Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11:Jejak Darah dan Bayang-bayang
Langit terus menggantungkan awan hitam di atas kepala Ardan. Langkahnya yang sebelumnya mantap kini semakin lambat, seiring pikiran yang memenuhi benaknya. Gadis itu… gadis kecil dengan gaun putih lusuh dan luka menganga di perutnya. Pemandangan itu terus bermain di kepala Ardan, seolah menolak untuk pergi.
Namun yang lebih mengganggu adalah kata-katanya: “Buku itu… akan menunjukkan jalan ke dalam kegelapan.”
Kegelapan apa yang dimaksud? Dan kenapa gadis itu seakan mengenalnya? Semakin jauh Ardan berjalan, semakin banyak pertanyaan yang muncul, tanpa satu pun jawaban yang memadai.
Hutan di sekelilingnya semakin sunyi, seolah memusuhi keberadaannya. Burung-burung tidak bersuara, bahkan angin pun seakan berhenti berembus. Yang terdengar hanyalah langkah Ardan di atas dedaunan kering, menciptakan ritme yang tak nyaman.
Ia menatap buku lusuh itu lagi, yang terasa lebih dingin di tangannya. Sampul kelabu dengan simbol lingkaran aneh itu kini tampak hampir berdenyut, seakan hidup. Ardan berhenti berjalan, memegang buku itu dengan kedua tangan.
“Kenapa aku merasa seperti ini…?” gumamnya lirih.
Saat ia mencoba membuka halaman pertama, suara langkah berat terdengar di belakangnya. Ardan berbalik cepat, tubuhnya tegang. Tidak ada apa-apa—hanya pepohonan dan bayangan gelap di bawahnya.
Namun, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat. Langkah-langkah berat, seperti makhluk besar yang mendekat dengan sengaja. Ardan menggenggam buku itu erat-erat, rasa takutnya kini bercampur dengan kewaspadaan.
“Siapa di sana?” tanyanya dengan nada bergetar.
Tidak ada jawaban. Tapi suara langkah itu terus terdengar, semakin dekat, semakin mengancam. Ardan mundur perlahan, hingga punggungnya menabrak pohon besar di belakangnya. Ia mencoba bernapas perlahan, namun sulit untuk tetap tenang ketika ancaman tidak terlihat.
“Jika kau ingin sesuatu dariku… keluarlah!” teriaknya, mencoba menantang bayangan itu.
Tiba-tiba, suara itu berhenti. Sunyi. Begitu sunyi hingga Ardan bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
Namun, sebelum ia bisa merasa lega, sebuah suara lain terdengar—bukan langkah, tetapi seperti deru napas yang dalam dan berat, tepat di telinganya. Ardan berbalik dengan cepat, tetapi tidak ada apa-apa di sana.
“Jangan takut, Ardan,” suara berat yang sangat dalam bergema di sekitarnya, seolah datang dari segala arah sekaligus.
Ardan menelan ludah, menatap sekeliling dengan panik. “Siapa kau? Apa yang kau inginkan dariku?”
“Bukan aku yang menginginkanmu. Buku itu yang memanggilmu,” suara itu menjawab, kali ini lebih pelan tetapi masih sama mengintimidasi. “Dan kau telah menjawab panggilannya.”
Ardan merasa lututnya melemah. “Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Aku bahkan tidak tahu apa buku ini sebenarnya!”
“Dan itulah kenapa kau dipilih,” suara itu menjawab dengan nada hampir penuh ejekan.
Sebelum Ardan bisa membalas, bayangan besar muncul di hadapannya. Sebuah sosok raksasa dengan tubuh yang tampak terbuat dari kabut hitam, berdiri menjulang di antara pepohonan. Matanya menyala merah, penuh kebencian yang mencekam.
“Setiap pilihan memiliki harga, Ardan,” kata sosok itu, mengangkat salah satu tangannya yang besar dan panjang. “Dan buku itu telah memilihmu untuk membayar harganya.”
Ardan terdiam, tidak mampu bergerak. Namun, ketika sosok itu melangkah maju, sesuatu dalam dirinya meledak. Entah dari mana datangnya, keberanian yang sebelumnya terkubur kini muncul ke permukaan.
“Jika kau pikir aku akan menyerah begitu saja, kau salah besar,” katanya dengan nada tegas, meskipun hatinya masih dipenuhi ketakutan.
Ia membuka buku itu dengan cepat, tanpa tahu apa yang akan terjadi. Halaman-halaman lusuh itu berisi tulisan-tulisan aneh yang tidak ia pahami, tetapi begitu ia membacanya, cahaya keperakan memancar dari dalam buku, memotong kegelapan di sekitarnya.
Sosok kabut itu berhenti, tampak terganggu oleh cahaya tersebut. “Kau berani membuka buku itu… tanpa memahami apa yang kau hadapi?”
“Aku tidak punya pilihan lain,” jawab Ardan dengan suara gemetar.
Cahaya dari buku itu semakin terang, hingga akhirnya meledak dalam kilatan besar yang membutakan. Ardan terjatuh ke tanah, merasakan dunia di sekitarnya berputar.
Ketika ia membuka matanya, ia tidak lagi berada di hutan. Sebaliknya, ia menemukan dirinya di sebuah tempat yang tidak masuk akal.
Langit di atasnya berwarna ungu gelap, dengan bintang-bintang yang tampak terlalu dekat. Tanah di bawahnya seperti kaca hitam, memantulkan bayangan Ardan dengan sempurna. Di kejauhan, ia melihat sebuah kastil besar dengan menara-menara yang menjulang tinggi, dikelilingi oleh kabut tebal.
“Apa ini…?” bisiknya, mencoba memahami apa yang terjadi.
Namun, sebelum ia bisa melangkah, suara seorang gadis memanggilnya.
“Ardan…”
Ia berbalik cepat, dan melihat gadis kecil itu—yang tadi ia temui di hutan. Namun kali ini, ia tidak terluka. Gaun putihnya bersih, dan wajahnya tampak lebih hidup.
“Kau… bukankah kau…” Ardan terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
Gadis itu mendekat, tatapannya penuh kesedihan. “Aku telah mencoba memperingatkanmu, tapi kau tetap memilih untuk membuka buku itu.”
“Apa maksudmu? Apa yang terjadi padaku? Di mana aku sekarang?”
“Kau berada di antara dunia,” jawab gadis itu. “Dunia nyata, dan dunia di mana buku itu berasal. Tempat ini adalah bayangan dari kehancuran.”
Ardan mengerutkan kening. “Kenapa aku? Kenapa buku itu memilihku?”
Gadis itu tidak menjawab langsung. Ia menunduk, seolah menahan sesuatu yang sulit diungkapkan.
“Kau memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang lain,” akhirnya ia berkata. “Sebuah kekuatan… atau mungkin, sebuah kutukan. Buku itu hanya memilih mereka yang memiliki kegelapan di dalam hati mereka.”
Ardan terdiam. Kata-kata itu menghantamnya seperti palu. Ia tahu ia bukan orang yang sempurna, tetapi apakah kegelapan yang dimaksud itu benar-benar ada dalam dirinya?
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanyanya dengan suara lirih.
Gadis itu menatapnya, mata besar dan berkilauan itu penuh dengan emosi yang sulit dijelaskan. “Kau harus menyelesaikan apa yang telah kau mulai. Kastil itu…” ia menunjuk ke arah kastil besar di kejauhan. “Jawaban dari semua pertanyaanmu ada di sana.”
Ardan memandang kastil itu dengan ragu. Tempat itu tampak seperti jebakan besar, penuh dengan bahaya yang belum bisa ia bayangkan. Namun, ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Aku akan pergi ke sana.”
Gadis itu tersenyum tipis, tetapi ada kesedihan di balik senyumannya. “Berhati-hatilah, Ardan. Kastil itu bukan tempat yang ramah. Dan ingatlah… tidak semua yang kau temui di sana adalah musuh, tetapi juga tidak semua yang terlihat ramah adalah teman.”
Dengan kata-kata itu, gadis itu menghilang begitu saja, meninggalkan Ardan sendirian.
Ardan menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Ia menatap kastil itu lagi, sebelum akhirnya mulai berjalan menuju tempat yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya.
Akan Berlanjut