Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 - Gugup Setengah Mati
Mengikuti Papa Zean yang sudah berlalu lebih dulu, Ervano juga begitu. Kebetulan penghulu sudah tiba bersamaan dengan rombongan keluarga Haura, akad nikah akan segera dimulai.
Hanya menunggu Haura yang belum selesai. Dalam menunggu calon mempelai, Ervano berhadapan dengan tatapan tajam tiga pria yang seperti hendak menerkamnya hidup-hidup.
Abimanyu, Hudzai dan Ray yang merupakan mantan kekasih Haura juga begitu. Sama sekali tidak ada tatapan keramahan, terlihat jelas bahwa dirinya adalah ipar yang tidak diinginkan.
Kendati demikian, Ervano tidak ambil pusing. Secara usia, tiga pria itu adalah adiknya semua. Jadi, mau setajam apapun cara mereka memandang, sedikit pun tidak akan berhasil membuat Ervano ciut.
Bahkan, dibanding Hudzai yang merupakan kakak pertama Haura saja lebih tua dirinya. Dia berlagak cupu dan pengecut di hadapan Abimanyu karena merasa pria itu bukan lawannya.
Berbeda dengan Ervano yang tenang menunggu dengan tenang, di dalam kamar Haura masih berusaha mengatur napas dan menangkan dirinya.
Tidak terhitung seberapa banyak tisu yang dia gunakan untuk menghapus air mata, tapi air matanya kian menjadi saja. Polesan make-up tipis di wajahnya selalu terhapus sampai Mama Syila menghela napas panjang saking lelahnya.
"Ayolah, Ra, jangan nangis terus ... luntur, Sayang." Sembari menatap mata sembab putrinya, Mama Syila bertanya dengan begitu lembut di sana.
"Biarin, lagian ngapain harus pakai make-up segala?"
"Ya harus dong, Sayang, ini pernikahan jadi harus berkesan," jawab Mama Syila masih tetap penuh kelembutan seperti biasa.
"What? Berkesan?"
"Hem, kenapa memangnya? Mama salah?"
"Ya jelas salah lah, Mama lupa yang akan menikahiku itu siapa? Jadi istrinya itu bisa dianggap bencana, paling juga bertahan beber_"
"Shuut!!" Mama Syila sontak menempelkan jemari tepat di bibir Haura demi membuatnya berhenti bicara. "No, Haura!! Jangan sembarangan bicara ... ini pernikahan jadi berucaplah yang baik-baik, Nak."
"Ma, nasihat itu hanya boleh berlaku untuk pernikahan yang direncanakan, diimpikan dan memang aku inginkan!! Kalau begini jelas tidak ada alasan kenapa aku harus berucap yang baik," cerocos Haura masih terus berontak walau tidak sampai teriak-teriak.
Mendengar pernyataan Haura, wanita cantik itu sejenak menghentikan kegiatannya dan beralih menggenggam jemari putrinya.
"Ra, dengarkan Mama baik-baik," tutur Mama Syila menatap mata putrinya lekat-lekat. "Sebagai wanita, Mama paham betul bagaimana gejolak hati kamu ... Mama pernah berada di posisi ini hanya berbeda penyebabnya saja."
"Hari ini boleh kamu merasa bahwa pernikahanmu bencana, buruk, tidak diinginkan atau semacamnya, tapi!! Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, Sayang ... sesuatu yang kamu anggap buruk itu bisa jadi sesuatu yang justru kamu butuhkan, Ra."
"Ayo luaskan hatimu, ingat kata-kata papa ... jangan halangi Ervano untuk bertanggung jawab."
"Ma, aku_"
"Diam, Mama belum selesai bicara," tegas Mama Syila dengan suara lembut, tapi selalu sukses membuat putra-putrinya bungkam dan patuh.
"Jangan egois, menjadi seorang ibu tanpa suami itu sulit ... memang iya secara finansial kamu mampu, Mama tahu kamu sangat mampu!! Tapi, coba pikirkan hal lain!! Bagaimana setelah anak itu lahir, siap kamu menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang ayahnya? Siap? Iya?"
Mama Syila berusaha bicara dari hati ke hati demi membuat Haura berlapang dada menerima keadaannya saat ini. "Satu lagi, jika sampai kamu menolak pernikahan ini Mama pastikan kamu tidak akan bersedia menerima pinangan laki-laki lain seumur hidup."
Haura mengangkat wajahnya, memberanikan diri untuk menatap balik sang mama yang tengah bicara panjang lebar dan justru berhasil menusuk relung hatinya.
"Mama tahu kamu, Ra ... karena hal kecil saja kamu bisa minder dan merasa tidak pantas untuk mendapatkan sesuatu, apalagi jika sampai begini."
Tanpa menjawab, Haura hanya terdiam merenungi ucapan mamanya. Sejak saat itulah dia tidak lagi banyak protes dan menangis, seakan pasrah Haura menurut saja dan bisa diajak kerja sama.
Cukup lama waktu yang dibutuhkan Mama Syila untuk menyulap penampilan putrinya menjadi pengantin sebagaimana mestinya. Walau memang terkesan sederhana, tapi Mama Syila hanya tidak ingin sang putri merasakan hal sama seperti dirinya di masa lalu.
Minimal sedikit pangling saja, tidak begitu mewah dan menikah pun menggunakan kebaya yang Mama Syila bawa dari rumah. Meski Haura bilang pernikahan ini bukan yang dia impikan, tapi hati kecil Mama Syila berharap besar akan sakralnya pernikahan mereka.
"Sudah, putri Mama cantik sekali ... ayo keluar." Mama Syila mengulas senyum hangat dan menatap kagum putri satu-satunya itu.
.
.
Didampingi Mama Syila, Haura keluar dengan langkah pelan dari kamar. Dia terlihat begitu cantik, tatapan beberapa orang di sana sontak tertuju padanya.
Terutama Ervano yang tak berhenti menatap ke arah Haura sembari berdecak kagum dalam hati. Sayangnya, Ervano tidak mendapati balasan dari calon istrinya karena Haura menatap mata yang lain.
Sudah tentu ke arah Ray yang akan menjadi saksi dan duduk tak jauh dari Ervano. Hanya sesaat, karena setelah duduk berdampingan dengan Ervano wanita itu hanya menunduk dan tidak menatap ke arah siapapun.
Sakit sekali rasanya jadi Haura, sedang sayang-sayangnya dan sudah merencanakan banyak hal di masa depan, tapi justru berdampingan dengan pria lain sewaktu di pelaminan.
Begitulah kira-kira kalimat yang pas untuk menggambarkan posisi Haura. Kendati demikian, dia tidak ingin memperlihatkan sakitnya di hadapan Ray dan harus berlagak memang menginginkan Ervano sebagai suami.
"Nak Haura ...."
"Iya, Ustadz?" Haura mengangkat wajahnya, mengulas senyum hangat demi menegaskan bahwa keadaannya baik-baik saja.
"Apa ananda ikhlas menerima pernikahan ini?"
"Iya, saya sangat ikhlas," jawab Haura tanpa ragu, tak terlihat berpikir karena yang dia utamakan saat ini adalah Ray sebenarnya.
Mendengar jawaban Haura yang begitu mantap, pria berambut putih itu tersenyum penuh kelegaan dan mempersilakan Papa Zean untuk menjabat tangan Ervano.
Ervano sempat menatap Haura sekilas sebelum kemudian menjawab tangan Papa Zean. Bukan kali pertama dia lakukan, tapi gugupnya luar biasa sampai telapak tangan Ervano terasa sangat dingin dan gagal di percobaan pertama.
"Mohon maaf, Pak Ustadz ... boleh diulang?" tanya Ervano gugup menatap wajah dua pria di hadapannya secara bergantian.
"Tentu, akan kita ulang."
Papa Zean kembali menarik napas dalam-dalam dan mengulang sighat akad untuk kemudian Ervano jawab.
"Ananda Ervano Lakeswara ... aku nikahkan dan kawinkan engkau dengan putriku Haura Qotrunnada binti Zean Andreatama dengan mas kawin uang senilai 500 ribu rupiah dibayar tunai!!"
"Saya terima nikah dan kawinnya Haura Qotrunnada binti Zean Andre Taulany dengan mas kawin_"
"Aduh!! Stop-stop!! Andreatama tuli!! Telingamu dimana sampai nyasar jadi Andre Taulany!!" teriak Abimanyu dari paling heboh sendiri karena sudah percobaan kedua Ervano belum mampu menuntaskannya.
Alhasil, umpatan itu tak lagi mampu Abimanyu tahan sementara Papa Zean susah payah menahan tawa. Di sisi lain, Ervano yang sama sekali tidak sengaja melakukan kesalahan tersebut panik.
"Tahu nih aneh, sekali lagi gagal Ray yang maju buat gantiin."
"Nah benar, kesempatan sekali lagi ... sampai gagal game over, Ray yang nikahi!!"
.
.
- To Be Continued -