Yaya_ gadis ceria dengan sejuta rahasia.
Ia selalu mengejar Gavin di sekolah,
tapi Gavin sangat dingin padanya.
Semua orang di sekolah mengenalnya sebagai gadis tidak tahu malu yang terus mengemis-ngemis cinta pada Gavin. Namun mereka tidak tahu kalau sebenarnya itu hanya topengnya untuk menutupi segala kepahitan dalam hidupnya.
Ketika dokter Laska memvonisnya kanker otak, semuanya memburuk.
Apakah Yaya akan terus bertahan hidup dengan semua masalah yang ia hadapi?
Bagaimana kalau Gavin ternyata
menyukainya juga tapi terlambat mengatakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Yaya merinding mendengar perkataan cowok itu. Bahkan tak sampai satu menit ia sudah berdiri didepan cowok itu sambil menyengir lebar.
"Penakut." ujar cowok di motor itu. Gadis itu tersenyum lebar menunjukkan barisan gigi-giginya yang rapi. Mending dikatain bodoh, daripada di culik.
"Kamu beneran bukan penculikkan?" tanya Yaya lagi masih mau memastikan.
"Serah lo, minggir." balas cowok itu dongkol. Ia sudah siap-siap menggas motornya tapi buru-buru dicegah oleh Yaya. Tidak ada siapa-siapa lagi di sekitar sini, tentu saja ia takut sendiri. Lebih baik percaya saja sama cowok didepannya ini.
"Hehe..."
Gadis itu lagi-lagi menyengir lebar menatap cowok didepannya dengan tangan yang memegangi lengan cowok itu mencegahnya supaya tidak pergi.
"Jangan ngambek dong, kan aku cuman ngetes doang. Nebengin aku boleh ya, ya, ya?" bujuknya dengan mata berbinar-binar. Kedua tangannya menggoyang-goyangkan lengan kokoh cowok itu. Entah kenapa ia merasa akrab saat bicara dengan pemilik motor bersuara berat ini.
Cowok itu masih tidak bersuara sedikitpun. Ia malah memandangi gadis didepannya itu dengan wajah takjub, cara gadis itu memperlakukannya sama seperti mereka sudah kenal dekat. Apakah secepat ini tingkat keakraban gadis aneh ini saat bertemu orang baru? Cowok itu bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
"Naik cepet." perintahnya ketus setelah lumayan lama membiarkan gadis itu berdiri. Ia tidak mau berlama-lama dengan makhluk aneh ini, bisa gila dia nanti. Cewek didepannya terlalu cerewet, berbanding terbalik dengannya yang lebih menyukai ketenangan.
"Nama kamu siapa?" tanya Yaya diperjalanan mereka.
"Sava." sahut cowok yang ternyata Savaro itu. Ia melihat ekspresi gadis yang duduk dibelakangnya itu dari balik kaca spion, ingin melihat reaksinya. Gadis itu sendiri tampak berpikir.
"Kok kayak pernah denger nama Sava ya? Tapi dimana?" gumam gadis itu pada dirinya sendiri tapi tetap bisa di dengar sama cowok yang bernama asli Savaro Zayn itu.
"Lo yakin nggak kenal gue?" tanya Savaro terus menatap ke spion ingin melihat reaksi gadis itu. Tapi lagi-lagi yang dilihatnya adalah ekspresi polos gadis itu saat ia mengangguk. Cowok itu menyeringai lalu fokus ke jalan lagi.
"Gimana mau kenal, orang wajah kamu ditutupin helm begitu. Emang muka kamu jelek ya? Biasanya sih yang nggak berani liatin mukanya kayak gini tuh mereka yang nggak percaya diri."
Prankk....
Savaro menutup matanya dalam-dalam, menghembuskan nafas kesal lalu melajukan motornya secara tiba-tiba, membuat Yaya secara refleks memeluk pinggangnya dari belakang.
"Aduh, kalo mau ngebut bilang-bilang dong biar aku siap-siap." dasar bawel. Umpat Savaro dalam hati. Tidak tahu berterimakasih banget. Udah dianterin tapi malah bilang dia jelek.
"Nggak usah meluk-meluk gue, jangan modus." ucapnya ketus saking kesalnya sama gadis itu.
"Iya deh maaf, maaf." ucap Yaya dari belakang lalu melepaskan tangannya dari pinggang Savaro.
Akhirnya motor cowok itu berhenti tepat didepan sebuah rumah besar dan mewah. Matanya menatap lurus rumah itu lalu bergantian melirik gadis yang sekarang lagi berusaha turun dari motor gedenya.
"Ini rumah lo?" tanyanya memastikan.
"Mm." Yaya mengangguk pasti.
"Ada hubungan apa lo sama Sara?" tanyanya lagi.
"Kamu kenal Sara?" Yaya balas bertanya.
"Dia kakak lo?"
Yaya menghembuskan nafas berat
"Lebih jelasnya kakak tiri." sahutnya tidak semangat.
Dahi Savaro berkerut menatap cewek itu. Tampaknya hubungannya dengan Sara tidak baik. Tapi bodoh amatlah ia tidak peduli. Tidak ada hubungannya juga sama dia.
"Rumah lo segede ini kenapa jajan lo seminggu bahkan nggak sampe lima puluh ribu?"
Tanyanya lagi mengubah topik, ia masih ingat jumlah uang yang cewek itu berikan padanya tadi siang buat bayar hutang, sekaligus ucapannya tentang uang itu.
Alis Yaya terangkat heran, darimana cowok itu tahu kalo ia dikasih uang jajan segitu? Matanya sontak membulat besar saat cowok itu membuka helmnya dan wajahnya terlihat jelas. Tentu saja ia masih ingat wajah itu. Habis kamu Yaya. Ahh sial sekali. Umpatnya dalam hati.
"Kenapa? Baru kenal gue sekarang?" ujar Savaro menatap lurus ke gadis itu. Caranya menatap terasa begitu mengintimidasi. Yaya menahan napas tegang, lalu menelan ludah.
"H... hai kak." sapanya kikuk berusaha memaksakan seulas senyum.
"Makasih udah nganterin aku ya, aku masuk dulu." tambahnya lagi kemudian cepat-cepat berbalik hendak pergi namun langkahnya terhenti dan ia termundur kebelakang karena kerahnya di tarik tiba-tiba oleh Savaro.
"Gue belum ijinin lo masuk." kata cowok itu datar. Yaya balik menatapnya dengan wajah memelas.
"T... tapi..."
Gadis itu sengaja memasang wajah kasihannya supaya ia bisa masuk tapi dirinya belum beruntung. Ia kini menunduk karena tatapan cowok didepannya ini terlalu tajam dan mengintimidasi dirinya seketika itu juga.
"Huh! Penakut." Cibir Savaro dengan senyum smirknya.
Cowok itu kembali memakai helm naik ke motor besarnya dan pergi begitu saja tanpa pamit.
Yaya mengangkat wajahnya melihat kepergian kakak kelasnya itu, setelah memastikan cowok itu sudah benar-benar pergi, ia menarik nafas lega sambil mengusap-usap dadanya. Dalam hati ia menetapkan bahwa Savaro adalah iblis tidak punya perasaan yang harus ia jauhi. Benar, gadis itu mengangguk meyakinkan dirinya sendiri. Mulai sekarang ia tidak boleh bertemu dengan cowok itu lagi, batinnya lalu berbalik masuk.
Sampai kamar, Yaya cepat-cepat mengambil ponsel, mencari nama seseorang dan memencet tanda panggilan.
***
"Adek lo?"
Tanya seorang pria berambut jabrik ke lelaki yang duduk disampingnya. Namanya Putra. Cowok itu tahu pasti saat Tama, sahabatnya itu mulai menatap lama ke ponselnya dengan raut wajah tidak begitu senang. Itu pasti adiknya. Tama melirik Putra sebentar sebelum kembali memasukkan hpnya ke saku.
"Nggak penting." katanya datar. Putra mendesah pelan.
"Sampai kapan lo bersikap dingin sama adek lo sendiri?" Putra lama-lama jadi kasian sama Yaya karena perlakuan Tama yang seolah menganggapnya tidak ada padahal hampir tiap hari gadis itu terus menerus menelponnya.
Tama tidak menghiraukan perkataan Putra. Baginya, perlakuan yang ia lakukan pada Yaya setimpal dengan apa yang sudah gadis itu lakukan. Karena kekanakannya, karena keegoisannya, mama mereka...
Tama mengusap wajahnya frustasi. Mengingat masa lalu membuat emosinya jadi tidak stabil dan rasa marah terhadap adiknya kian bertambah. Ia kembali mengambil ponsel di sakunya dan memblokir nomor Yaya tanpa pikir panjang. Ia tidak mau lagi di ganggu terus menerus. Ia ingin hidup tenang tanpa orang-orang yang membuatnya merasa depresi. Mungkin dirinya kekanak-kanakan, tapi hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang ini.