Ryu dan Ringa pernah berjanji untuk menikah di masa depan. Namun, hubungan mereka terhalang karena dianggap tabu oleh orangtua Ringa?
Ryu yang selalu mencintai apel dan Ringa yang selalu mencintai apa yang dicintai Ryu.
Perjalanan kisah cinta mereka menembus ruang dan waktu, untuk menggapai keinginan mereka berdua demi mewujudkan mimpi yang pernah mereka bangun bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 : Konfrontasi
Aku memandangi punggung Hana yang semakin menjauh dengan perasaan campur aduk. Bagaimana bisa dia tahu tentang pertengkaranku dengan Laura? Pertanyaan ini terus berputar di kepalaku. Aku merasa bingung, marah, dan sedikit takut. Jangan-jangan, Hana yang memberitahu Laura arti dari nama Ringa yang sebenarnya.
Sejak pertengkaran itu, Laura jarang berbicara padaku, dan ketika berbicara, suasana selalu dipenuhi ketegangan.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk berbicara dengan Laura. Aku tahu ini akan sulit, tetapi aku tidak bisa membiarkan situasi ini terus berlarut-larut. Aku menemukannya di taman, duduk sendiri dengan wajah penuh kesedihan.
"Laura," panggilku perlahan.
Dia menoleh dengan mata yang masih merah. "Apa lagi, Ryu?"
"Aku ingin kita bicara. Aku ingin menjelaskan semuanya."
Laura menghela napas panjang. "Baiklah, bicaralah."
Aku duduk di sebelahnya. "Aku tahu kamu merasa aku telah berbohong. Tapi, percayalah, aku tidak pernah berniat seperti itu. Nama Ringa memang berarti 'apel', tapi itu tidak pernah aku pikirkan secara serius."
Laura memandangku tajam. "Tapi kenapa kamu tidak pernah memberitahu ku?"
Aku merasakan sakit di dadaku. "Karena aku takut. Aku takut ini akan mengubah segalanya. Dan ternyata, memang benar."
Laura terdiam sejenak, lalu berkata, "Apakah kamu tahu siapa yang memberitahu aku arti dari nama Ringa?"
Aku menggeleng. "Tidak."
Dia menatapku penuh luka. "Hana. Hana yang memberitahuku."
Aku merasa darahku mendidih. Jadi, Hana yang telah menyalakan api ini. Aku merasa dihantam dua kali; sekali karena pengkhianatan Hana, dan sekali lagi karena dampaknya pada hubunganku dengan Laura.
"Kenapa Hana melakukan ini?" tanyaku, meskipun aku sudah bisa menebak jawabannya.
Laura menatapku tajam. "Tanya saja pada apelmu."
...****************...
Aku mencari Hana dengan amarah yang membara. Aku menemukannya sedang berbicara dengan beberapa teman di cafe apartemennya. Aku mendekatinya dengan cepat, dan dia tampak terkejut melihatku.
"Ryu, ada apa?" tanyanya dengan senyum tipis.
"Kita perlu bicara," kataku dingin.
Hana mengangkat alis. "Tentu, tapi apa ini penting?"
"Ya, sangat penting," jawabku tegas.
Kami berjalan menjauh dari kafe dan berhenti di tempat yang sepi. Aku tidak bisa menahan amarahku lagi. "Kenapa kamu memberitahu Laura arti dari nama Ringa? Apa tujuanmu?"
Hana tersenyum sinis. "Aku hanya ingin kebenaran terungkap, Ryu. Apa itu salah?"
"Kamu tahu apa yang kamu lakukan. Kamu hanya ingin menghancurkan semuanya," balasku dengan suara bergetar.
Hana tertawa kecil. "Kau selalu berpikir bahwa kau bisa mengendalikan segalanya, Ryu. Tapi lihat sekarang, siapa yang menderita?"
"Aku tidak mengerti kenapa kamu melakukan ini," kataku dengan kesedihan.
"Karena aku bisa," jawab Hana dingin.
"Kenapa? Apa yang sudah aku lakukan padamu?" tanyaku, berusaha mencari jawaban di balik kebenciannya.
"Kau menghancurkan hidupku Ryu! Seandainya waktu itu kau tidak pernah membahas Ringa, aku tidak akan pergi dan aku tidak akan disakiti atau ditipu oleh Ryan!" Hana mulai meneteskan air mata.
Aku menatap Hana, bingung dan marah. "Hana, kau yang memutuskan untuk pergi bersama Ryan. Aku tidak memaksamu untuk meninggalkanku."
"Tapi kau selalu membahas Ringa! Kau tak pernah benar-benar ada untukku," balas Hana dengan suara penuh kepahitan.
Aku menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosiku. "Aku mengaku aku pernah membahas Ringa, tapi itu bukan alasan untuk pergi dengan Ryan dan meninggalkanku seperti itu."
Hana menatapku dengan mata penuh amarah. "Kau tidak mengerti, Ryu. Setiap kali kau membahas Ringa, aku merasa semakin tak berarti. Kau mungkin tidak sadar, tapi itu menghancurkan kepercayaan diriku. Ryan datang dan membuatku merasa dihargai, sesuatu yang tidak pernah kurasakan dari dirimu."
"Aku tidak pernah bermaksud seperti itu, Hana," kataku dengan suara lembut. "Aku hanya ingin kita berdua bahagia, bahkan jika itu berarti kita tidak bersama."
"Bahagia? Kau pikir aku bahagia dengan Ryan?" Hana tertawa pahit. "Dia hanya memanfaatkan aku. Dia menipuku, mencuri uangku, dan meninggalkanku begitu saja. Dan semua ini terjadi karena kau selalu membahas Ringa!"
Aku terdiam sejenak, merasakan kegetiran dalam suaranya. "Itu salahmu sendiri," kataku akhirnya, suaraku rendah tapi tegas.
Hana menatapku dengan mata terbuka lebar, air mata mulai mengalir deras di pipinya. "Apa kau tidak punya hati, Ryu? Aku menderita, dan kau malah menyalahkanku?"
"Ya, aku menyalahkanmu, Hana. Kau yang memutuskan untuk pergi dengan Ryan. Kau yang membuat keputusan itu, bukan aku," jawabku dengan tegas.
"Kau benar-benar tidak mengerti, ya? Kau tidak pernah mau mengerti bagaimana perasaanku. Kau selalu sibuk dengan Ringa, dengan masalahmu sendiri," Hana berteriak, suaranya bergetar dengan emosi.
Aku menghela napas dalam-dalam, merasa lelah dengan semua drama ini. "Aku lelah kita selalu membahas hal ini, Hana," kataku dengan suara datar. "Aku lelah kita terus menyalahkan satu sama lain tanpa ada solusi. Ini tidak membawa kita ke mana-mana."
Hana menatapku dengan penuh kebencian. "Kau lelah? Bagaimana dengan aku, Ryu? Aku yang harus menanggung semua luka ini sendirian. Aku yang harus menghadapi kenyataan pahit bahwa orang yang kucintai lebih memilih orang lain."
"Ini bukan tentang memilih, Hana. Ini tentang bagaimana kita menghadapi kenyataan dan menerima apa yang telah terjadi. Terus menerus menyalahkan tidak akan mengubah apa pun," jawabku tegas.
"Kenyataan? Kau ingin aku menerima kenyataan bahwa aku tidak pernah cukup bagimu? Bahwa aku hanya pelarian sementara hingga kau bisa bersama Ringa?" Hana berteriak, suaranya pecah oleh tangis.
"Ini tidak adil, Hana. Kau tahu itu tidak benar. Aku tidak pernah memperlakukanmu seperti pelarian," kataku dengan frustrasi. "Aku selalu mencoba untuk jujur pada perasaanku dan padamu. Tapi kau selalu melihat yang terburuk dalam diriku."
"Karena itulah yang kau tunjukkan padaku, Ryu. Kau selalu lebih peduli pada Ringa daripada padaku. Kau tidak pernah benar-benar ada untukku," balas Hana dengan suara penuh kepahitan.
Aku merasakan emosi yang campur aduk di dalam diriku. Aku tahu bahwa aku juga memiliki kesalahan, tapi aku tidak bisa terus hidup dalam lingkaran kebencian dan penyesalan ini. "Hana, aku sudah mencoba menjelaskan. Jika kau tidak bisa menerima penjelasanku, mungkin kita memang tidak bisa lagi berbicara tentang ini."
Hana terdiam sejenak, lalu menatapku dengan mata penuh air mata. "Jadi, ini akhirnya? Kau menyerah begitu saja?"
"Aku tidak menyerah, Hana. Aku hanya tidak bisa terus-terusan hidup dalam kebencian dan penyesalan. Ini tidak sehat bagi kita berdua," kataku dengan suara penuh keletihan.
"Baiklah, Ryu. Jika itu yang kau inginkan. Pergilah. Tinggalkan aku sendirian, seperti yang selalu kau lakukan," kata Hana dengan suara dingin, penuh keputusasaan.
Aku berdiri di sana, merasakan beban yang begitu berat di dadaku. Melihat Hana menangis, merasa ditinggalkan dan terluka, membuat hatiku hancur. Tapi aku tahu bahwa percakapan ini tidak akan membawa kami ke mana pun.
"Aku berharap kau bisa menemukan kedamaian, Hana," kataku pelan, sebelum berbalik dan mulai berjalan pergi.
Langkah-langkahku terasa berat, seolah setiap langkah membawa beban kesalahan dan penyesalan. Aku mendengar Hana menangis di belakangku, tetapi aku tidak berbalik. Aku tahu bahwa ini mungkin adalah yang terbaik bagi kami berdua. Mungkin kami memang butuh waktu dan ruang untuk merenung, untuk menyembuhkan luka-luka yang ada.