Pak Woto, petani sederhana di Banjarnegara, menjalani hari-harinya penuh tawa bersama keluarganya. Mulai dari traktor yang 'joget' hingga usaha konyol menenangkan cucu, kisah keluarga ini dipenuhi humor ringan yang menghangatkan hati. Temukan bagaimana kebahagiaan bisa hadir di tengah kesibukan sehari-hari melalui cerita lucu dan menghibur ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Petani Viral - Kisah Keluarga Pak Woto dan Perjalanan Menuju Ketenaran
Setelah merayakan pencapaian mereka, malam itu keluarga Pak Woto masih diliputi euforia. Pak Woto, Bu Sisur, Puthut, dan Marni duduk di ruang tamu sambil minum teh hangat. Plakat emas YouTube masih terletak di meja, mengkilap terkena cahaya lampu. Sementara Kanza sudah tertidur, mereka mulai mendiskusikan langkah selanjutnya.
"Pak, habis ini apa kita perlu bikin konten spesial lagi?" tanya Marni sambil menyusul teh ke gelas Pak Woto.
Pak Woto mengangguk pelan, "Iya, Mar. Mungkin kita bisa bikin konten yang lebih mendalam soal kehidupan kita sebagai petani. Banyak orang yang penasaran, gimana kita bisa sampai di titik ini."
Bu Sisur yang duduk di sebelah Pak Woto menimpali, "Mungkin juga bisa ajarin orang cara bertani dengan cara yang sederhana, biar banyak yang belajar. Kita kan mau berbagi ilmu juga."
"Setuju, Bu. Konten edukasi tentang bertani pasti banyak diminati," jawab Puthut sambil menyisir rambutnya yang mulai gondrong. "Apalagi kalau ditambah dengan cerita lucu-lucu kita di ladang, orang pasti betah nonton."
Mereka tertawa membayangkan hal-hal lucu yang bisa terjadi di ladang. Puthut teringat kejadian belut yang sempat dimasukkan Pak Woto ke bajunya.
"Loh, itu belut kemarin gimana ceritanya, Put? Ngeri banget sampe loncat-loncat gitu," tanya Marni sambil terkekeh.
Puthut meringis dan mengingat kejadian itu, "Aduh, jangan diingetin lagi. Bapak yang jahil! Masukin belut ke baju sambil aku lagi serius kerja. Aku kira ular beneran!"
Pak Woto hanya tertawa lebar mendengar cerita anaknya yang kepanikan. "Halah, belut aja takut. Padahal cuma iseng. Tapi itu emang bisa jadi konten, tuh. Konten prank belut di ladang," kata Pak Woto sambil tertawa terbahak-bahak.
Marni menyahut sambil menahan tawanya, "Loh, kalo gitu besok giliran Bapak yang kena prank! Kita pasang jebakan belut atau jangkrik di ladang."
"Eh, jangan macem-macem. Aku bisa kaget beneran, loh!" Pak Woto berseloroh, membuat semua orang tertawa lagi.
Mereka terus berbicara sampai malam semakin larut, merencanakan konten-konten yang akan dibuat. Puthut mengusulkan video bertema "Sehari di Ladang dengan Keluarga Pak Woto," di mana mereka menunjukkan aktivitas sehari-hari sambil menyelipkan beberapa momen humor dan tips bertani.
Sambil tertawa-tawa, Puthut akhirnya mengusulkan sesuatu yang lebih besar. "Gimana kalau kita bikin konten kolaborasi sama petani lain? Jadi bisa berbagi ilmu dan cerita. Bukan cuma soal bertani, tapi juga tentang kebersamaan di desa."
Marni mengangguk setuju. "Wah, itu ide bagus. Kita bisa ajak tetangga-tetangga yang lain buat ikut. Bisa viral lagi."
Mendengar kata 'viral,' Bu Sisur mengingat hal yang terjadi di pagi hari. "Pak, tadi pagi tetangga kita yang baru pulang merantau kayak kaget banget lihat rumah kita sekarang. Dia bilang kayak istana."
Puthut dan Marni saling berpandangan dan tertawa kecil. "Bener, Bu? Dia ngomong apa?"
"Dia lari pagi sambil kaget ngelihat rumah kita. Kayaknya belum tahu kalau rumah kita sudah direnovasi. Mungkin dia pikir ini rumah pejabat atau apa," jawab Bu Sisur dengan senyum lebar.
Pak Woto terkekeh. "Ya, wajar aja dia kaget. Dua tahun dia di rantau, begitu pulang lihat rumah kita jadi besar begini. Besok-besok dia kaget lagi kalau tahu kita udah viral di YouTube."
Malam itu ditutup dengan tawa dan kehangatan. Mereka merasa sangat bersyukur atas semua pencapaian yang telah diraih, baik sebagai petani maupun sebagai keluarga yang viral di dunia maya. Hari esok, mereka tahu, adalah kesempatan baru untuk menciptakan sesuatu yang lebih besar dan lebih berarti.
Keesokan harinya, pagi yang cerah menyambut keluarga Pak Woto. Mereka sudah bersiap-siap untuk ke ladang, namun kali ini dengan tambahan semangat baru. Sesekali, mereka mengecek dashboard YouTube untuk melihat perkembangan subscriber yang terus bertambah.
"Puthut, lihat nih! Udah 1,4 juta subscriber!" seru Marni sambil menunjukkan layar ponselnya.
Puthut, yang sedang mengemas alat-alat pertanian, berhenti sejenak dan melihat angka itu dengan takjub. "Gila! Laju banget ya. Baru aja kemarin dapet Gold Play Button, sekarang udah tambah banyak lagi."
Pak Woto yang sedang menyiapkan sepeda motor juga ikut mengintip. "Alhamdulillah, Marni. Ini rejeki yang luar biasa. Semoga subscriber makin banyak dan kita bisa kasih lebih banyak manfaat buat mereka."
Tak lama kemudian, mereka berangkat ke ladang. Di tengah perjalanan, Pak Woto tiba-tiba mendapat ide jahil. "Put, nanti di ladang, coba kamu liat air di parit. Ada yang aneh nggak?"
Puthut yang tak curiga mengangguk. "Iya, Pak. Kenapa emangnya?"
"Nggak apa-apa, nanti liat aja," jawab Pak Woto dengan senyum jahil.
Setelah sampai di ladang, Pak Woto langsung menuju parit kecil di pinggir sawah. Dia mengambil segenggam lumpur dan beberapa ekor belut yang licin dari dalam air. Sementara Puthut masih asyik mengecek tanaman padi, Pak Woto pelan-pelan mendekati anaknya.
Tepat ketika Puthut sedang jongkok untuk memeriksa tanah, Pak Woto tanpa peringatan melempar belut itu tepat ke arah punggung Puthut.
"Astagaaa!" Puthut terlompat-lompat panik. "Belut lagi, Pak?! Nggak kapok-kapok bikin prank!"
Pak Woto tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya. "Kamu tuh yang harus belajar lebih waspada, Put! Udah dua kali kena belut!"
Marni yang melihat dari kejauhan tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Bapaknya nggak ada habisnya ngerjain anaknya!"
Setelah kehebohan kecil itu, mereka melanjutkan aktivitas di ladang seperti biasa. Meski ada tawa dan kejahilan, keluarga Pak Woto tetap bekerja keras merawat tanaman mereka. Dan hari itu, di bawah langit biru yang cerah, mereka kembali bersyukur atas apa yang telah mereka capai—sebagai petani dan sebagai keluarga yang penuh kebahagiaan dan kesuksesan.
Pagi itu, suasana rumah lebih cerah dari biasanya. Pak Woto duduk di teras sambil menikmati teh hangatnya, ditemani oleh Bu Sisur yang sibuk membersihkan daun-daun kering di halaman. Tak lama, Puthut keluar sambil menggandeng Kanza, yang sudah belajar berjalan dan mengoceh lucu. Sementara itu, Marni masih sibuk memeriksa ponsel untuk melihat perkembangan channel mereka yang makin meledak.
"Sini, Kanza, jalan sama kakek," kata Pak Woto sambil merentangkan tangan.
Kanza, dengan langkah goyah tapi penuh semangat, mencoba meraih kakeknya. Saat itu juga, Marni teriak dari dalam rumah, "Pak, subscriber kita nambah 50 ribu lagi sejak tadi malam!"
Pak Woto, yang tengah menggendong Kanza, terkikik geli. "Waduh, nambah terus kayak tanaman padi aja. Besok bisa-bisa dapet diamond play button."
Puthut, yang duduk di samping ayahnya, tertawa. "Iya, Pak. Nanti kita bikin vlog sambil tanam padi dengan gaya TikTok biar makin viral."
Mendengar itu, Pak Woto tampak serius sejenak, lalu melirik Puthut. "Eh, jangan-jangan kamu mau jadi petani influencer sekarang, ya?"
Puthut mengangkat bahu sambil tersenyum lebar. "Kenapa nggak, Pak? Ladang ini bisa jadi studio alam kita. Sekali upload, bisa langsung dapet jutaan views!"
Mereka semua tertawa bersama. Saat itulah, suara dering ponsel terdengar. Marni, yang baru saja memeriksa ponsel, berteriak lagi dari dalam rumah. "Pak, kita dapat kiriman paket lagi dari YouTube! Mereka mau ngasih merchandise eksklusif!"
Pak Woto terkikik. "Merchandise apaan lagi? Jangan-jangan topi petani yang ada logo YouTube-nya?"
Sontak, Bu Sisur yang mendengarnya sambil menyapu halaman ikut tergelak. "Kalau gitu, kita harus pesan satu set baju sawah buat shooting vlog nanti, Pak."
Pak Woto hanya tersenyum. "Ah, Bu Sisur ini mulai ada-ada aja. Tapi bener juga. Sekarang YouTube aja udah masuk sawah kita, kenapa kita nggak bikin yang beda?"
Sore harinya, keluarga itu berkumpul di ruang tengah untuk mengecek paket baru yang mereka terima. Kali ini, selain merchandise, mereka juga menerima surat undangan dari YouTube Indonesia untuk menghadiri acara penghargaan bagi kreator konten lokal yang sukses. Mata Pak Woto berbinar saat membaca surat itu.
"Wah, kita diundang ke Jakarta!" kata Pak Woto, matanya menatap surat itu dengan kagum.
Marni terkejut. "Ke Jakarta, Pak? Wah, gimana ini? Kita harus tampil keren dong!"
Bu Sisur yang sedang membawa nampan penuh teh dan camilan ikut tertawa geli. "Tenang, Marni. Nanti kita beli baju baru buat acara itu. Tapi yang penting, kita harus tetap jadi diri sendiri."
Puthut yang mendengarkan semuanya merasa bangga. "Kita harus bikin video vlog saat perjalanan ke Jakarta, Pak. Bakal banyak penonton yang nungguin."
Pak Woto mengangguk setuju. "Bener, nanti kita kasih judul vlognya 'Keluarga Petani dari Desa Masaran ke Ibukota!'."
Setelah menerima undangan resmi dari Istana Negara, suasana rumah keluarga Pak Woto mendadak semakin sibuk. Mereka bergegas mempersiapkan diri untuk kunjungan yang sangat istimewa itu. Semua orang di kampung juga gempar mendengar kabar bahwa keluarga Pak Woto diundang langsung oleh Presiden Jokowi. Mulut ke mulut menyebarkan berita dengan cepat, membuat rumah Pak Woto tak pernah sepi dari tetangga yang datang untuk memberi selamat.
Di pagi hari yang cerah, beberapa hari sebelum mereka berangkat ke Jakarta, Pak Woto dan keluarganya sedang berkumpul di ruang tamu, sibuk berdiskusi tentang pakaian yang akan mereka kenakan.
“Pak, gimana kalau aku pakai kebaya yang dikasih Mbah Surti waktu pernikahan Puthut dulu? Biar kelihatan lebih anggun gitu,” kata Bu Sisur sambil memegang kebaya lamanya.
Pak Woto mengangguk-angguk sambil berpikir. “Iya, bagus itu. Aku juga mungkin pake jas yang biasa dipake waktu nikahan Puthut kemarin.”
Marni, yang duduk di samping, langsung terkekeh mendengarnya. “Pak, itu jas udah kusut! Jangan sampai nanti kita ketemu Pak Presiden, tapi malah kayak mau kondangan di kampung.”
Semua tertawa, termasuk Puthut yang duduk di dekat jendela sambil menggendong Kanza. “Ya jelaslah, Pak. Mending kita sewa aja pakaian bagus di kota. Biar kelihatan wah.”
Pak Woto mengangguk setuju. “Iya, iya. Besok kita ke kota cari baju yang bagus buat ketemu Presiden.”
Sejak saat itu, kesibukan makin bertambah. Mereka tidak hanya mempersiapkan pakaian, tapi juga menjaga kondisi tubuh agar tetap fit. Pak Woto bahkan mulai rajin olahraga ringan setiap pagi, seperti senam kecil di halaman rumah.
Suatu pagi, Pak Woto berlari-lari kecil di sekitar rumah sambil mengangkat tangan ke atas. “Ayo, ayo! Siapa mau ikut joging? Biar badan segar, biar gak sakit waktu di Jakarta!”
Puthut yang duduk di kursi malas, sambil memainkan ponselnya, tertawa kecil. “Pak, lari kayak gitu bukan joging. Itu namanya joget!”
Pak Woto tertawa keras, “Ah, yang penting badan gerak! Mau joging atau joget, yang penting sehat!”
Tak lama kemudian, Marni muncul membawa sebotol air mineral dan menyerahkannya pada Pak Woto. “Pak, jangan lupa minum. Jangan sampe nanti malah pingsan waktu ketemu Pak Presiden.”
Pak Woto tertawa sambil meneguk air tersebut. “Iya, iya. Kita harus fit. Ini kesempatan seumur hidup!”
**
Hari yang dinanti pun tiba. Mereka semua siap berangkat ke Jakarta. Pakaian terbaik telah disiapkan, dan mobil yang disewa dari kota telah parkir di depan rumah mereka. Tetangga-tetangga kampung berkumpul untuk mengantar keluarga Pak Woto dengan penuh kebanggaan.
“Sampaikan salam kami buat Pak Jokowi, ya!” teriak salah satu tetangga.
“Jangan lupa foto-foto! Buat kenang-kenangan!” tambah yang lain.
Pak Woto hanya tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. “Iya, iya! Tenang aja. Nanti kita ceritain semuanya!”
Perjalanan menuju Jakarta terasa panjang, tapi keluarga Pak Woto menikmati setiap momennya. Bagi mereka, ini bukan hanya perjalanan biasa, melainkan perjalanan yang penuh makna. Setibanya di Jakarta, mereka langsung diantar ke sebuah hotel mewah, di mana mereka menginap untuk beberapa hari ke depan.
“Waduh, ini hotelnya mewah banget, Pak!” seru Bu Sisur sambil melihat-lihat kamar hotel yang besar dan nyaman. “Kapan lagi kita bisa ngerasain tidur di kasur empuk kayak gini?”
Pak Woto tertawa sambil duduk di atas kasur. “Betul, Bu. Ini semua karena kerja keras kita di YouTube. Siapa sangka kita bisa sampai di sini?”
Malam itu, keluarga mereka tidur nyenyak. Pikiran mereka dipenuhi dengan bayangan tentang pertemuan dengan Presiden esok harinya. Puthut, yang biasanya cuek, bahkan terlihat bersemangat untuk acara tersebut.
**
Keesokan harinya, momen yang dinantikan akhirnya tiba. Mereka diantar ke Istana Negara, dan suasana di sana sangat berbeda dari yang pernah mereka bayangkan. Penjagaan ketat, halaman yang luas, dan bangunan megah membuat mereka merasa seperti tokoh penting.
“Wah, Pak… ini beneran kayak mimpi!” bisik Marni sambil menggendong Kanza yang tampak penasaran dengan suasana di sekitarnya.
Pak Woto mengangguk, wajahnya dipenuhi kekaguman. “Iya, ini luar biasa. Kita cuma petani, tapi bisa sampai sini.”
Tiba-tiba, seorang petugas mendekat dan menyambut mereka dengan sopan. “Selamat datang, keluarga Pak Woto. Silakan masuk, Bapak Presiden sudah menunggu.”
Mereka diantar ke dalam ruangan di mana Presiden Jokowi telah menunggu. Saat melihat mereka masuk, Presiden tersenyum lebar dan langsung berdiri untuk menyambut.
“Wah, ini dia keluarga yang videonya bikin saya tertawa terpingkal-pingkal!” kata Presiden sambil menjabat tangan Pak Woto.
Pak Woto terkejut dan tersenyum lebar. “Terima kasih banyak, Pak Presiden. Ini kehormatan besar buat kami.”
Pertemuan itu berjalan hangat dan penuh tawa. Presiden Jokowi memuji konten-konten keluarga Pak Woto yang sederhana namun penuh makna, dan bagaimana video mereka mampu menghibur jutaan orang, termasuk beliau sendiri.
Bu Sisur yang biasanya pendiam pun tak bisa menahan rasa harunya. “Kami gak pernah nyangka, Pak. Dari desa kecil, kami bisa di sini dan ketemu Bapak Presiden.”
Presiden Jokowi tersenyum. “Ini bukti bahwa siapapun, dari manapun asalnya, bisa sukses jika mau berusaha. Kalian luar biasa!”
Mereka pun sempat berbincang santai, dan tentu saja, tak lupa berfoto bersama. Saat sesi foto selesai, Presiden menambahkan, “Kalian harus terus berkarya. Saya tunggu video-video berikutnya!”
Pak Woto hanya bisa tersenyum bangga. “Tenang, Pak Presiden. Kami akan terus bikin video yang lebih seru lagi.”
Setelah pertemuan selesai, keluarga Pak Woto merasa begitu bersyukur dan bangga. Saat mereka keluar dari Istana, Bu Sisur berbisik pada Pak Woto, “Pak, ini pengalaman yang gak akan pernah kita lupain seumur hidup.”
Pak Woto mengangguk sambil menatap Istana Negara. “Iya, Bu. Kita harus terus bersyukur dan bekerja keras. Rejeki bisa datang dari mana aja, termasuk dari YouTube.”
Dan dengan penuh kebahagiaan, mereka pun pulang ke kampung halaman, siap menghadapi masa depan dengan semangat baru dan tentunya, cerita luar biasa yang tak akan pernah mereka lupakan.
Sepulang dari pertemuan dengan Presiden Jokowi, keluarga Pak Woto langsung menjadi bahan pembicaraan di kampung mereka. Sepanjang perjalanan kembali ke desa, mereka sudah menerima banyak pesan dan telepon dari para tetangga dan teman-teman yang tidak sabar mendengar cerita tentang pertemuan tersebut.
Begitu sampai di rumah, suasana mendadak ramai. Para tetangga sudah menunggu di depan rumah, bahkan sebelum mobil berhenti. Beberapa di antaranya membawa makanan sebagai tanda syukur, dan banyak yang mengajak berfoto bersama.
"Pak Woto, gimana ceritanya bisa ketemu Pak Jokowi?!" tanya salah satu tetangga dengan penuh antusias.
Pak Woto, yang masih kelelahan, hanya tersenyum dan mengangkat tangan. "Sabar, sabar, nanti kita cerita di dalam. Masuk dulu, masuk!"
Ketika semua sudah duduk di ruang tamu, Bu Sisur, Marni, Puthut, dan Pak Woto bergantian bercerita tentang pengalaman mereka di Istana Negara. Dari mulai perjalanan menuju Jakarta, suasana hotel mewah, hingga momen tak terlupakan saat bertemu dengan Presiden Jokowi.
"Bayangin, ya," kata Bu Sisur sambil terkikik, "waktu pertama kali ketemu, Pak Presiden langsung bilang kalau dia ketawa terus lihat video kita! Masa presiden aja bisa ketawa liat Pak Woto bikin lucu-lucuan!"
Semua yang hadir langsung tertawa mendengarnya.
Marni ikut menimpali, "Dan waktu mau foto bareng, Pak Jokowi sempat bercanda juga. Katanya, 'Wah, keluarga Pak Woto bisa jadi artis nih!' Hahaha, siapa sangka kita yang dari kampung bisa diomongin gitu!"
Puthut yang selama ini lebih banyak diam, akhirnya buka suara. "Tapi yang paling bikin aku deg-degan itu waktu kita difoto bareng Pak Jokowi. Pas kita mau keluar dari Istana, banyak petugas istana yang nanya kita siapa. Bangga juga, sih, ngaku-ngaku kalo kita YouTuber desa yang videonya nembus ke Istana."
Tetangga-tetangga yang mendengarkan hanya bisa melongo, kagum mendengar cerita itu. Salah satu dari mereka berkata, “Wah, kalau gitu channel YouTube kalian udah pasti makin meledak sekarang! Subscribers-nya pasti nambah banyak!”
Setelah malam penuh kebahagiaan itu, keluarga Pak Woto kembali menjalani rutinitas sehari-hari dengan semangat baru. Namun, ada satu perbedaan besar: sekarang mereka bukan hanya petani biasa dari desa Masaran, tetapi juga YouTuber terkenal yang dikenal di seluruh Indonesia, bahkan sudah pernah berinteraksi langsung dengan Presiden.
Pagi-pagi sekali, Pak Woto dan Bu Sisur bersiap-siap ke sawah. Tapi kali ini, ada kamera yang ikut merekam aktivitas mereka. Puthut yang biasanya ikut ke sawah, kini menjadi "cameraman" keluarga. Dia dengan cermat menangkap momen-momen lucu ketika Pak Woto mengusili Bu Sisur, atau saat mereka bercanda-canda di tengah ladang.
"Pak, awas jangan sampai masuk lumpur lagi, ya!" seru Bu Sisur sambil tertawa kecil.
Pak Woto yang sedang menggiring sapi ke pinggir sawah, tersenyum lebar. "Tenang aja, Bu! Saya udah profesional sekarang. Gak mungkin jatuh lagi!"
Namun, seperti sudah ditakdirkan, tepat setelah Pak Woto mengatakan itu, kakinya terpeleset di lumpur yang licin. Pak Woto terjerembab dengan gaya yang menggelikan, membuat Bu Sisur dan Puthut tertawa terbahak-bahak. Kamera Puthut tetap merekam setiap detiknya.
"Pak! Katanya udah profesional?!" seru Bu Sisur sambil memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa.
Pak Woto, dengan lumpur di seluruh badannya, hanya bisa tersenyum kecut. "Ya, namanya juga hidup, Bu. Kadang jatuh, kadang bangun. Yang penting rekamannya bagus, kan?"
Puthut mengangguk puas. "Wah, konten ini pasti viral lagi, Pak! Judulnya: Petani Viral Terjebak Lumpur Lagi!"
Setelah kembali ke rumah dan membersihkan diri, mereka duduk bersama di depan layar laptop, menyusun rencana konten berikutnya. Setiap anggota keluarga memiliki ide yang unik. Puthut ingin membuat video edukasi tentang pertanian yang lebih modern, sementara Bu Sisur ingin lebih banyak konten yang menunjukkan kehidupan desa secara alami.
Namun, Pak Woto tetap setia pada misi awal mereka. "Kita bikin video yang menghibur. Yang sederhana tapi bisa bikin orang tertawa. Itu yang bikin kita sukses sampai sekarang."
Malam harinya, ketika Puthut dan Marni sedang mengedit video, mereka menerima kabar yang mengejutkan. Salah satu media besar Indonesia menghubungi mereka untuk mengundang mereka tampil di acara talk show populer. Marni yang membaca email undangan itu langsung melonjak kegirangan.
"Puthut! Ini serius! Kita diundang ke acara TV besar!" serunya.
Puthut yang sedang fokus mengedit video, langsung berdiri dari kursinya. "Apa?! Acara TV? Wah, kita udah bener-bener jadi selebriti, nih!"
Bu Sisur yang sedang menyusui Kanza juga ikut senang. "Alhamdulillah, ini rejeki lagi buat kita. Tapi kita harus tetap rendah hati, ya. Jangan sampai lupa diri."
Meskipun senang, keluarga Pak Woto tetap berkomitmen untuk menjaga kesederhanaan mereka. Mereka tahu bahwa ketenaran adalah hal yang sementara, dan yang paling penting adalah menjaga kebahagiaan keluarga dan tetap menjalani hidup dengan penuh syukur.
Hari demi hari, channel YouTube mereka terus berkembang. Dengan jumlah subscriber yang semakin meningkat, mereka mulai mendapat tawaran kerjasama dari berbagai perusahaan dan merek. Namun, Pak Woto tetap selektif dalam memilih kerjasama. "Kita jangan sembarangan terima tawaran. Yang penting, kita tetap autentik dan tidak berubah."
Suatu hari, saat sedang duduk santai di teras rumah, Pak Woto merenung sejenak. Dia melihat ke arah sawah yang luas, tempat di mana segala perjuangan mereka dimulai.
"Bu, saya jadi ingat waktu kita dulu susah. Siapa sangka sekarang kita bisa sampai di titik ini?" katanya pada Bu Sisur yang duduk di sebelahnya.
Bu Sisur mengangguk sambil tersenyum lembut. "Iya, Pak. Ini semua karena kerja keras, doa, dan dukungan dari keluarga dan tetangga."
Pak Woto menghela napas panjang, lalu tersenyum. "Saya gak akan pernah lupa dari mana kita berasal. Kita ini tetap keluarga petani. Viral atau tidak, yang penting kita tetap jadi diri kita sendiri."
**
Kehidupan keluarga Pak Woto terus berjalan dengan penuh semangat dan kebahagiaan. Meskipun mereka sudah viral dan terkenal, mereka tetap rendah hati dan tidak lupa akan asal-usul mereka sebagai keluarga petani sederhana dari desa Masaran. Kini, dengan dua penghargaan dari YouTube dan dukungan dari seluruh Indonesia, mereka siap menghadapi masa depan dengan senyuman.