Novel ini mengisahkan perjalanan cinta yang penuh dinamika, yang diselimuti perselisihan dan kompromi, hingga akhirnya menemukan makna sesungguhnya tentang saling melengkapi.
Diantara lika-liku pekerjaan, mimpi, dan ego masing-masing, mereka harus belajar mengesampingkan perbedaan demi cinta yang semakin kuat. Namun, mampukah mereka bertahan ketika kenyataan menuntut mereka memilih antara ambisi atau cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arin Ariana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meniti Jalan Baru Sebagai Keluarga
Tahun keempat pernikahan mereka membawa perubahan besar dalam kehidupan Ariana dan Alfatra. Kirana mulai tumbuh menjadi balita yang aktif, membawa kebahagiaan sekaligus tantangan baru. Dalam fase ini, mereka menghadapi berbagai keputusan besar, mulai dari pengelolaan waktu, keuangan, hingga prioritas keluarga. Mereka menyadari bahwa peran sebagai orang tua tidak hanya soal mengasuh, tetapi juga membangun pondasi yang kokoh untuk masa depan anak mereka.
...................~
Kirana, yang kini berusia dua tahun, menjadi pusat perhatian di rumah. Dia adalah anak yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu, tetapi energi berlebihnya sering kali menguji kesabaran Ariana dan Alfatra.
“Aku merasa seperti aku tidak punya waktu untuk diriku sendiri,” keluh Ariana suatu malam sambil melipat pakaian Kirana. “Setiap hari rasanya seperti maraton.”
Alfatra, yang sedang memasang mainan untuk Kirana, tersenyum kecil. “Aku tahu, Ari. Tapi lihatlah dia. Dia adalah alasan kita tetap kuat.”
Ariana mengangguk, mencoba memahami bahwa meskipun lelah, mereka diberkahi dengan kehadiran Kirana. Namun, dia tahu bahwa mereka harus menemukan cara untuk menyeimbangkan kehidupan mereka agar tidak merasa terbebani.
Mereka akhirnya memutuskan untuk mengatur jadwal yang lebih terstruktur. Alfatra mengambil lebih banyak peran dalam rutinitas Kirana, seperti membawanya ke taman atau membaca buku sebelum tidur. Hal ini memberi Ariana sedikit waktu untuk dirinya sendiri, sesuatu yang sangat dia butuhkan.
Di tengah kebahagiaan keluarga, Alfatra menghadapi tantangan besar di tempat kerja. Perusahaannya mengalami restrukturisasi besar-besaran, dan posisinya sebagai manajer proyek terancam. Ketidakpastian ini membuatnya stres, tetapi dia berusaha menyembunyikannya dari Ariana.
“Kenapa kamu terlihat murung belakangan ini?” tanya Ariana suatu malam.
“Tidak apa-apa, Ari. Hanya masalah kantor,” jawab Alfatra singkat.
Namun, Ariana tahu ada sesuatu yang lebih besar. Setelah mendesak Alfatra untuk jujur, akhirnya dia mengakui kekhawatirannya tentang pekerjaan.
“Aku takut kehilangan pekerjaan ini, Ari. Kalau itu terjadi, bagaimana kita akan menghidupi Kirana?”
Ariana menggenggam tangan Alfatra erat. “Kamu tidak sendiri dalam hal ini. Kita akan mencari solusi bersama. Apa pun yang terjadi, aku ada di sini untukmu.”
Dukungan Ariana memberikan kekuatan baru bagi Alfatra. Dia mulai mencari peluang baru dan bahkan mempertimbangkan untuk memulai bisnis sendiri, sesuatu yang selalu dia impikan tetapi tidak pernah berani dia lakukan.
Sementara itu, karir Ariana juga mulai menunjukkan kemajuan. Dia dipromosikan menjadi manajer di perusahaannya, sebuah pencapaian besar yang dia capai dengan kerja keras. Namun, tanggung jawab baru ini juga membawa tekanan tambahan.
“Aku senang dengan promosi ini, Alfa, tapi aku juga takut. Bagaimana kalau aku tidak bisa menangani semuanya—pekerjaan, rumah, Kirana?”
“Kamu selalu berhasil, Ari. Dan kalau kamu butuh bantuan, aku di sini,” jawab Alfatra sambil tersenyum.
Namun, tantangan itu lebih besar dari yang Ariana perkirakan. Ada malam-malam di mana dia harus bekerja lembur, melewatkan waktu bersama Kirana. Rasa bersalah mulai menghantui, dan dia merasa seperti gagal menjadi ibu yang baik.
“Kirana menangis mencarimu tadi malam,” kata Alfatra dengan lembut suatu pagi. “Aku tahu kamu sibuk, tapi mungkin kita perlu mempertimbangkan kembali prioritas kita.”
Percakapan itu menjadi momen penting bagi Ariana. Dia menyadari bahwa, meskipun karir penting, keluarga adalah prioritas utama. Dengan dukungan Alfatra, dia mulai membagi waktu lebih baik, bahkan jika itu berarti menolak beberapa proyek besar di kantornya.
Di tengah kesibukan mereka sebagai orang tua, Ariana dan Alfatra mulai merasa terisolasi dari kehidupan sosial mereka. Teman-teman lama mulai jarang terlihat, dan waktu untuk bersenang-senang di luar rumah hampir tidak ada.
“Rasanya seperti kita kehilangan diri kita yang dulu,” kata Ariana suatu malam.
“Kita terlalu sibuk dengan semua ini, tapi mungkin kita harus meluangkan waktu untuk teman-teman kita lagi,” jawab Alfatra.
Mereka memutuskan untuk menghidupkan kembali kehidupan sosial mereka. Mereka mulai mengundang teman-teman untuk makan malam di rumah, bergabung dengan komunitas orang tua muda, dan bahkan merencanakan liburan singkat bersama teman-teman lama. Ini memberi mereka kesegaran baru dan mengingatkan bahwa mereka masih bisa menikmati hidup meski dengan tanggung jawab besar.
Setelah melewati banyak tantangan, Ariana dan Alfatra mulai memikirkan rencana jangka panjang. Mereka ingin memastikan Kirana memiliki masa depan yang baik, tetapi juga ingin mencapai impian pribadi mereka.
“Aku ingin kita membeli rumah sendiri, Ari,” kata Alfatra. “Bukan hanya untuk kita, tapi untuk Kirana. Aku ingin dia punya tempat yang bisa dia sebut rumah.”
“Dan aku ingin kita tetap memiliki waktu untuk kita berdua, Alfa. Aku tidak ingin hubungan kita hanya menjadi tentang pekerjaan dan anak,” tambah Ariana.
Percakapan itu memotivasi mereka untuk bekerja lebih keras dan lebih cerdas. Mereka mulai menabung dengan tujuan jelas: membeli rumah, merencanakan pendidikan Kirana, dan menyisihkan waktu untuk perjalanan romantis mereka berdua.