Deskripsi:
Di sebuah ruang sunyi yang dihiasi mawar merah dan lilin-lilin berpendar redup, seorang pengantin dengan gaun merah darah duduk dalam keheningan yang mencekam. Wajahnya pucat, matanya mengeluarkan air mata darah, membawa kisah pilu yang tak terucap. Mawar-mawar di sekelilingnya adalah simbol cinta dan tragedi, setiap kelopaknya menandakan nyawa yang terenggut dalam ritual terlarang. Siapa dia? Dan mengapa ia terperangkap di antara cinta dan kutukan?
Ketika seorang pria pemberani tanpa sengaja memasuki dunia yang tak kasat mata ini, ia menyadari bahwa pengantin itu bukan hanya hantu yang mencari pembalasan, tetapi juga jiwa yang merindukan akhir dari penderitaannya. Namun, untuk membebaskannya, ia harus menghadapi kutukan yang telah berakar dalam selama berabad-abad.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12: JEJAK DI BALIK BAYANGAN
Mereka berhasil keluar dari reruntuhan kuil tepat sebelum segalanya ambruk. Cahaya bulan di atas hutan terasa seperti keajaiban yang telah lama terlupakan. Udara dingin malam seolah menyambut mereka, menghapus hawa mencekam dari dalam kuil. Namun, tak seorang pun di antara mereka merasa lega.
Vera berdiri di tepi tebing, memandang reruntuhan kuil yang perlahan tenggelam dalam gelombang tanah yang menelannya. Dia memegang belatinya erat-erat, merasa campuran lega, kebingungan, dan ketakutan.
"Apakah kita benar-benar sudah menyelesaikan semuanya?" tanyanya lirih.
Maya, yang masih lemah tetapi berhasil bertahan, duduk bersandar di batang pohon. "Aku tidak tahu," jawabnya. "Tapi satu hal yang pasti, apa yang kita lakukan di dalam tadi bukan akhir dari semuanya."
Dimas memeriksa peta lusuh yang dia bawa sejak awal perjalanan ini. Peta itu kini tampak aneh—beberapa tanda yang sebelumnya terukir di sana kini memudar, seolah-olah perubahan besar telah terjadi. "Kalian lihat ini?" katanya, menunjuk ke peta. "Kuil itu tidak lagi ada di peta. Seolah-olah… ia benar-benar terhapus dari dunia."
"Tapi itu tidak berarti ancamannya hilang," kata Raka, yang tampak jauh lebih tenang dibandingkan sebelumnya. "Kita hanya menghentikan sesuatu yang ada di sana. Tapi keseimbangan yang disebutkan penjaga itu? Itu mungkin sudah terganggu."
Arjuna, yang sejak keluar dari kuil terlihat lebih diam dari biasanya, akhirnya angkat bicara. "Lalu, apa selanjutnya? Kita kembali ke kota dan berpura-pura bahwa semua ini tidak pernah terjadi?"
Vera menatap Arjuna dengan tajam. "Tidak ada yang bisa kita lupakan, Arjuna. Apa yang kita lihat di sana… apa yang kita lakukan… itu akan selalu menghantui kita."
---
Malam semakin larut, dan mereka memutuskan untuk mendirikan perkemahan di tengah hutan. Api unggun kecil menyala, memberikan sedikit rasa hangat di tengah malam yang gelap. Namun, suasana di antara mereka tetap tegang.
Maya, yang kini duduk lebih dekat ke api, berusaha mengobati lukanya sendiri. "Aku tidak tahu apa yang lebih menyakitkan," katanya, mencoba mencairkan suasana. "Luka di lenganku ini, atau kenyataan bahwa kita mungkin baru saja membuka pintu ke masalah yang lebih besar."
Dimas menghela napas. "Kalau itu benar, kita harus bersiap. Tapi aku tidak yakin kita punya cukup kekuatan untuk menghadapi apa pun yang akan datang."
Sebelum ada yang sempat menjawab, sebuah suara aneh terdengar dari kegelapan hutan. Suara itu seperti bisikan angin, tetapi ada nada tajam yang membuat bulu kuduk mereka meremang.
"Kalian pikir ini sudah berakhir?"
Vera segera berdiri, menghunus belatinya. "Siapa di sana?" tanyanya, matanya menelusuri kegelapan di luar jangkauan cahaya api unggun.
Tidak ada yang menjawab, tetapi suara langkah kaki yang perlahan mendekat membuat mereka semua bersiaga. Raka mengangkat stafnya, sementara Arjuna mempersiapkan posisi bertahan.
Dari balik bayang-bayang pepohonan, muncul seorang pria tua dengan pakaian compang-camping. Wajahnya penuh kerutan, matanya tajam, tetapi bibirnya tersenyum tipis. "Jangan takut," katanya dengan suara serak. "Aku datang bukan untuk melukai kalian."
Dimas mengarahkan panah energinya ke arah pria itu. "Siapa kau? Apa kau salah satu dari mereka?"
Pria itu tertawa kecil. "Mereka? Kau maksud penjaga atau Seta? Tidak, aku bukan bagian dari mereka. Aku hanya seorang pengamat… seseorang yang sudah terlalu lama melihat kejadian seperti ini berulang-ulang."
"Apa maksudmu?" tanya Raka, suaranya penuh kewaspadaan.
Pria tua itu melangkah lebih dekat, tetapi berhenti di batas lingkaran cahaya api unggun. "Kalian telah membuka sesuatu yang tidak bisa ditutup kembali. Apa yang terjadi di kuil tadi bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar."
"Kami sudah menghancurkan kristalnya," Vera menyela. "Kami sudah memurnikan tempat itu."
"Dan kau pikir itu cukup?" pria itu balik bertanya, suaranya terdengar getir. "Kristal itu hanyalah alat. Apa yang kalian lakukan hanyalah membebaskan kekuatan yang lebih besar dari apa yang kalian bayangkan."
Maya yang terlihat lelah memandang pria itu dengan penuh rasa curiga. "Lalu kenapa kau di sini? Kalau kau tahu sesuatu, lebih baik kau jelaskan sekarang."
---
Pria tua itu menghela napas panjang, lalu duduk di atas tanah, meskipun tanah itu dingin dan kasar. "Aku adalah penjaga terakhir yang tersisa. Bukan penjaga seperti makhluk yang kalian temui di kuil tadi. Aku adalah bagian dari ordo lama yang sudah lama terlupakan. Tugas kami adalah memastikan bahwa gerbang antara dua dunia tidak pernah terbuka sepenuhnya."
"Dan kau gagal," kata Arjuna dingin.
Pria itu tidak menampik. "Ya, kami gagal. Itu sebabnya aku di sini. Untuk memperingatkan kalian bahwa yang kalian hadapi sekarang jauh lebih berbahaya dari Seta atau penjaga kuil itu. Kalian telah membangunkan sesuatu yang lebih tua dan lebih kuat."
Raka memandang pria itu dengan tatapan tajam. "Kalau itu benar, apa yang bisa kami lakukan? Kami hampir mati hanya untuk keluar dari kuil itu."
"Kalian punya sesuatu yang belum sepenuhnya kalian pahami," kata pria itu, menunjuk ke arah belati di tangan Vera. "Senjata itu bukan hanya alat untuk bertahan hidup. Itu adalah kunci ke gerbang berikutnya."
Vera memandang belatinya dengan bingung. "Apa maksudmu? Ini hanya belati biasa."
Pria itu tersenyum kecil. "Tidak ada yang biasa dari senjata itu. Ia adalah bagian dari warisan kuno, sesuatu yang bahkan Seta tidak sepenuhnya pahami. Dengan itu, kalian bisa menutup gerbang… atau membukanya sepenuhnya."
---
Pembicaraan mereka terganggu oleh suara-suara aneh yang kembali muncul dari hutan. Kali ini, suara itu lebih jelas—seperti langkah kaki banyak orang yang mendekat.
"Apa itu?" tanya Dimas, suaranya gemetar.
Pria tua itu berdiri dengan cepat, ekspresi wajahnya berubah menjadi serius. "Mereka datang. Para penjaga bayangan. Mereka adalah makhluk yang diciptakan untuk melindungi gerbang, tetapi tanpa keseimbangan, mereka kehilangan tujuan. Sekarang, mereka hanya tahu memburu dan menghancurkan."
"Kita harus pergi dari sini," desak Maya. "Aku tidak punya cukup energi untuk bertarung sekarang."
Pria tua itu mengangguk. "Ikuti aku. Ada tempat perlindungan di dekat sini. Tapi kalian harus berjanji untuk mendengarkan apa yang akan aku katakan setelah kita sampai di sana."
Mereka tidak punya pilihan lain. Dengan cepat, kelompok itu mengemasi barang-barang mereka dan mengikuti pria tua itu ke dalam kegelapan hutan, sementara suara langkah kaki dari penjaga bayangan semakin mendekat, membawa ancaman baru yang belum pernah mereka hadapi sebelumnya.