Aluna, seorang penulis sukses, baru saja merampungkan novel historis berjudul "Rahasia Sang Selir", kisah penuh cinta dan intrik di istana kerajaan Korea. Namun, di tengah perjalanannya ke acara temu penggemar, ia mengalami kecelakaan misterius dan mendapati dirinya terbangun di dalam tubuh salah satu karakter yang ia tulis sendiri: Seo-Rin, seorang wanita antagonis yang ditakdirkan membawa konflik.
Dalam kebingungannya, Aluna harus menjalani hidup sebagai Seo-Rin, mengikuti alur cerita yang ia ciptakan. Hari pertama sebagai Seo-Rin dimulai dengan undangan ke istana untuk mengikuti pemilihan permaisuri. Meski ia berusaha menghindari pangeran dan bertindak sesuai perannya, takdir seolah bermain dengan cara tak terduga. Pangeran Ji-Woon, yang terkenal dingin dan penuh ambisi, justru tertarik pada sikap "antagonis" Seo-Rin dan mengangkatnya sebagai selirnya—suatu kejadian yang tidak pernah ada dalam cerita yang ia tulis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Kesempatan Terakhir
Kebahagiaan yang memenuhi ruangan seketika terhenti saat pintu terbuka dan Min-Ho, adik Seo-Rin, muncul di ambang pintu dengan wajah lebam, bibir berdarah, dan pakaiannya berantakan. Dua orang pria yang mengantarnya tampak sinis, menatap ke arah keluarga Seo-Rin dengan ekspresi puas. Keluarga itu tersentak, dan suasana hangat yang baru saja mengisi ruangan langsung berubah menjadi kekhawatiran yang mendalam.
Pangeran Ji-Woon memandangi Min-Ho dengan tatapan tajam, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Sementara itu, ibu Seo-Rin buru-buru menghampiri putranya dengan raut wajah cemas, memegang kedua pundaknya.
"Min-Ho, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanyanya penuh kekhawatiran.
Min-Ho hanya diam, menundukkan kepalanya dengan wajah yang dipenuhi rasa malu. Salah satu pria yang mengantarnya melangkah maju, memberi penjelasan dengan nada dingin.
"Anak ini kalah berjudi, dan tidak bisa membayar utangnya. Ini bukan pertama kalinya dia datang ke rumah kami, berhutang dan menciptakan masalah. Kami sudah sabar, tapi kali ini, dia berjanji akan membawa uangnya kembali malam ini, atau…"
Pria itu menatap tajam ke arah Min-Ho, seolah memberikan ancaman tak langsung. Suasana di ruangan itu berubah tegang, dan Aluna, yang masih merasa asing dalam tubuh Seo-Rin, merasa tersentak dengan situasi rumit yang dihadapinya.
Pangeran Ji-Woon menatap Min-Ho dengan raut wajah dingin, kemudian menoleh ke arah Aluna yang tampak bingung, dan kepada keluarga Seo-Rin yang terdiam penuh kegelisahan. Pangeran berdiri tegak, lalu berjalan mendekati pria yang mengantarkan Min-Ho, berbicara dengan suara yang penuh wibawa.
“Sebagai keluarga Seo-Rin, aku yang akan menyelesaikan masalah ini,” ujarnya tegas. “Berapa jumlah hutangnya?”
Para pria itu saling pandang sebelum akhirnya menyebutkan angka yang cukup besar, membuat semua orang di ruangan itu tersentak. Namun, Pangeran Ji-Woon tak bergeming.
“Aku akan membayarnya. Tapi ingat,” ujarnya tegas kepada Min-Ho, “ini yang terakhir kalinya aku mengeluarkanmu dari masalah seperti ini.”
Min-Ho hanya menunduk dengan ekspresi campur aduk antara takut dan malu. Pangeran Ji-Woon menyerahkan sejumlah uang kepada pria-pria itu, yang kemudian pergi tanpa sepatah kata. Begitu pintu tertutup, Pangeran menoleh pada Aluna dan keluarganya.
“Izinkan aku berkata terus terang,” ucapnya, tatapannya penuh kesungguhan. “Aku ingin keluarga ini bersih dari masalah. Terutama saat Seo-Rin sedang mengandung anak kami.”
Aluna merasakan pergolakan batin yang besar. Walaupun merasa tertekan dan bingung, ia hanya bisa berterima kasih dalam hati atas kesungguhan Pangeran Ji-Woon yang melindungi dirinya dan keluarganya, meski di tengah situasi rumit yang ia hadapi.
Setelah pria-pria itu pergi, suasana di ruangan tetap sunyi. Ibu Seo-Rin mendekati Pangeran Ji-Woon dengan mata berkaca-kaca, menunduk dalam-dalam, lalu berucap lirih, “Terima kasih, Yang Mulia. Saya tidak tahu bagaimana lagi kami bisa mengendalikan Min-Ho tanpa bantuan Anda.”
Pangeran Ji-Woon menghela napas berat, menatap Min-Ho yang masih menunduk, wajahnya penuh rasa malu. “Min-Ho, ini bukan pertama kalinya kau membawa masalah seperti ini. Jika kau terus menerus bertindak tanpa berpikir, kau akan menyeret seluruh keluargamu dalam kehancuran. Apakah kau mengerti?”
Min-Ho mengangguk pelan, suaranya nyaris tak terdengar saat ia berkata, “Saya mengerti, Yang Mulia. Maafkan saya…”
Pangeran Ji-Woon menatapnya sejenak, kemudian beralih kepada Aluna yang masih berdiri di dekat ibunya, tampak sedikit pucat. Ji-Woon lalu berjalan mendekat, menatapnya dengan lembut dan penuh kekhawatiran.
“Seo-Rin, keadaanmu sekarang tak boleh terlalu banyak terganggu oleh masalah. Kesehatanmu dan kesehatan anak kita yang utama.” Ia menahan sejenak, lalu berkata, “Malam ini, aku akan tinggal di sini. Jika ada hal lain yang perlu ditangani, aku akan berada di sisimu.”
Aluna terkejut mendengar niatnya itu, begitu pula kedua orang tua Seo-Rin. Namun, mereka semua menyambutnya dengan penuh rasa syukur dan kehangatan. Mereka segera menyiapkan kamar dan memastikan kenyamanan Pangeran selama berada di rumah itu.
Saat malam tiba dan semua orang mulai tenang, Pangeran Ji-Woon mendatangi Aluna yang sedang beristirahat di kamarnya. Tanpa banyak kata, ia duduk di dekatnya, memegang tangannya erat seolah ingin menyampaikan bahwa ia akan selalu ada di sana.
“Aku tahu banyak hal tak mudah bagimu di istana maupun di sini,” ujar Pangeran perlahan. “Tapi kau harus tahu, aku selalu berada di pihakmu. Apa pun yang terjadi, aku takkan membiarkanmu berjuang sendirian.”
Aluna menatap Pangeran dengan penuh haru, matanya mulai berkaca-kaca. Dalam detik-detik itu, ia merasakan perasaan hangat yang begitu tulus dari Ji-Woon—sesuatu yang menembus batas-batas status mereka, membawa pengertian yang mendalam di antara mereka berdua.
“Terima kasih, Yang Mulia,” jawab Aluna, suaranya gemetar. “Aku benar-benar berterima kasih untuk semua yang kau lakukan untukku dan keluargaku.”
Ji-Woon tersenyum, mengusap lembut pipi Aluna. “Kau tak perlu berterima kasih. Aku melakukan ini karena aku menginginkannya, karena kau adalah orang yang berharga bagiku, Seo-Rin.”
Malam itu berlalu dalam keheningan penuh makna. Pangeran Ji-Woon benar-benar menjaga Aluna dengan perhatian penuh, memastikan ia bisa beristirahat dengan tenang. Di sisi lain, Aluna semakin terjebak dalam emosi yang bergejolak, sadar betapa perasaannya pada Ji-Woon kian tumbuh meski berbagai kekacauan mengelilinginya.
Perlahan tapi pasti, ia mulai merasakan, bahwa apa yang dulu ia pikir hanyalah karakter ciptaan kini menjadi nyata—bahwa di balik segala intrik dan ketidakpastian, Pangeran Ji-Woon telah menempati tempat khusus dalam hatinya.
*
Keesokan paginya, Pangeran Ji-Woon meminta Min-Ho untuk menemuinya di taman belakang rumah. Matahari masih bersinar lembut, namun wajah Pangeran menunjukkan keseriusan yang tak terbantahkan. Min-Ho datang dengan langkah ragu, menundukkan kepala begitu ia berdiri di hadapan Pangeran.
Pangeran Ji-Woon menghela napas, mengamati pemuda itu sejenak, lalu memulai pembicaraan dengan nada tegas.
"Min-Ho," ujar Ji-Woon, "Seo-Rin akan segera kembali bersamaku ke istana. Setelah hari ini, tidak akan ada lagi yang akan membereskan masalah-masalahmu di sini. Orangtuamu semakin renta, dan kau tak bisa terus-menerus menjadi beban bagi mereka."
Min-Ho tampak terkejut mendengar ketegasan itu, namun Pangeran melanjutkan tanpa memberi kesempatan bagi Min-Ho untuk berbicara. "Kau punya pilihan, Min-Ho. Aku sudah melihat banyak kesempatan di mana kau bisa berubah, tapi selalu saja kau memilih jalan yang sama—membuat onar, berjudi, mabuk, dan menelantarkan keluargamu. Namun aku ingin memberimu satu kesempatan lagi."
Min-Ho mengangkat wajahnya, sorot matanya penuh harap dan sedikit rasa malu.
“Jika kau bisa mengubah sikapmu, menunjukkan bahwa kau bisa bertanggung jawab, aku akan memberikanmu pekerjaan di istana. Pekerjaan itu bisa memberimu hidup yang layak dan membebaskan keluargamu dari kekhawatiran. Tapi ingat, ini kesempatan terakhir.”
Min-Ho menelan ludah, lalu mengangguk pelan. "Saya mengerti, Yang Mulia. Terima kasih… atas kesempatan ini."
Pangeran Ji-Woon menepuk bahu Min-Ho dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa optimis meskipun dalam hatinya masih ada keraguan. "Ingatlah, Min-Ho, yang kau perjuangkan bukan hanya demi dirimu sendiri, tapi juga untuk keluargamu, terutama untuk Seo-Rin. Ini saatnya bagimu untuk membuktikan, bahwa kau bisa lebih dari sekadar pembuat masalah."
Min-Ho menunduk dalam-dalam, menyembunyikan rasa malunya. Dalam keheningan yang tenang itu, ia merasakan harapan kecil yang membara dalam dirinya—bahwa mungkin, hanya mungkin, ia bisa menjadi seseorang yang lebih baik.
Pangeran Ji-Woon tersenyum samar, merasa lega telah menyampaikan maksudnya. "Baiklah, pastikan kau membuat keputusan yang tepat. Jangan kecewakan aku, Min-Ho."
Min-Ho kembali mengangguk, dan dalam keheningan yang penuh makna, ia meninggalkan taman dengan tekad yang baru. Bagi Pangeran Ji-Woon, ini adalah langkah kecil untuk memberikan masa depan yang lebih baik bagi Seo-Rin dan keluarganya, meski perjalanan itu masih panjang dan penuh dengan tantangan.
Bersambung >>>