Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Pov Dasha
Dasha berjalan di trotoar yang sepi, membungkus tubuhnya dengan jaket tipis, meskipun udara malam mulai terasa dingin. Lampu jalanan yang redup memberi sedikit cahaya pada jalan yang sunyi, membuatnya merasa terisolasi meskipun ia tahu banyak orang ada di sekitarnya. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah dunia ini menekan punggungnya.
Dia teringat bagaimana hidupnya berubah drastis beberapa tahun lalu. Dasha masih ingat hari itu dengan jelas hari ketika ia menerima telepon yang mengabarkan bahwa kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Di usia 21 tahun, Dasha harus belajar untuk berdiri sendiri, tanpa orang tua yang selalu menjadi pelindungnya. Dunia yang dulu penuh dengan kasih sayang, kebersamaan, dan rasa aman, tiba-tiba hancur dalam sekejap.
Pulang ke rumah yang sepi setelah pemakaman, Dasha merasakan kepedihan yang sulit dijelaskan. Semua kenangan indah bersama orang tuanya kini menjadi bayangan yang terus mengikuti setiap langkahnya. Tidak ada lagi suara tawa ayahnya atau kasih sayang ibu yang selalu memberinya dukungan. Hanya ada keheningan yang mengingatkannya bahwa ia harus menjalani hidupnya sendiri.
Beberapa bulan setelah kejadian itu, Dasha memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah di luar kota dan memilih untuk kembali ke kota tempat orang tuanya tinggal. Ia tinggal di rumah yang kini terasa begitu kosong. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Dasha merasakan kesendirian yang mendalam. Tidak ada lagi kebiasaan pagi yang penuh canda dengan ibunya atau makan malam yang ramai bersama ayahnya. Semua itu telah berlalu.
Namun, meski begitu, Dasha tidak menyerah. Ia tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Ia harus bekerja keras dan mengejar impian yang orang tuanya tanamkan dalam dirinya untuk menjadi seorang profesional yang sukses dan mandiri.
Di kantor tempatnya bekerja, Dasha sering kali merasa tidak memiliki tempat. Meskipun ia selalu memberikan yang terbaik dalam pekerjaannya, terkadang ia merasa berbeda dengan rekan-rekannya yang memiliki keluarga yang mendukung. Saat rekan-rekan lain berbicara tentang rencana akhir pekan bersama keluarga atau liburan bersama anak-anak mereka, Dasha hanya bisa mendengarkan dengan senyum tipis, menyembunyikan rasa kesepian yang kadang datang begitu mendalam.
.
.
.
.
Dasha melangkah memasuki kantor dengan semangat yang lebih dari biasanya. Hari itu terasa berbeda. Sejak pagi, ia merasa lebih ringan, meskipun masih banyak pekerjaan yang menanti. Hari itu, ia dijadwalkan untuk bertemu dengan Gavin dan anaknya, Nathan, yang seharusnya ikut ke kantor setelah pengasuh Nathan mendadak sakit.
Dasha sebenarnya tidak terlalu tahu apa yang membuatnya merasa begitu antusias. Mungkin karena sudah lama ia hanya berinteraksi dengan Gavin secara profesional, tetapi kali ini ada suasana yang berbeda. Melihat Gavin dengan anaknya membuat Dasha merasa lebih dekat, lebih manusiawi. Rasanya menyenangkan melihat sisi lain dari Gavin, yang selama ini hanya ia kenal sebagai sosok CEO yang tegas.
Saat Dasha tiba di kantor, ia langsung melihat Gavin berdiri di dekat pintu ruangannya. Di sampingnya, seorang bocah kecil mengenakan kemeja biru dengan dasi kupu-kupu, memegang mainan mobil yang tampak besar di tangan kecilnya. Matanya berbinar saat melihat para pegawai yang datang dan pergi di sekitar kantor.
"Selamat pagi, Dasha," sapa Gavin dengan senyum tipisnya, meskipun matanya seolah berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
"Selamat pagi, Pak Gavin," jawab Dasha, mencoba tidak terlihat terlalu gugup. "Dan ini Nathan, ya?"
Nathan yang mendengar namanya langsung mengangkat wajahnya dan tersenyum ceria. "Iya! Aku Nathan!" katanya dengan suara riang, menatap Dasha dengan rasa penasaran.
Dasha tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa cerianya Nathan. "Hai Nathan, kamu datang ke kantor hari ini?" tanyanya, berjongkok sedikit agar setinggi badan mereka hampir sejajar.
Nathan mengangguk semangat. "Iya! Aku mau lihat papa kerja! Kamu teman papa, kan?"
Dasha sedikit terkejut mendengar pertanyaan polos dari Nathan, tapi ia merasa senang. "Iya, saya teman papa kamu," jawab Dasha sambil tersenyum.
Gavin yang mendengar itu hanya tersenyum tipis, lalu berkata, "Dasha, bisakah kamu bantu jagain Nathan sebentar? Aku ada rapat, dan dia pasti bosan kalau sendirian di sini."
Dasha mengangguk cepat. "Tentu, Pak Gavin."
Setelah Gavin masuk ke ruang rapat, Dasha membawa Nathan ke ruang kerja kecilnya. Mereka duduk bersama, dan Dasha mengeluarkan beberapa mainan kecil dari lacinya untuk menghibur Nathan. Ternyata, meski masih kecil, Nathan sudah pintar berbicara dan sangat ramah. Mereka mengobrol sejenak, dan Dasha terkejut betapa cepatnya mereka berdua akrab.
"Ini mobil keren banget," kata Nathan sambil menggenggam miniatur mobil yang Dasha keluarkan dari laci mejanya. "Papa suka mobil juga!"
Dasha tertawa kecil. "Iya, pasti. Banyak yang suka mobil."
Selama beberapa menit berikutnya, Nathan dan Dasha sibuk bermain bersama. Dasha merasa bahagia bisa menghabiskan waktu dengan anak kecil yang ceria itu. Rasanya, sejenak, beban pekerjaan dan ketegangan di kantor menghilang begitu saja.
Tak lama setelah itu, Gavin kembali dari rapatnya. Ia berdiri di pintu ruangan, memperhatikan Dasha dan Nathan yang sedang duduk bersama, tertawa-tawa. Ada kebanggaan dalam pandangannya saat melihat Dasha menjaga Nathan dengan penuh perhatian.
"Sepertinya kalian sudah akrab ya," kata Gavin sambil melangkah masuk, suaranya lebih lembut dari biasanya.
Nathan langsung berlari ke arah Gavin. "Papa! Kak Dasha ngajarin aku main mobil! Dia baik banget!" serunya dengan penuh semangat.
Gavin menatap Dasha, matanya menyiratkan rasa terima kasih. "Terima kasih, Dasha. Nathan biasanya agak sulit beradaptasi dengan orang baru, tapi kamu berhasil membuatnya merasa nyaman."
Dasha merasa pipinya sedikit memanas mendengar pujian itu, namun ia hanya tersenyum. "Saya senang bisa menemani Nathan, Pak. Dia anak yang luar biasa."
Gavin tersenyum lagi, kali ini senyum yang lebih hangat. "Kamu benar. Nathan memang luar biasa. Terima kasih sudah membantu hari ini."
Dasha merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Gavin berbicara dengannya. Ia merasa lebih dihargai, lebih dianggap, bukan hanya sebagai bawahan, tetapi sebagai seseorang yang memang bisa diandalkan.
Hari itu, meskipun penuh dengan pekerjaan yang menumpuk, Dasha merasa sangat senang. Tidak hanya karena bisa bertemu dengan Gavin dan Nathan, tetapi juga karena ia merasa seolah ada koneksi baru yang terjalin sesuatu yang lebih personal, yang melampaui batas profesionalisme yang selama ini mereka jaga.
Pov End