Dia tidak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. Topeng itu... apakah benar hanya mimpi?
“Rafael! Nak, tenang!” Bik Minah yang sedang menjaganya di ruangan rawat langsung terbangun, kaget melihat Rafael begitu panik. Wajahnya pucat, napasnya tersengal, matanya terbuka lebar seperti seseorang yang baru saja melihat sesuatu yang mengerikan.
Bik Minah langsung bergegas mendekat, memeluk Rafael erat-erat. Rafael membalas pelukan itu dengan erat, tubuhnya gemetar hebat. “Kenapa dia ngejar aku, Bik? Aku salah apa? Kenapa topeng itu gak mau berhenti?!” tangis Rafael, suaranya penuh dengan rasa takut dan kebingungan.
Bik Minah mencoba menenangkannya, meski hatinya sendiri penuh dengan kecemasan. “Ssstt, Nak, cuma mimpi... Jangan takut, ya? Cuma mimpi, Rafael. Gak ada yang ngejar kamu,” ujarnya lembut sambil menepuk punggung Rafael.
Rafael masih terisak, tubuhnya masih menggigil ketakutan. “Tapi dia selalu datang... di mana-mana... topeng itu selalu ada...”
“Nak, tenang... tidur lagi, ya? Bibik di sini. Gak ada apa-apa. Gak ada yang ngejar kamu,” bisik Bik Minah, suaranya lembut namun tegas.
Perlahan, pelukan Bik Minah dan suaranya yang penuh kasih membuat Rafael sedikit tenang. Tapi di balik matanya yang perlahan tertutup, bayangan topeng itu masih menghantui, dan rasa takut itu belum sepenuhnya hilang.
***
Adrian berlari menyusuri lorong rumah sakit, keringat dingin membasahi dahinya meski udara di sekitarnya terasa dingin. Jantungnya berdegup kencang, hampir menyamai irama langkah kakinya yang semakin cepat. Setiap langkah terasa berat—seakan waktu bergerak lambat. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan Rafael, dan berita kecelakaan yang dia dengar dari tetangga membuat hatinya tersentak.
“Kenapa bisa begini? Kenapa aku gak ada di sana?” pikir Adrian, semakin panik. Kakinya terasa tak mau berhenti, tapi hatinya penuh rasa takut akan apa yang mungkin dia temui di ruangan Rafael.
Begitu dia tiba di depan pintu ruangan anaknya, Adrian menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sejenak sebelum akhirnya membuka pintu. Perlahan, dia melangkah masuk. Di dalam, dia menemukan Rafael yang sudah tertidur di ranjang rumah sakit. Wajahnya masih pucat.
Tapi yang menarik perhatian Adrian bukan hanya kondisi Rafael. Di samping ranjang, Bik Minah tertidur dengan kepala bersandar di tepi tempat tidur, dan Rafael memegang erat tangannya, seolah tidak ingin ditinggal. Melihat itu, hati Adrian mencelos.
Rasanya seperti ada sesuatu yang menusuk dadanya. Kenapa Rafael lebih nyaman dengan Bik Minah? Kenapa dia lebih dekat dengan asisten rumah tangga dibandingkan aku, ayah kandungnya sendiri? pikir Adrian, hatinya diselimuti perasaan bersalah yang dalam. Dia tahu jawabannya. Itu semua karena dia terlalu sering absen, terlalu sering menghilang di dunia pekerjaannya, sementara Rafael menjalani hari-hari dengan jarak yang semakin melebar antara mereka.
Adrian mendekat, menatap wajah Rafael yang terlihat damai dalam tidurnya. Dengan pelan, dia membenahi selimut Rafael yang sedikit tersingkap, berharap sentuhan kecil itu bisa menebus sedikit rasa bersalahnya.
Tiba-tiba, Bik Minah terbangun, matanya sedikit terbuka. Dia tersentak kaget ketika menyadari Adrian sudah ada di sana. “Pak Adrian! Bapak kemana aja? Saya telponin dari tadi,” ucapnya dengan nada yang sedikit menegur namun dipenuhi kekhawatiran.
Adrian tersenyum tipis, merasa semakin bersalah. “Maaf, Minah. Saya gak tau HP saya lowbat. Begitu saya dengar dari tetangga, saya langsung ke sini,” jawabnya pelan.
Bik Minah memandang Adrian sejenak, lalu menghela napas lega. “Rafael... dia udah lebih tenang sekarang, Pak. Lukanya gak terlalu parah, cuma luka luar di kepala dan tubuhnya,” katanya sambil merapikan sedikit rambut Rafael yang jatuh di dahinya.
Adrian mengangguk, merasa sedikit lega mendengar kabar itu. Tapi Bik Minah masih tampak cemas, dan Adrian tahu ada yang belum dikatakannya.
“Bik Minah... ada apa lagi? Kamu terlihat masih khawatir. Apa ada yang saya gak tau?” tanya Adrian pelan, takut mendengar sesuatu yang lebih buruk.
Bik Minah menggigit bibirnya sejenak, menimbang kata-katanya. “Bapak, saya juga gak tahu gimana jelasinnya... Luka fisiknya memang gak parah, tapi... sepertinya Rafael mengalami sesuatu yang lebih dari itu. Dia tadi... bilang ada yang ngejar dia. Dia bilang tentang... topeng.”
Adrian menatap Bik Minah dengan heran. “Topeng?”
Bik Minah menunduk sejenak, mencoba merangkai kata-kata yang tepat sebelum melanjutkan. “Sebelumnya... saya emang agak gak percaya, Pak. Waktu dia bilang soal topeng itu, saya pikir cuma pengaruh kecelakaan atau luka di kepalanya. Tapi...” Minah menatap Rafael yang masih tidur lelap di ranjang, suaranya semakin pelan. “Tapi Rafael kelihatan kayak beneran ketakutan, Pak. Sampai tadi kayak orang panik.”
Adrian menatap Bik Minah dengan ekspresi bingung dan khawatir. “Panik?” tanyanya, mencoba mencari penjelasan.
Bik Minah mengangguk, raut wajahnya semakin cemas. “Gak cuma itu, pak. Tadi sebelum Bapak datang, Rafael mimpi buruk. Dia bangun histeris, teriak-teriak seolah ada yang ngejar dia. Saya sampai bingung, terus dia cerita soal... topeng lagi. Seolah-olah itu yang bikin dia takut setengah mati.”
Adrian terdiam, menatap Rafael dengan penuh keheranan dan kebingungan. Topeng? Mimpi buruk? Ketakutan? Semua itu terasa tidak masuk akal. Rafael bukan tipe anak yang mudah takut atau panik, apalagi sampai membuat Minah khawatir seperti ini.
Adrian merasa seolah ada sesuatu yang besar sedang terjadi di depan matanya, namun dia tidak mengerti apa yang sebenarnya dialami putranya. Apa yang selama ini aku lewatkan? pikirnya, mulai diselimuti rasa bersalah yang semakin dalam.
Tatapan Adrian kembali tertuju pada Rafael yang masih menggenggam tangan Bik Minah meski dalam tidurnya. Rafael yang pernah begitu dekat dengannya, kini seolah semakin jauh, bahkan lebih dekat dengan Bik Minah daripada dirinya.
Minah menatap Adrian, matanya penuh simpati. “Mungkin Bapak perlu ngobrol sama Rafael nanti, kalau dia udah tenang. Kelihatannya dia bener-bener butuh dukungan dari Bapak sekarang,” ucapnya lembut.