"Apa yang kamu tahu?" tanya Aditya pada pria yang kepalanya berlumuran darah.
"Aku hanya lihat ada tiga orang pria datang lalu dia menyuntikkan sesuatu pada wanita itu. Setelah wanita itu tidak berdaya, mereka menggantungnya seolah dia bunuh diri."
Usai mengatakan itu, pria tersebut menghilang tanpa bekas.
Sebagai seorang polisi, terkadang Aditya menemui kesulitan ketika mengungkap sebuah kasus. Dan tak jarang dia sering meminta informasi dari makhluk tak kasat mata yang ada di sekitar lokasi kejadian.
Aditya memanfaatkan indra keenamnya untuk mengungkap kasus kejahatan yang terjadi di sekitarnya. Tak sendiri, dia ditemani jin cantik bernama Suzy yang rela membantunya melakukan apapun, kecuali mencarikan jodoh untuknya.
"Haiissshh.. Tante Suzy.. yang benar dong kalau kasih info. Nyasar lagi nih kita!" kesal Adita.
"Kalau mau nanya alamat tuh ke Mbah Gugel! Bukan ke aku!"
Aditya hanya menepuk keningnya saja.
"Percuma ngajak jin dongo," gumam Aditya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aang
Aditya terus berjalan mengikuti anak di depannya. Anak itu membawanya menyusuri jalanan gang yang cukup sepi dan gelap. Aditya mengambil ponselnya lalu menyalakan senter untuk menerangi jalannya. Setelah seratus meter berjalan, anak itu berhenti. Aditya menyorotkan senternya ke dekat anak kecil itu. Tak jauh di sana terdapat seorang anak kecil tengah terbaring. Dengan cepat Aditya mendekati. Dia menempelkan jarinya ke leher anak itu dan tidak ada denyut nadinya.
Senternya terus menyorot anak yang tengah terbaring tersebut. Di bagian kepalanya terdapat luka yang mengeluarkan darah. Lalu di tangan dan kakinya terdapat luka lebam akibat pukulan benda tumpul. Nyawa anak itu sudah tidak tertolong lagi. Dari jasadnya, Aditya memperkirakan kalau anak itu sudah meninggal sekitar dua jam lalu. Pria itu kemudian melihat pada anak kecil yang membawanya ke sini. Rupa anak itu sama persis dengan anak yang berbaring.
"Bagaimana dia meninggal?"
"Habis disiksa oleh ayah tirinya."
"Kenapa kamu bisa tahu? Kenapa kamu mengikutinya?"
"Karena dia bisa melihatku. Dia tidak punya teman dan hanya aku yang menjadi temannya."
"Apa dia sering mendapatkan penyiksaan?"
"Iya. Setiap ayahnya pulang dalam keadaan mabuk, dia selalu kena pukul. Andai aku bisa menolongnya, aku pasti akan menolongnya. Tapi aku tidak bisa menampakkan wujud asliku pada laki-laki brengsek itu. Aku juga tidak bisa memegang barang yang bisa kupakai untuk memukulnya. Aku hanya bisa melihatnya dipukuli oleh ayah tirinya."
"Di mana ibunya?"
"Ibunya kabur karena tak kuat terus dipukuli oleh suaminya."
"Brengsek," Aditya mengumpat pelan.
"Siapa namamu? Nama aslimu," tanya Aditya lagi.
"Zagreb."
"Umurmu?"
"300 tahun. Kalau di duniamu, aku sepantar dengannya."
"Ganti penampakanmu. Aku tidak suka kamu memakai penampakan jasadnya."
"Baiklah."
Jin itu berpikir sejenak. Dia mencoba mengingat wajah-wajah yang diingatnya. Kemudian dia mengingat pernah melihat sebuah film yang sangat disukai temannya itu. Jin tersebut pun memakai penampakan tersebut. Sekarang dia sudah berubah menjadi seorang anak lelaki berkepala plontos dengan sebuah tanda anak panah di kepalanya. Bahkan pakaian yang dikenakannya sama dengan tokoh fiktif yang ditirunya. Aditya yang melihat itu tak bisa menahan tawanya. Penampilan jin tersebut sekarang sudah seperti Aang, pengendali angin.
"Aang.. apa dia dibunuh di sini atau di tempat lain?"
"Aang? Namaku Zagreb bukan Aang."
"Tapi kamu mengambil penampakan Aang si pengendali angin. Aku lebih senang memanggilmu dengan sebutan Aang."
"Baiklah, terserah kamu saja. Dia tidak dibunuh di sini, tapi di tempat lain. Aku bisa menunjukkannya padamu."
"Kapan dia dipindahkan?"
"Setelah dia dipindahkan ke sini, aku langsung menemuimu."
"Bagaimana kamu tahu aku bisa melihatmu?"
"Kamu memiliki aura biru kehijauan. Hanya orang dengan aura itu bisa melihat dan berinteraksi denganku. Apa kamu bisa menangkap ayah tirinya? Dia harus dihukum, aku tidak rela dia lolos begitu saja. Aku akan membawamu padanya. Kamu akan menangkapnya kan?"
"Tidak semudah itu menangkap orang. Aku harus mengikuti prosedur, harus ada bukti dan saksi. Serahkan semuanya padaku, tapi kamu harus membantuku. Besok aku akan datang lagi ke sini. Kamu tunggu aku di sini, tapi jangan ajak aku bicara, aku tidak mau terlihat seperti orang gila berbicara sendiri. Kamu cukup sampaikan apa yang kamu tahu. Aku akan mendengarkan."
"Baiklah."
"Sekarang kamu pergi. Cari informasi sebanyak-banyaknya agar aku bisa cepat menangkap ayah tirinya."
Zagreb atau yang sekarang dipanggil dengan sebutan Aang menganggukkan kepalanya. Dia segera menghilang dari sana. Aang akan kembali ke kediaman temannya dan mengawasi pergerakan ayah tiri temannya itu.
Sepeninggal Aang, Aditya segera menghubungi kantor polisi terdekat untuk melaporkan kasus ini. Dia segera membuat pembatas agar TKP tidak rusak. Dia terus berjaga sampai petugas datang. Sepuluh menit berselang, dua unit mobil polisi, sebuah SUV dan ambulans mendekat. Empat pria berseragam dan tiga petugas berpakaian bebas mendekat. Di belakang mereka datang dua orang berpakaian serba putih. Mereka adalah petugas forensik.
Salah seorang pria yang mengenakan pakaian bebas mendekati Aditya. Pria itu tahu kalau yang mendekatinya berasal dari unit Jatanras. Mereka memang jarang mengenakan seragam jika sedang bertugas di lapangan.
"Apa anda yang menemukan jasad ini?" tanya petugas tersebut.
"Iya."
"Saat anda menemukannya, apa dia sudah meninggal?"
"Iya. Dia mengalami cedera di bagian kepala, terdapat luka lebam di sekujur tubuhnya. Sepertinya dia meninggal karena luka di kepalanya."
Petugas polisi itu memicingkan matanya, melihat pada Aditya dengan curiga. Aditya segera mengambil dompetnya lalu mengeluarkan tanda pengenalnya. Polisi tersebut mengambil tanda pengenal yang diberikan Aditya. Ternyata pria di hadapannya ini sama sepertinya. Dia membaca nama yang tertera di sana, Ipda Aditya Dzuhairi Urahman.
"Urahman," gumam petugas itu pelan. Nama belakang Aditya sama dengan nama kepala Polrestabes Bandung saat ini, Taufik Urahman. Pria itu tak mau berpikir macam-macam. Nama Urahman bukan hanya milik kepala pimpinannya saja.
"Terima kasih atas informasinya. Apa anda sedang berlibur?"
"Saya dipindahkan ke kantor Polrestabes Bandung. Sebelumnya saya bekerja di Polresta Yogyakarta. Saya mulai bertugas lusa."
"Ooh.."
Hanya itu saja jawaban yang terdengar dari pria di depannya. Perhatian mereka kemudian teralihkan pada petugas forensik yang tengah mengambil foto korban. Sementara petugas polisi yang lain mulai menyisir lokasi mencari barang bukti.
"Boleh aku meminta sarung tangan? Aku akan membantu di sini," ujar Aditya.
Petugas yang tadi berbicara dengan Aditya memberikan sarung tangan pada pria itu. Dia juga memberikan sarung sepatu. Selesai memakai semua perlengkapan, Aditya mulai menyusuri daerah sekitar untuk mencari bukti. Dia harus mendapatkan bukti dan saksi untuk menjebloskan pria itu ke penjara.
Tidak ada barang bukti yang bisa ditemukan di TKP. Polisi berkesimpulan kalau anak itu dibunuh di tempat lain dan dibuang ke sini. Selesai memeriksa daerah sekitar, Aditya segera pamit. Pasti keluarganya cemas dengan kedatangannya yang terlambat. Pria yang tadi berbicara dengan Aditya menawarkan diri untuk mengantar Aditya pulang.
"Namaku Tomi. Nanti kita akan bekerja di satu kantor," ujar pria itu ketika sudah berada di dalam mobil.
"Siap, Pak."
Hanya tawa kecil yang terdengar dari Tomi. Dia tidak terlalu mementingkan pangkat dalam bekerja. Melihat Aditya yang cekatan dan pintar, dia yakin kalau pria muda ini memiliki kemampuan yang baik.
"Saya harap kamu bisa bergabung di tim satu," lanjut Tomi.
"Mudah-mudahan, Pak."
"Selain kamu, masih ada satu lagi personil yang dipindahkan ke Bandung. Dia pindahan dari Polresta Jambi. Sama sepertimu, dia mulai bergabung lusa."
Aditya hanya menganggukkan kepalanya saja. Pria itu kemudian menunjukkan arah menuju rumahnya. Kening Tomi berkerut melihat arah jalan yang ditunjukkan adalah adalah menuju rumah Kombes Pol Taufik Urahman. Pria itu menarik nafasnya ketika mobil yang dikendarainya berhenti di depan rumah Tamar. Tebakannya benar, pria di sebelahnya ini memang memiliki hubungan dengan atasannya.
"Jadi kamu anaknya Pak Tamar," ujar Tomi setelah menghentikan mobilnya.
"Dia ayah saya saat ada di rumah. Di kantor, hubungan kami hanya sebatas atasan dan bawahan. Mohon Bapak tidak mengungkit hubungan saya dengan ayah saya di kantor."
"Hahaha.. baiklah."
"Terima kasih atas tumpangannya."
"Sama-sama."
Aditya segera keluar dari mobil. Dia masih berdiri di tempatnya sampai mobil yang dikendarai Tomi meluncur pergi. Ketika pria itu membuka pintu pagar, Tamar keluar dari rumah. Pria itu sudah siap untuk shalat shubuh berjamaah di masjid. Aditya segera mencium punggung tangan Papanya.
"Kenapa baru sampai?" tanya Tamar sambil melihat tajam pada anak sulungnya.
***
Abis ketemu Aang😂
Jangan lupa bintang lima nya🤗
menyusahkan tapi ujungnya baiklah 😂😂
waaah sean emang kmu punya orderan ala aja😆😆😆😆😆